Berebut
Suara di Putaran Kedua
Gun Gun Heryanto ; Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta;
Presidium Asosiasi Ilmuwan
Komunikasi Politik Indonesia (AIKPI)
|
MEDIA
INDONESIA, 03 April 2017
HARI menentukan di pilkada DKI tinggal menghitung hari. Warga
DKI akan kembali menggunakan hak pilihnya di putaran kedua, 19 April.
Pertarungan opini kian masif.
Beragam langkah persuasi yang dijalankan untuk merebut
hati pemilih membuat perbincangan pilkada DKI gegap gempita dan memasuki
titik kulminasi.
Harapannya partisipasi warga datang ke bilik suara
meningkat pesat, seiring dengan perbaikan kualitas penyelenggaraan sehingga
proses demokrasi elektoral di DKI makin baik dan konsolidatif.
Di putaran pertama, partisipasi warga sudah bagus 75,75%,
atau 5.564.313 suara dari 7,1 juta pemilih.
Ini lebih baik daripada partisipasi warga di Pilkada DKI
2012, saat putaran pertama angka partisipasinya 64,66% dan di putaran kedua
66%.
Pertarungan belum usai bagi kedua pasangan calon karena
tersedia ceruk pemilih yang bisa mengubah peta dukungan dan kemenangan.
Dukungan partai
Pilkada DKI kali ini sangat kompetitif. Oleh karena itu,
kedua pasangan calon harus mempertahankan basis pemilih masing-masing di
putaran pertama dan penetrasi ke basis pemilih potensial di luar mereka untuk
memenangi babak final pilkada DKI.
Data menunjukkan raihan suara putaran pertama tak terlalu
jauh jaraknya.
Paslon nomor urut 2 Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful
Hidayat memperoleh 2.364.577 suara, atau 42,99%, sementara paslon nomor urut
3 Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Uno 2.197.333 suara, atau 39,95%.
Sementara itu, ada dua ceruk pasar pemilih yang bisa
diperebutkan kedua paslon di putaran kedua, yakni basis pemilih paslon nomor
urut 1 Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni sekitar 937.955 suara, atau
sekitar 17,05%, dan juga pemilih yang belum menggunakan hak pilihnya di
putaran pertama sebanyak 24,25%.
Potensi perubahan pada basis pemilih yang kuat berafiliasi
(strong voters) ke paslon nomor 2 dan nomor 3 di putaran pertama kecil
sekali.
Oleh karena itu, faktor utama yang menentukan perubahan
peta politik menuju kemenangan lebih banyak ditentukan lapis warga yang belum
memilih di putaran pertama dan basis pemilih yang kemarin berafiliasi ke
AHY-Sylvi.
Oleh karena itu, setiap dukungan yang muncul dan didapat
para paslon akan sangat berguna untuk kumulasi suara.
Di fase sekarang, menarik untuk membaca arah dukungan
partai politik yang kemarin menjadi pengusung AHY-Sylvi.
Ada empat partai, yakni Partai Demokrat, PKB, PAN, dan
PPP.
Demokrat menyatakan akan nonblok, PPP sudah resmi
menyatakan dukungan ke Ahok-Djarot.
Dengan demikian, tidak ada lagi perbedaan antara kubu Djan
Faridz dan kubu Romahurmuziy dalam dukungan ke paslon nomor 2.
Jika menjadikan hasil pemilu legislatif sebagai indikator
konfigurasi basis pemilih PPP di DKI, sesungguhnya posisi PPP sangatlah
strategis.
PPP dengan 9,97% merupakan partai peringkat ketiga
pemenang Pileg 2014 di DKI, di bawah PDIP (27%), Gerindra (13%).
Dengan 10 kursi di DPRD provinsi, PPP harusnya bisa
menjadi insentif elektoral menentukan dalam perebutan suara di putaran kedua.
Persoalannya ialah mampukah PPP mengartikulasikan dukungan
formal tersebut menjadi daya ikat bagi konstituen mereka untuk memilih paslon
yang didukung mereka.
Ada dua faktor yang bisa menjadi indikator signifikan
tidaknya dukungan PPP.
Pertama terkait dengan penstrukturan adaptif.
Dalam terminologi Anthony Giddens sebagaimana dikutip West
dan Turner dalam Introducing Communication Theory Analysis and Aplication
(2008), penstrukturan adaptif ialah bagaimana institusi sosial seperti partai
diproduksi, direproduksi, dan ditransformasikan melalui penggunaan
aturan-aturan yang berfungsi sebagai perilaku anggota mereka.
Jika PPP menjadikan keputusan partai di putaran kedua
sebagai kebijakan organisasional, harusnya seluruh infrastruktur partai mulai
pengurus, tim sukses, hingga organ-organ pemenangan bekerja hingga ke
basis-basis pemilih.
Itulah yang dimaksud dengan loyalitas pada putusan partai.
Jika bergerak bersama, tentu sumbangsih PPP akan signifikan.
Namun, jika pengurusnya tidak solid bahkan terpecah, peran
PPP semata-mata simbolis dan miskin sumbangan pada kemenangan.
Kedua terkait dengan makna dukungan PPP pada Ahok-Djarot
di level akar rumput.
PPP tentu mengalami dilema luar biasa saat belum
memutuskan kebijakan dalam keberpihakan, antara pertimbangan ideologis dan
strategis.
Biasanya di awal kebijakan diambil, rembesan pesan ke
konstituen menjadi polisemik atau multimakna.
Oleh karena itu, pengurus PPP harus berjibaku memberi
narasi dan argumentasi untuk meyakinkan basis pemilih mereka, bukan
ongkang-ongkang kaki ibarat partai yang disorientasi.
Selain PPP, masih ada PKB yang belum menentukan pilihan
meskipun jika membaca petanya, PKB pun cenderung mendukung petahana.
Suara PKB di DKI jika merujuk ke hasil Pemilu Legislatif
2014 ada 260.159 suara (6 kursi DPRD).
Sementara itu, PAN dengan 72.784 suara (2 kursi)
berpotensi menguatkan paslon nomor urut 3.
Terlepas dari ke mana arah dukungan partai politik,
sesungguhnya yang paling penting saat ini ialah menjembatani antara keputusan
elite partai dan basis akar rumput mereka.
Kongsi yang sifatnya elitis hanya akan berakhir di
pragmatisme kepentingan sedikit orang di struktur partai tersebut dan abai
dengan pergerakan arus bawah sehingga dukungan partai kerap tak menjadi
insentif elektoral.
Pelibatan politik
Sebenarnya sejak putaran pertama, proses peneguhan politik
berbasis sosiologis seperti organisasi formal dan informal telah membuat
pemilih berada dalam jaringan sosial yang memungkinkan terjadinya proses
mobilisasi politik dan menyebabkan warga lebih terlibat (engaged).
Organisasi sosial seperti jaringan primordial atau
identitas berbasis agama kedaerahan, organisasi kepentingan seperti serikat
buruh dan petani, serta asosiasi volunteristik misalnya klub olahraga, musik,
dan komunitas lainnya sudah 'digarap' para paslon sejak putaran pertama dan
kian dikukuhkan di putaran kedua.
Model pendekatan SES atau socio-economic status seperti
dari Parry, Moyser, dan Day dalam Political Participation and Democracy in
Britain (1992) yang kemudian disempurnakan civic voluntary model dari Verba,
Scholzman, dan Brady dalam Voice and Equality (1995) sebenarnya sudah
menunjukkan kecenderungan polarisasi pilihan di kedua paslon.
Para penganut model sosiologis yakin bahwa seorang pemilih
memilih pasangan calon karena adanya kesamaan di antara karakteristik
sosiologis pemilih dan karakteristik sosiologis calon.
Platform mungkin tidak menjadi faktor penentu, tapi
sentimen agama, etnik, ras, dan kedaerahan membuat polarisasi itu ada atau
secara sadar dikelola ada sejak putaran pertama.
Faktor yang turut menentukan ceruk pasar pemilih DKI di
putaran kedua ada pada model psikologis dan model rasional.
PartyID atau identitas kepartaian memang sangat lemah
sehingga partisanship warga di pilkada tak membuat partai memiliki daya ikat
pada warganya.
Tetapi, sejumlah faktor lain seperti informasi politik,
kepentingan politik (political interest), internal afficacy atau merasa
pemilu itu ada manfaatnya untuk warga DKI yang memilih akan berpengaruh.
Warga akan berpartisipasi dalam memilih bukan semata
karena dirinya berada dalam jaringan sosial, terlibat dalam kegiatan civic,
melainkan juga karena ia ingin berpartisipasi.
Informasi politik membuat warga DKI memiliki informasi
memadai tentang para paslon dengan ia terlibat untuk memutuskan siapa yang
akan dipilih di putaran kedua.
Sementara itu, political efficacy merupakan perasaan
seseorang bahwa dirinya mampu memahami dan menentukan keadaan yang berkaitan
dengan kepentingan publik.
Ada optimism bahwa pilkada bukan kesia-siaan belaka.
Faktor psikologis ini membangun persepsi dan sikap
partisan seseorang karena proses sosialisasi politik yang dialaminya.
Selain itu, perjuangan merebut hati dan simpati warga DKI
juga akan sangat dipengaruhi faktor egosentris, sosiotropik, retrospektif,
dan prospektif yang lazimnya ada dalam model rasional.
Faktor egosentris, warga biasanya mengevaluasi kondisi
dirinya di tengah beragam persoalan DKI yang kompleks.
Faktor sosiotropik, evaluasi umum atas keadaan di DKI yang
terjadi saat ini, misalnya evaluasi keadaan ekonomi dan kesejahteraan sosial
serta pengaruhnya pada warga DKI.
Faktor retrospektif juga memikirkan apa yang sudah
dikerjakan atau dijanjikan para paslon.
Pemilih akan membandingkan dengan masa lalu masing-masing.
Dalam konteks inilah, posisi petahana sesungguhnya
diuntungkan mengingat beragam capaian selama dia menjabat di periode pertama
bisa menjadi pesan kampanye untuk meyakinkan publik bahwa dirinya sudah
berkiprah dan tinggal melanjutkan.
Sementara itu, penantang, dalam konteks ini paslon nomor
urut 3, harus berjibaku meyakinkan janji-janji politik yang rasional dan
terukur agar warga DKI melihatnya ada prospek pada dirinya untuk memimpin DKI
lima tahun ke depan.
Tak mudah karena setiap janji di putaran kedua akan diuji
publik apakah masuk akal, terukur, jelas, dan menyelesaikan persoalan warga
DKI atau tidak.
Faktor prospektif itu terkait dengan cara bagaimana para
paslon memperbaiki keadaan.
Ronde final
Jelang pilkada nyaris tak ada jeda.
Perburuan suara akan sangat intens dalam empat hal, yakni
program, isu, personality, dan basis infrastruktur pemenangan.
Informasi soal program sesungguhnya sudah berserakan di
ragam kanal informasi sehingga orientasi publik pada sejumlah gagasan paslon
sudah terjadi.
Jelang ronde final ini, para paslon dan tim suksesnya
tinggal meneguhkan koorientasi atau pemahaman yang sama.
Ada tiga faktor yang biasanya ada dalam koorientasi.
Pertama, kongruensi (congruention) sejauh mana pandangan
para paslon sesuai dengan perkiraan mereka tentang pandangan warga DKI
mengenai isu, gagasan, program yang diusungnya.
Kedua, kesepakatan (agreement) yakni sejauh mana warga DKI
memberikan evaluasi yang sama terhadap sebuah isu, gagasan, dan program yang
ditawarkan para paslon sehingga menjadi perhatian bersama.
Ketiga, pemahaman (understanding), saat warga DKI memahami
beragam solusi pemecahan masalah di masa mendatang yang menjadi cara terbaik
para paslon untuk meyakinkan mereka.
Saat ketiga faktor ini ada, itu tentu saja bisa
menggerakkan warga untuk memilih mereka di putaran kedua.
Ronde final ini berpotensi menjadi pertarungan yang keras.
Oleh karenanya harus ada tanggung jawab sosial dari kedua
paslon untuk memosisikan pilkada DKI dalam kerangka strategis politik
nasional.
Jangan korbankan konsolidasi demokrasi dengan cara-cara
yang merusak kohesivitas bangsa.
Konflik horizontal berbasis isu suku, agama, ras, dan
antargolongan sulit disembuhkan.
Oleh karena itu, semua paslon harus mengedepankan politik
berkeadaban dalam meraih kemenangan.
Pertarungan pilkada DKI memang sangat melelahkan, tetapi
harus menguatkan, bukan menghancurkan demokrasi Indonesia atas nama
kepentingan.
Biarlah kalah dan menang menjadi catatan bahwa para paslon
sudah mencatatkan namanya sebagai 'petarung' yang menjunjung tinggi muruah
keindonesiaan. ●
|
( Maaf, masih versi
asli, belum di-edit )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar