Homo
Sapiens yang Sakit
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Maret 2017
JUDUL di atas bisa jadi merupakan arti sesungguhnya dari
beberapa kata bahwa sebagai manusia kita merupakan makhluk pembelajar (homo
sapiens) yang bisa jadi dalam kondisi sakit. Sakitnya para pembelajar seperti
orangtua, para guru, atau siswa serta siapa saja yang masih sadar akan
pentingnya berinteraksi, bisa jadi karena belajar merupakan proses
pemanfaatan semua potensi manusia yang berpikir sekaligus merasakan.
Berpikir dan merasa ialah dua kendali yang melibatkan hati
dan pikiran, sedangkan wadah untuk berpikir dan merasa ialah badan atau fisik
manusia yang habitatnya selalu ingin mencoba, entah dalam bentuk bermain,
bergerak, dan sebagainya.
Seseorang dikatakan sebagai pembelajar yang sakit karena
hakikat belajarnya tidak terjadi keseimbangan antarahati, pikiran, dan
kondisi badan.
Akibat yang muncul ialah menyedihkan, yaitu kebodohan,
kemiskinan, dan pada tingkat tertentu ialah kemunafikan yang suram karena
penuh kepalsuan dan kebohongan.
Mungkin ini yang sedang terjadi dalam diri saya ketika
badan ditimpa kesakitan luar biasa karena kanker, jangan-jangan itu merupakan
akibat dari tidak seimbangnya hati dan pikiran dalam mengelola pengalaman
belajar yang sungguh kompleks dan sulit menghadang interaksi antara keinginan
yang ideal dan kenyataan yang sesungguhnya terjadi.
Terus merasa dan berpikir
Dalam pandangan para ahli hikmah, manusia disebut sebagai
hewan yang berpikir (al-insaan hayawan al-naathiq).
Berpikir (think) itu kata kerja, sebuah kerja yang
menggunakan otak (brain) agar manusia dapat menggunakan akal pikirannya
(mind) dalam melakukan sesuatu.
Namun, menggunakan otak saja tak cukup. Karena itu, otak
perlu penuntun.
Fungsi penuntun diletakkan di hati, sebuah benda yang tak
jelas posisinya karena ketika kita mengatakan 'hati' kita selalu memegang
bagian dada kita, tempat jantung dan paru-paru berada.
Hati, jika tak salah, letaknya di bagian belakang dan
bawah perut.
Dalam bahasa agama, jika otak sudah dipadukan dengan hati,
seseorang dapat disebut telah berakal (sensible), sebuah potensi yang membuat
manusia berbeda dan disebut hewan yang berpikir, hewan yang memiliki otak
paling lengkap dan sempurna.
Dalam laporan PubMed misalnya, sejak 1996 sampai dengan
2000, setiap tahun rata-rata dibuat sekitar 30.000 laporan penelitian dan
karya ilmiah tentang otak.
Namun, ribuan ilmuwan tersebut masih mengatakan,
"There is more we do NOT know about the brain, than
what we do know about the brain." (Masih banyak yang TIDAK kita ketahui
tentang otak daripada yang telah kita ketahui tentangnya).
Betapa luas Tuhan menciptakan 'seonggok benda' bernama
otak yang begitu rumit dan sempurna.
Seberapa besar pengetahuan kita dan guru-guru tentang
otak?
Saya ingin membayangkan seorang tukang reparasi komputer,
tentu dalam rangka menjaga profesionalitasnya akan sangat berhati-hati dalam
memperbaiki dan mengisi berbagai jenis program ke dalam memori komputer.
Karena itu, sudah sepantasnya jika para guru memahami
fungsi otak secara baik agar mereka memiliki kehati-hatian dalam memasukkan
informasi berharga kepada anak didiknya.
Namun, sayangnya ini kenyataan, seseorang kadang berhasil
di tempat terluar dari dirinya, tetapi gagal dalam mengelola kebutuhan
kejiwaan anak-anaknya.
Perasaan sakit saya kali ini lebih banyak karena merasa
gagal menjadi orangtua karena kurang hati-hati ketika dulu mencoba memasukkan
memori dalam benak anak-anak.
Jangan-jangan ada ribuan orangtua seperti saya yang selalu
memberikan memori negatif ke dalam relung jiwa dan pikiran anak-anaknya.
Hanya mencoba
Sebagai pembelajar, kesadaran sangat diperlukan untuk
melihat bahwa kesalahan ialah hal mutlak yang bisa terjadi pada siapa saja.
Karena itu, meskipun menjadi orang yang sempurna ialah
sebuah kemustahilan, mencobanya merupakan keinginan untuk terus belajar dari
kesalahan.
Dalam mengajar, para guru jelas harus memiliki jiwa
pantang menyerah dan terus mencoba meskipun itu salah.
Saya teringat penulis The Alchemist, Paulo Coelho, yang
dalam kumpulan nasihat sederhana dan memikatnya Warrior of the Light: A
Manual (2011), menulis "The warrior of the light is always trying to
improve. A warrior of the light is always committed. He is the slave of his
dream and free to act".
Sebagai sebuah catatan pendek tentang betapa pentingnya
menerima kegagalan, menghargai kehidupan, dan mengubah jalan hidup untuk
mengubah takdir seseorang, buku itu sarat akan pesan moral tentang laku
spiritual seorang pejuang sejati.
Sebagai seorang ayah, penting bagi bagi saya untuk selalu
mencoba menjadi figur yang dapat memberikan teladan tentang laku-spiritual
seorang ayah, layaknya para pejuang sejati seperti pernah ditunjukkan oleh
para tokoh, seperti Soekarno, Hatta, Tjokroaminoto, dan Agus Salim meskipun
saya tidak akan mungkin menyamai peran mereka.
Dalam konteks pendidikan secara umum, saya selalu meminta
para guru di Sekolah Sukma Bangsa untuk belajar dari perspektif Joseph
Campbell dalam Hero's Journey, bahwa perjalanan hidup setiap pembelajar
sejati pasti akan melalui enam tahapan penting.
Enam tahapan itu, yaitu innocence, the call, initiation,
allies, breakthrough, dan celebration.
Sebelum seseorang dikatakan sebagai pahlawan, pasti mereka
ialah orang biasa dan bersahaja (innocence).
Barulah ketika mereka merasa ada sesuatu yang harus
diperjuangkan dan merasa terpanggil (the call, beruf) untuk melakukan
sesuatu, maka dimulailah perjalanan seseorang untuk menjadi pembelajar dan
pejuang sejati.
Melalui sebuah usaha dan kerja keras serta melalui
rintangan dan tantangan yang hebat (initiation), seorang calon pembelajar
sejati pastilah membutuhkan teman satu visi dan misi (allies) untuk mencapai
tujuan perjuangannya.
Dari pertemanan inilah diharapkan akan muncul berbagai ide
dan terobosan (breakthrough) yang akan memudahkan seseorang mencapai sasaran
dan tujuan yang dikehendaki.
Barulah setelah itu seseorang bisa dikatakan sebagai
pembelajar sejati (celebration) karena dapat membuktikan dirinya berhasil dan
bermanfaat bagi sesama bukan hanya karena kerja kerasnya secara pribadi,
melainkan melalui sebuah kesepakatan dan bantuan teman-temannya.
Selain itu, pembelajar sejati juga penting untuk
mengetahui dan menggunakan kata honesty meskipun sulit dilaksanakan.
Saya teringat penyanyi Billy Joel yang mendendangkan
dengan penuh kesungguhan lagu honesty yang hits di era 1980-an.
Salah satu ungkapan yang menusuk akal dan hati soal
honesty dalam lagu tersebut adalah ungkapan honesty is such a lonely word.
Kejujuran hanya sebuah kata tunggal, sendiri, kesepian,
dan seolah memang tak punya kawan.
Kata ini dalam proses pendidikan kita memang berjalan
sendiri dan kesepian karena tak dilekatkan pada persepsi siswa dan guru
secara nyata dan sungguh-sungguh dalam proses belajar-mengajar.
Honesty (kejujuran) ialah pangkal segala akibat baik dan
buruk kehidupan manusia. Jika diabaikan untuk dipraktikkan, dia akan
berakibat negatif ke dalam seluruh aspek kehidupan kita. Sebaliknya, jika
kejujuran menjadi landasan semua tindakan pembelajaran, praktik kecurangan,
koruptif, perang, kerusuhan, dan sebagainya akan dengan sendirinya
menghilang.
Pertanyaannya adalah sedemikian sulitkah menanamkan
kejujuran kepada diri sendiri dan anak-anak kita di sekolah?
Jawabannya ialah, sangat sulit, jika itu dikembalikan
kepada diri sendiri, anak-anak, keluarga, dan lembaga pendidikan.
Sebagai seorang ayah, selain kata maaf untuk semua
anak-anak dan istri, tak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali berharap semoga
ada kata maaf lainnya yang tumbuh atas kesalingtergantungan satu sama lain.
Wallahu a'lam bi al-sawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar