Defisit
Perdagangan AS dan Perekonomian Indonesia
A Tony Prasetiantono ; Kepala
Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM dan Faculty Member BI Institute
|
MEDIA
INDONESIA, 10 April 2017
PEREKONOMIAN Amerika Serikat (AS) sebenarnya kini tengah
mengalami 'musim semi' (spring), persis sebagaimana musim geografis secara
literal pada April ini. Indikasinya pertumbuhan ekonomi akan mencapai 2,3%
pada tahun ini, inflasi 2,4%; pengangguran 4,7% (dari rekor terburuk 10% pada
2009); dan penjualan mobil setahun 17,6 juta unit (dari rekor terburuk 10,4
juta unit pada 2009).
Dampaknya indeks harga saham di New York kini 20.656 dan
The Fed dengan percaya diri menaikkan suku bunga acuan dari 0,75% menjadi 1%.
Namun, ternyata masih ada hal yang merisaukan Presiden
Donald Trump. AS ialah negara yang menderita defisit perdagangan terbesar di
dunia, yang bahkan sudah terjadi sejak 1975. Pada 2016, defisit AS untuk
barang dan jasa mencapai US$502 miliar, yang dihasilkan dari ekspor US$2,2
triliun berbanding impor US$2,2 triliun (US International Trade in Goods and
Services, Biro Sensus AS). Jika dilihat dari perdagangan barang saja, AS
mengekspor US$1,5 triliun dan menderita defisit US$750 miliar.
Dengan kata lain, sebenarnya masalah defisit perdagangan
AS ialah hal yang akut dan sudah berlangsung lama, lebih dari 40 tahun.
Alasannya mudah dicari. Sebagai negara maju dengan produk domestik bruto
terbesar di dunia, sangat mudah dipahami bahwa AS sudah lama berada di zona
nyaman sehingga pendapatan per kapitanya tinggi (US$56 ribu), dengan upah
buruh yang tinggi pula.
Itu membuat daya saing AS memburuk dari waktu ke waktu.
Hal itu kian runyam tatkala kurs dolar AS belakangan ini menguat, seiring
dengan berakhirnya kebijakan mencetak uang (quantitative easing) pada
pertengahan 2013. Jadi, defisit perdagangan AS merupakan keniscayaan.
Namun, bukan Donald Trump namanya jika tidak menjadikan
isu defisit itu menjadi prioritas terpenting bagi pemerintahannya. Trump
serta-merta seperti membalik jarum jam untuk kembali ke era proteksionisme.
Liberalisme seolah-olah bakal dihabisinya. Kesepakatan seluruh dunia terhadap
berdirinya World Trade Organization (WTO) sejak 1 Januari 1995 terancam
bubar.
Dalam sejarah perkembangan perekonomian dunia, wacana
tentang perdagangan internasional yang bebas hambatan (baik tarif maupun
nontarif) sebenarnya sudah dimulai sejak berdirinya Dana Moneter
Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank atau International Bank for
Reconstruction and Development) pada musim panas 1944 di Bretton Woods, New
Hampshire, AS. Namun, ternyata 44 negara yang mengikuti konferensi tersebut
akhirnya batal menyepakati berdirinya lembaga multilateral perdagangan
(International Trade Organization atau ITO). Perlu menunggu setengah abad
sebelum akhirnya lembaga tersebut berdiri dengan nama WTO pada 1995. Namun,
kini, kehadiran Donald Trump menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan WTO.
Defisit AS terhadap Indonesia
Celakanya, belakangan ini terbetik berita bahwa Presiden
Trump juga memerintahkan Menteri Perdagangan (US Secretary of Commerce)
Wilbur Ross untuk mengkaji ulang neraca perdagangan terhadap sejumlah negara
yang menyebabkan AS defisit, Indonesia termasuk di dalamnya. AS defisit
terhadap Tiongkok, Jepang, Kanada, Korea Selatan, Malaysia, India, Thailand,
Indonesia, Prancis, Jerman, Meksiko, Irlandia, Vietnam, Italia, dan Swiss.
Saya pikir pernyataan itu terlalu umum, terlalu
menggeneralisasi, karena faktanya Indonesia bukanlah mitra dagang yang cukup
signifikan bagi AS. Pada 2016, Indonesia mengalami surplus US$8,1 miliar
terhadap AS, yang berasal dari ekspor US$15,3 miliar berbanding impor US$7,2
miliar.
Meski tidak besar, harus diakui bahwa trennya memang
cenderung meningkat, dari US$3,3 miliar (2012), US$6,6 miliar (2013), US$8,2
miliar (2014), dan US$7,6 miliar (2015). Mungkin alasan tren negatif bagi AS
itulah yang menyebabkan AS perlu memasukkan ke watch list.
Namun, persoalan terbesar dalam defisit perdagangan AS
tentunya bukan Indonesia. AS memiliki enam mitra dagang terbesar, yakni Tiongkok
(perdagangan barang US$579 miliar), Kanada (US$545 miliar), Meksiko (US$525
miliar), Jepang (US$196 miliar), dan Jerman (US$164 miliar). Terhadap keenam
negara tersebut, AS menderita defisit. Defisit terbesar ialah terhadap
Tiongkok (US$347 miliar), disusul Jepang ('hanya' US$69 miliar), Jerman
(US$65 miliar), Meksiko (US$63 miliar), dan Kanada (US$11 miliar).
Lebih dari 40% defisit perdagangan AS berasal dari
Tiongkok. Hal itu terjadi karena AS mengalami impor yang sangat besar dari
Tiongkok US$462 miliar, terutama dari barang-barang elektronik rumah tangga
(consumer electronics), pakaian jadi, dan mesin-mesin. AS hanya bisa
mengekspor US$116 miliar ke Tiongkok, itu pun dengan catatan bahwa cukup
banyak ekspor AS tersebut ialah barang-barang mentah yang kemudian diolah di
Tiongkok secara murah, yang kemudian juga menghasilkan keuntungan bagi
perusahaan-perusahaan AS (lihat The Balance, 23/3/17).
Terhadap Jepang, defisit AS relatif kecil, US$69 miliar.
Jepang memerlukan produk-produk pertanian AS, pasokan industri, pesawat
(Boeing), dan produk-produk farmasi. Juga ada perdagangan mobil di antara
kedua negara yang signifikan. Terhadap Jerman, AS mengekspor mobil, pesawat,
dan produk farmasi. Jerman juga mengekspor mobil, mesin-mesin, dan farmasi.
Sementara itu, terhadap Meksiko sebagai negara tetangga
terdekat yang bukan termasuk kategori negara maju, perdagangan AS juga
signifikan. Meksiko bisa 'mencuri' surplus karena mereka diuntungkan upah
tenaga kerja yang murah dan jarak ke pasar AS yang dekat.
Jadi, berdasarkan serangkaian data tersebut, sebenarnya
Indonesia bukanlah mitra dagang yang signifikan yang harus diwaspadai AS.
Bahwa AS memasukkan Indonesia sebagaimana Donald Trump menugaskan
pengategoriannya ke Mendag Wilbur Ross saya yakin itu hanya kebetulan.
Kebetulan Indonesia menikmati surplus perdagangan yang menunjukkan tren
meningkat, tapi sebenarnya angkanya berada pada batas yang masih bisa
dipahami.
AS mestinya fokus pada defisit perdagangan terbesar
mereka, terutama terhadap Tiongkok. Sejak pemerintahan sebelumnya, Menteri
Luar Negeri AS Hillary Clinton serta Presiden Barack Obama telah melakukan
lobi secara insentif terhadap Beijing. Namun, hasilnya masih nihil. AS tidak
mungkin menggunakan tuduhan bahwa Tiongkok sengaja melakukan kebijakan
dumping, yakni membuat murah harga sehingga kompetitif terhadap AS.
Secara alamiah, dengan penduduk 1,4 miliar orang,
sementara AS 'hanya' 320 juta orang, otomatis biaya produksi di Tiongkok
lebih murah. Pendapatan per kapita China US$9.000 juga memberi indikasi ke
sana.
Menagih internasionalisasi yuan
Yang bisa dilakukan AS ialah kembali mendesak Tiongkok
agar mengambangkan (floating) mata uang yuan sehingga bisa mencapai titik
keseimbangan yang wajar.
Selama ini, Tiongkok tampaknya secara sengaja membuat yuan
cenderung stagnan dan lemah. Padahal, jika mata uang mereka diambangkan atau
diserahkan kepada mekanisme pasar (supply dan demand), mestinya yuan
berpotensi menguat (apresiasi). Jika kurs yuan wajar (kuat), defisit
perdagangan AS bakal berkurang.
Tiongkok sebenarnya pernah mencanangkan
'internasionalisasi yuan'. Artinya, yuan atau renminbi dipakai sebagai salah
satu mata uang kuat yang dipakai sebagai alat transaksi resmi dalam
perdagangan internasional (hard currencies), menemani dolar AS, euro, yen,
dan pound sterling. Namun, rencana tersebut tak jelas realisasinya. Justru
pemerintah Tiongkok kini agak kerepotan mengerem penurunan cadangan devisa
mereka. Cadangan devisa yang semula mencapai US$4 triliun kini terus merosot
dalam tiga tahun terakhir menjadi US$3 triliun. Dalam situasi tertekan, tentu
saja pemerintah Tiongkok tidak bakal mengizinkan yuan menguat, untuk
mendorong surplus perdagangan mereka dan menaikkan kembali cadangan devisa
mereka.
Jadi, situasi sekarang serbarepot. Di satu pihak,
sebenarnya AS sudah mulai menikmati perekonomian mereka yang membaik
Presiden Trump seharusnya menyadari bahwa perbaikan
ekonomi AS itu terjadi karena pengorbanan (sacrifice) yang dilakukan hampir
semua negara di dunia. Bahkan Tiongkok, musuh terbesar perdagangan AS,
sebenarnya juga telah berkorban banyak, pertumbuhan ekonomi mereka merosot
menjadi 'hanya' 6,8% tahun ini, dan cadangan devisa mereka terkuras 25%.
Sementara itu, Indonesia kini dalam kondisi stabilitas
yang baik. Pertumbuhan ekonomi triwulan I/2017 saya perkirakan 5,1%; inflasi
terkendali pada level 3,6%; cadangan devisa US$120 miliar; dan terus
membukukan surplus perdagangan. Semua ini membuka peluang untuk mencapai
investment grade dari Standard & Poor's.
Saya yakin AS mestinya tidak akan mengusik terlalu kencang
posisi perdagangan mereka dengan Indonesia. Bahwa AS dan Indonesia sesekali
mengalami percekcokan (disputes) di level WTO, itu sudah sering terjadi. Itu
masih merupakan hal yang normal. Namun, indikasi adanya kecurangan dari pihak
Indonesia sejauh ini tidak terlihat.
Bahwa pemerintah AS cenderung agresif di periode awal
Presiden Trump, itu memang sudah terjadi. Namun, tidak berarti ke depannya
agresivitas tersebut masih akan berlanjut.
Seharusnya Presiden Trump perlu amat bersyukur bahwa
perekonomian AS kini dalam posisi yang terbaik di dunia, meninggalkan
rival-rival terdekat mereka: Tiongkok, Jepang, dan Eropa. Defisit perdagangan
AS yang besar hanyalah satu variabel yang tidak menguntungkan AS, sementara
variabel-variabel ekonomi makro dan mikro yang lain terus 'menghijau'. AS
seharusnya tidak usah terlalu gelisah. Sementara itu, Indonesia mestinya juga
tidak ikut terdampak oleh komplain Presiden Trump terhadap isu defisit
perdagangan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar