Belajar
dari Risalah Sarang
A Helmy Faishal Zaini ; Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama
|
KOMPAS, 10 April 2017
Sebanyak 99 ulama karismatik berkumpul dalam sebuah forum
yang sangat istimewa, ”Silaturrahim Nasional Ulama Nusantara”, di Sarang,
Rembang. Mengapa saya menyebutnya istimewa, setidaknya karena dua alasan.
Pertama, berkumpulnya kiai karismatik ini praktis jarang kita temui pasca-era
Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Zaman Gus Dur, kita mengenal istilah kiai khos
yang dari merekalah ”isyarat langit” bisa kita peroleh. Kedua, jika kiai
karismatik berkumpul, bisa dipastikan sedang ada masalah serius yang sedang
dihadapi, terutama menyangkut bangsa ini.
Terlebih, sejarah mencatat bahwa dari rahim kiai-kiai
karismatiklah konsep nasionalisme itu salah satunya dipahat. Sebagai contoh
kecil adalah soal diktum hubbul warhan minal iman yang
dicetuskan KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Hasbullah.
Sejarah membuktikan bahwa mayoritas umat Islam Indonesia
memandang hubungan agama dan negara sudah terjembatani dengan baik dengan
dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan ideologi Pancasila
sebagai bentuk final. Bahkan, Nahdlatul Ulama (NU) telah memutuskan hal ini
lewat Muktamar XXVII tahun 1984. Keputusan menerima Pancasila dan NKRI
sebagai bentuk final merupakan kelanjutan momentum bersejarah yang pernah
diputuskan NU pada tahun 1936 saat Muktamar Banjarmasin yang menyatakan
Indonesia merupakan darul Islam.
Nasionalisme atau rasa cinta tanah air umat Islam Indonesia,
meminjam Said Aqil Siroj (2016), adalah nasionalisme yang lahir dari nurani
yang paling dalam, bukan semata-mata kesadaran politik, melainkan lebih dari
itu juga kesadaran ideologis dan bahkan mitis. NU sadar bahwa bernegara
adalah salah satu wahana untuk mengejawantahkan nilai-nilai agama. Beragama
yang baik tentu saja tidak cukup dengan ibadah ritual semata, tetapi juga
ibadah sosial harus dijaga.
Tujuan bernegara, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
UUD 1945, bisa dijadikan pedoman untuk mengukur apakah penyelenggaraan negara
yang dijalankan oleh pemerintah selama ini telah sesuai dengan garis-garis
yang dirumuskan para pendiri negara. Apakah negara sudah melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia?
Apakah negara sudah memajukan kesejahteraan umum? Apakah
negara sudah menunaikan kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Apakah
negara sudah melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial?
Jika kita cermati lebih jauh, sungguhpun cita-cita para
pendiri negara belum bisa sepenuhnya direalisasikan dengan baik. Pada
kenyataannya, memang berbagai upaya terus dilakukan untuk memperbaiki
keadaan. Kebijakan demi kebijakan terus dilakukan seiring dengan silih
bergantinya pemerintahan, tetapi sejumlah persoalan serius nyatanya masih
menghadang bangsa ini.
Sebut, misalnya, dalam bidang pembangunan dan ekonomi.
Perekonomian yang terlalu berfokus pada pertumbuhan, tetapi kurang
memperhitungkan secara matang aspek pemerataan, telah menimbulkan jurang
kesenjangan yang luar biasa. Indeks rasio gini kita adalah 0,041. Ini
persoalan yang sangat serius. Padahal, Islam mengajarkan, selain aspek
pertumbuhan, aspek pemerataan itu merupakan hal yang esensial dan penting
adanya.
Temuan terbaru menunjukkan laju kesenjangan antara orang
kaya dan orang miskin di Indonesia merupakan yang tercepat di kawasan Asia
Tenggara. Empat orang terkaya (konglomerat) Indonesia melebihi kekayaan
seratus juta penduduk Indonesia di struktur terbawah. Bahkan, ada satu perusahaan
keluarga yang menguasai 3 juta hektar lahan.
Ini menandakan kebijakan ekonomi yang diterapkan
pemerintah lebih kental bernuansa liberal-kapitalistik daripada melaksanakan
kebijakan ekonomi konstitusi (amanat UUD 1945, khususnya Pasal 33)
sebagaimana mestinya.
Sementara itu korupsi masih merajalela di tengah-tengah
negeri yang 28 juta-30 juta penduduknya masih menghadapi problem kemiskinan
ini. Perilaku korup menjangkiti hampir semua elemen masyarakat dan struktur
kenegaraan. Baik di lingkungan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Belum
lagi negeri ini sedang menghadapi darurat narkoba, maraknya paedofilia
(kekerasan seksual terhadap anak), juga masalah perdagangan manusia dan LGBT
(lesbian, gay, biseksual, dan transjender).
Di sisi lain, tren perkembangan politik global mengarah
pada makin mengerasnya ide-ide konservatif yang tidak bersahabat terhadap
penduduk imigran (Hadiz: 2017). Ini adalah perkembangan terakhir di tingkat
global yang sangat mengkhawatirkan semua pihak. Dari setiap terjadinya pergantian
kekuasaan negara, arus konservatisme terus menguat, baik di Eropa maupun di
Amerika Serikat. Perkembangan ini akan berujung pada kemungkinan terbukanya
konflik antarnegara, yang cepat atau lambat akan berpengaruh pada negara
kita.
Sementara perkembangan Islam di Timur Tengah terus
bergerak ke arah yang tidak menggembirakan. Pandangan keagamaan yang kaku dan
cenderung menyalahkan orang lain sudah menjadi komoditas yang dengan sangat
mudah kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Timur Tengah, yang semula
diharapkan menjadi kiblat percontohan dari pengejawantahan Islam rahmatan
lil alamin, kini malah jadi semacam pabrik yang memproduksi ideologi
Islam radikal yang anti pada kemajemukan (Ismail: 2017). Ideologi ini
diekspor ke sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Kondisi terkini, di Indonesia sedang terjadi tarik-menarik
dua kekuatan yang sedang berkembang. Satu paham didasarkan pada liberalisme,
sementara di pihak lain sedang berkembang sebuah paham yang didasarkan pada
semangat ortodoksi dan puritanisme yang disalahartikan.
Keterpanggilan ulama khos
Pelbagai situasi di atas adalah beberapa di antara
persoalan-persoalan penting yang dibahas secara serius oleh ulama-ulama
karismatik di Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Lima poin yang dihasilkan dari
pertemuan tersebut dibingkai dalam sebuah keputusan yang diberi tajuk
”Risalah Sarang”. Kerangka yang ingin dibangun oleh Risalah Sarang tersebut
tampaknya adalah pentingnya kembali untuk berperilaku ”moderat”, toleran,
demokratis, dan selalu mengedepankan akhlakul karimah (Tajuk Kompas,
”Kembali ke Jalur Moderat”, 21/3).
Kelimanya meliputi, pertama, NU mengajak segenap elemen
bangsa untuk senantiasa menjaga negara dari berbagai kemungkinan yang
mengancam dan memecah belah. Sikap moderat dan toleransi menjadi kata kunci
yang harus terus dipelihara demi menjaga keutuhan bangsa.
Kedua, sulitnya bertemu dengan yang namanya keadilan
adalah sumber utama dari pelbagai persoalan: ekonomi, hukum, dan tentu saja
pendidikan. Jurang yang terlalu lebar antara si miskin dan si kaya, penegakan
hukum yang masih beraroma tebang pilih, dan juga sulitnya akses pendidikan
bagi kaum papa adalah persoalan serius menyangkut keadilan.
Kondisi yang demikian itu pada prinsipnya menyalahi apa
yang sudah digariskan dalam jargon fikih: tasharraful imam ala
raiyyah mauuthun bil mashlahah. Kebijakan pemimpin harus terutama
didasari untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat.
Ketiga, efek negatif dari revolusi komunikasi di era
digital ini menyebabkan keresahan yang tidak remeh. Berita palsu, fitnah, dan
juga ujaran kebencian menjadi persoalan sehari-hari yang menghiasi kehidupan
berbangsa dan bernegara kita. Jurnalisme gosip yang tidak mengindahkan sama
sekali kaidah jurnalisme menjadikan berita palsu dan fitnah begitu
mengecambah bak cendawan di musim hujan.
Pada saat yang sama, minimnya literasi membuat bangsa kita
terseok-seok di hadapan perubahan. Masyarakat menjadi mudah terpecah belah
dan terpolarisasi hitam putih pro dan kontra di nyaris seluruh persoalan
bangsa, termasuk dalam peristiwa pemilihan kepala daerah. Solusi yang harus
dicoba adalah dengan meningkatkan edukasi agar kemampuan literasi bagi
masyarakat meningkat. Ini penting dilakukan sebagai bentuk penyesuaian agar
kita tidak tumbang digerus perkembangan dan perubahan zaman.
Keempat, pemimpin harus benar-benar menjadi pengayom
masyarakat. Di dalam level masing-masing pemimpin harus bisa menjelma menjadi
sosok yang ”ngemong’”, bukan sebaliknya menjadi sosok yang provokatif
dan cenderung memasok bahan bakar kebencian kepada umatnya.
Kelima, perlunya dihelat pertemuan antarelemen bangsa
untuk membahas serta mendudukkan segala persoalan yang sedang mendera.
Pertemuan ini penting sebagai sarana untuk mencari solusi dan langkah-langka
konkret dalam menghadapi persoalan kebangsaan.
Penting untuk dicatat bahwa kemampuan yang hilang dari
mayoritas bangsa ini adalah kemampuan untuk mendengar. Belakangan, bangsa ini
kelihatan lebih rewel dan banyak komentar. Sebaliknya, bangsa ini tampaknya
hanya sedikit sekali mendengar. Dan, pada pertemuan antarelemen itu
diandaikan tiap-tiap pihak belajar untuk mendengarkan, menghargai, untuk
kemudian saling memahami.
Alhasil, Risalah Sarang adalah suara kiai-kiai sepuh yang
berbicara dengan hati. Dan, senyatanyalah apa yang dihasilkan dari pertemuan
tersebut dimaksudkan untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara yang kita
cintai ini. Setali tiga uang dengan hal itu, hendaknya semua elemen bangsa
lebih reflektif dan mengoreksi ke dalam dirinya masing-masing tanpa perlu
saling menuding dan menyalahkan satu sama lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar