Bernegara,
Beragama, dan Berpolitik
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum
Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
|
KORAN
SINDO, 01
April 2017
Jika ditanyakan, bagaimana hubungan antara agama dan
politik di negara kita, secara iseng orang bisa menjawab bahwa hubungannya
baik-baik saja. Agama dan politik itu
rukun karena di rukunkan oleh Pancasila. Tapi secara serius bisa ditegaskan
bahwa, seperti pernah ditulis oleh Tahir Azhary, Indonesia ini bukan negara
agama dan bukan negara sekuler, melainkan negara kebangsaan yang
berketuhanan, religious nation state. Di dalam staatsidee (cita negara) yang
demikian, negara tidak diatur berdasar ajaran satu agama tertentu, tetapi
dibangun dengan spirit nilai-nilai ketuhanan yang dianut sebagai agama-agama
yang diyakini dan hidup di tengah-tengah masyarakat.
Berdasar ide itu pula, negara tidak memberlakukan hukum
agama, tetapi melindungi warganya yang ingin melaksanakan ajaran agamanya
masing-masing. Oleh sebab itu hukum-hukum publik yang berlaku di Indonesia
adalah hukum nasional yang merupakan produk eklektisasi (peleburan atau
penyatuan nilainilai yang beragam di dalam masyarakat). Adapun hukumhu kum
privat nya diserahkan kepada warga negara untuk memilih ketun duk an dirinya
sesuai dengan kesadaran hukum dan agama masing-masing.
Kalau meminjam istilah Nurcholish Madjid, hukum-hukum
publik kita merupakan produk kalimatun sawaa (kesepakatan nasional) atau
unifikasi tentang hal-hal yang menjadi concern bersama. Adapun untuk
hukum-hukum privat seperti soal-soal ibadah ritual (salat, kebaktian,
pembaptisan) dan hukum keluarga (seperti perkawinan, waris, pemberkatan)
berlaku hukum agama atau keyakinan masing-masing sesuai dengan fakta
pluralitas kita.
Jadi dalam hukum publik kita menganut kesatuan hukum,
sedangkan dalam hukum privat menganut keberagaman hukum. Paham yang demikian,
dalam konteks yang lebih umum, biasa disebut pluralisme. Kalau meminjam
penjelasan yang pernah dikemukakan Gus Dur, pluralisme itu ibarat kita hidup
di satu rumah besar yang banyak kamarnya dengan ruang keluarga dan ruang tamu
yang juga besar.
Pada saat kita berada di kamar masing-masing kita boleh
melakukan atau memakai apa saja yang tidak harus sama dengan
penghuni-penghuni kamar lain, tetapi ketika kita berada di ruang tamu, kita
harus kompak dan tunduk pada tata cara perilaku yang disepakati. Begitu pula
jika kita berada di luar rumah, semua penghuninya harus memastikan rumah itu
aman dari kerusakan dan perusakan. Pemahaman pluralisme yang seperti itulah
yang dapat kita terapkan di rumah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
NKRI adalah rumah besar kita yang dibangun dengan fondasi
Pancasila dengan kita sebagai penghuni-penghuni yang memiliki kamar-kamar
dengan beragam primordialitas masing-masing. Rumah NKRI terdiri atas 17.504
pulau, 252 juta penduduk, 1.360 suku, 726 bahasa daerah, penganut berbagai
agama dan keyakinan, hidup tersebar di berbagai daerah dengan budaya dan adat
istiadat masing-masing yang semuanya bersatu, diikat oleh Pancasila dengan
semboyan bhinneka tunggal ika, unity in
diversity.
Gambaran mengenai hubungan antara negara dan agama
tercakup pula dalam cita negara Pancasila. Cita negara Pancasila itu sudah
dipidatokan oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 yang biasa kita kenal
sebagai pidato kelahiran Pancasila. Kata Bung Karno, kita tidak akan
mendirikan negara agama, melainkan mendirikan negara kebangsaan berdasar
Pancasila.
Setiap penganut agama dapat memperjuangkan aspirasi
keagamaannya melalui proses politik yang demokratis, misalnya merebut
kemenangan dalam pemilu agar para pemimpin dan wakil-wakil yang terpilih bisa
membawa aspirasi keagamaan masing-masing dalam dan untuk pembuatan kebijakan
negara. Pancasila yang melahirkan negara kebangsaan yang berketuhanan
merupakan kesepakatan luhur (modus vivendi) yang dibangun oleh para pendiri
negara.
Dari satu sudut ia bisa dilihat sebagai produk prismatika
atau jalan tengah antara pandangan dua tokoh nasional muslim yang samasama
santri, Bung Karno dan M Natsir, yang sudah berpolemik tentang hubungan
antara negara dan agama sejak akhir tahun 1930-an. Pada satu sisi, demi
kemajuan Islam itu sendiri, Bung Karno menginginkan dibentuknya negara
kebangsaan sekuler seperti yang digagas Kemal Attaturk dan berlaku di Turki,
sedangkan M Natsir pada sisi lain mengusulkan dibentuk negara berdasar Islam
karena Islam menyediakan ajaran yang bisa sesuai dengan sistem negara modern.
Muara polemik dua tokoh yang sangat bermutu itu bertemu
dalam modus vivendi antara kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis Islami
di kalangan para pendiri negara yang akhirnya menyepakati Pancasila sebagai
dasar negara dengan filosofi religious nation state tersebut. Dengan demikian
sebenarnya memperjuangkan aspirasi sesuai dengan identitas keagamaan, seperti
halnya memper juangkan aspirasi berdasar identitas kedaerahan, di dalam
berpolitik adalah sah adanya sepanjang dalam koridor dasar ideologi negara
Pancasila.
Haruslah diingat bahwa ber negara itu adalah ber politik,
sebab negara adalah organisasi politik tertinggi yang dimiliki suatu bangsa.
Salah satu asal kata negara adalah polis (politik) yang ber arti organisasi
suatu bangsa untuk memutuskan policy
(kebijakan, politik). Jadi secara yuridis konstitusional mem bawa agama dalam
perjuangan politik sebagai proses ber negara adalah sah. Yang penting harus
tetap dalam koridor Pancasila yang mendasari Indonesia sebagai negara ke
bangsaan yang berketuhanan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar