Gerakan
Massa
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 01 April 2017
Chiang Kai-shek (1887-1975), pemimpin Republik China
(nasionalis), tergusur tahun 1949. Sang jenderal lalu melanjutkan
pemerintahan nasionalis di Pulau Formosa (Taiwan). Seandainya Chiang Kai-shek
tahu bagaimana menggerakkan massa atau setidaknya menyalakan terus semangat
nasionalisme yang dicetuskan penyerbuan Jepang, mungkin ia akan dikenal di
China sebagai tokoh reformis. Karena tidak tahu menggerakkan massa, sejarah
menorehkan ia terusir ke luar China daratan.
Begitulah analisis filsuf Eric Hoffer (1898-1983) dalam
buku klasiknya, The True Believer (1951), yang kemudian terbit dalam edisi
bahasa Indonesia dengan judul Gerakan Massa (Yayasan Obor Indonesia, 1988).
Politik dan massa memang tidak bisa dipisahkan. Partai politik mustahil
menjauh dari massa. Terlebih lagi di era pemilihan langsung seperti sekarang,
massa jadi bagian paling lekat dengan politik.
Kata Hoffer, salah satu daya tarik gerakan massa adalah
tawarannya untuk menggantikan harapan pribadi. Gerakan massa biasanya
dituding menghipnotis pengikutnya dengan harapan bahwa mereka akan melihat
masa depan yang gilang-gemilang, sementara menggelapkan nikmat masa kini.
Bagi orang yang kecewa, masa kini sudah rusak dan sulit diperbaiki.
Seperti kasus di China, merujuk Hoffer, kegagalan memahami
gerakan massa membuat kelompok nasionalis terpental dari pucuk pimpinan
nasional, lalu tersingkir dari China daratan ke Pulau Formosa. Kelompok
komunis memenangi pertarungan dan menguasai China (daratan) sampai sekarang
ini. Republik China (nasionalis) pun terpental di Taiwan setelah China
dikuasai Republik Rakyat China (komunis).
Gerakan massa kembali marak akhir-akhir ini. Aksi massa
turun ke jalan menjadi cara untuk menekan pemerintah. Gara-gara kasus Basuki
Tjahaja Purnama (Gubernur DKI Jakarta nonaktif) yang kini tengah diadili
kasus penodaan agama, gelombang aksi massa yang menuntut penuntasan kasus itu
berulang kali menyita perhatian publik. Diawali pada 14 Oktober 2016, aksi
massa lalu menjadi rutin dengan kode ”nomor cantik”, seperti Aksi 411 (4
November 2016), 212 (2 Desember 2016), dan 313 (31 Maret 2017). Persoalan
Basuki itu tak bisa dilepaskan dengan pertarungan Pilkada DKI Jakarta yang
bakal memasuki putaran kedua, 19 April. Ada juga doa bersama di Monas (18
November 2016), Parade Bhinneka Tunggal Ika (19 November 2016), dan aksi 412
(4 Desember 2016).
Dalam sejarah negeri ini, massa adalah elemen terpenting
dalam gerakan politik. Tan Malaka paling piawai soal aksi massa. Tahun 1926,
di tempat persembunyian di Singapura, ia menerbitkan buku Massa Actie. ”Bila
semboyan dan tuntutan sungguh diteriakkan oleh massa, demonstrasi politik
dapat jadi gelombang hebat, yang makin lama semakin deras, kuat sehingga
meruntuhkan benteng-benteng ekonomi dan politik dari kelas yang berkuasa,”
tulis Tan Malaka, yang banyak memengaruhi tokoh-tokoh pergerakan nasional.
Sejarah Bung Karno juga selalu terkait dengan massa.
Sebagai orator ulung, Bung Karno menjadi pembangkit semangat massa. Pidato
tokoh-tokoh Sarekat Islam (SI), seperti Tjokroaminoto dan Agus Salim, mampu
menghipnotis massa. Soerjopranoto, tokoh SI lainnya, bahkan mampu
menggerakkan pemogokan buruh pabrik awal 1920-an sehingga dia dijuluki ”Raja
Pemogokan”. Tokoh-tokoh kiri yang bermula dari SI Merah, seperti Semaun, juga
pembakar semangat massa.
Tokoh dan ulama besar Syekh Yusuf al-Makassari (1628-1699)
sampai diasingkan ke beberapa negara karena selalu membangun ikatan sekaligus
mendidik massa. Setelah diketahui membangun komunitas dan pengaruh terhadap
umat Islam India dan jemaah haji yang mampir di tempat pembuangan di Ceylon
(Sri Lanka), Syekh Yusuf diasingkan lagi ke Cape Town, Afrika Selatan.
Lagi-lagi di sana ia memengaruhi massa yang justru melahirkan enklave
Macassar. Syekh Yusuf justru menjadi inspirasi bagi Bapak Afrika Selatan
Nelson Mandela. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pun tak goyah diguncang
kudeta tahun 2016 antara lain karena dukungan aksi massa.
Politik memang tidak jauh dari faktor massa. Begitu juga
selama zaman pergerakan nasional. Aksi massa fenomenal pertama adalah rapat
akbar di Lapangan Ikada pada 19 September 1945, sebulan setelah proklamasi
kemerdekaan RI. Di bawah penjagaan ketat pasukan Jepang, Bung Karno cuma
berpesan agar tetap percaya pada pimpinan nasional dan massa agar pulang
dengan tenang. Namun, aksi massa (mahasiswa) pula yang ikut menjatuhkan Bung
Karno dari kursi presiden semasa kemelut politik sepanjang pertengahan dan
akhir tahun 1960-an.
Pada era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, gerakan
massa dan mahasiswa dibungkam tak berkutik, misalnya gerakan mahasiswa tahun
1974 dan 1977/1978. Namun, sejarah berulang. Soeharto lengser setelah dilanda
aksi massa pada 1998 setelah krisis ekonomi. Aksi massa, menurut Tan Malaka,
bukanlah tindakan segerombolan orang yang anarkis. Kata Bung Karno, kalau
tidak revolusioner namanya aksi massal (massale actie). Gerakan massa
ternyata jadi senjata ampuh di zaman kolonial, rezim-rezim otoriter, atau
ketika sistem demokrasi mandul.
Hari ini, negeri ini berkeras untuk keluar dari pusaran
masalah yang terus membelit setelah reformasi: konflik politik-sosial, ujian
kebinekaan, kemiskinan, kepemimpinan, ketahanan bangsa, penegakan hukum,
demokrasi kebablasan, dan korupsi yang sudah keterlaluan. Andai kata gerakan
massa terus menguras energi bangsa, segala problem akut di atas makin sulit
dibenahi. Kitalah—negeri dan bangsa ini—yang terus merugi dan membuang-buang
waktu.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar