Atheisme
Goenawan Mohamad ; Esais;
Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO, 10 April 2017
Atheisme tak lahir di masa modern,
tak juga ketika ada seseorang yang dengan cemas mewartakan bahwa "Tuhan
sudah mati".
Antara tahun 800 dan 500 sebelum
Masehi, di India, di masa ketika Upanishad mulai disusun sebagai Åruti
(kitab), sudah terdengar pernyataan-pernyataan yang menampik Wujud yang kekal
dan kuasa. Surga dan neraka dinafikan, para pendeta diejek. Dalam salah satu
Upanishad, ada bagian yang menyamakan para pendeta dengan sebarisan anjing:
yang satu memegang ekor anjing yang mendahuluinya, dan semua mengulang,
dengan takzim, kalimat yang sama.
Dalam jilid pertama The Story of
Civilization Will Durant ada nukilan tentang cerita Verocana yang selama 32
tahun di kahyangan jadi murid Prajapati. Sang Mahadewa mengajarkan
"Ingsun, Diri yang bebas dari mala, tak lekang oleh umur, tak bisa mati,
tak bisa sedih, tak bisa lapar... yang hasratnya adalah Kasunyatan".
Tapi ternyata Verocana kembali ke bumi dan mengajarkan doktrin yang durhaka:
"Orang yang membuat dirinya bahagia di bumi... akan beroleh dunia yang
kini dan nanti."
Demikianlah di sudut-sudut India,
sebelum Buddha lahir (yang ajarannya juga tak akan berbicara tentang Tuhan),
hidup orang-orang bijak yang tak peduli adanya dewa, juga para pemikir
materialis yang ingkar. Ajita Kesakambali, misalnya, menganggap manusia hanya
tanah, air, api, dan angin: "Si pandir maupun si pandai, setelah tubuh
mereka lumer, terputus, dimusnahkan... mereka bukan apa-apa." Bahkan
dalam Ramayana ada tokoh bernama Jabali yang berkata kepada sang raja muda
dari Ayodhya: "Tak ada hari kemudian, Rama, harapan dan iman manusia
hanya sia-sia."
Sebuah era yang seru: para
cendekiawan berkelana dari tempat ke tempat, muncul di dusun-dusun, tepian
hutan, dan lereng bukit. Di antara mereka para Paribbajaka mengajarkan logika
sebagai kiat pembuktian; mereka berbicara tentang tak-adanya Tuhan. Di bagian
lain, para Charvaka menegaskan bahwa agama adalah sesuatu yang sesat, sebuah
penyakit, dan hanya dipeluk kencang oleh orang ramai yang merasa bingung
ketika pengetahuan tumbuh dan iman longsor. Mereka adalah pendahulu Marx yang
berabad-abad kemudian menggemakan kesimpulan yang mirip: "Agama adalah
desah makhluk yang tertindas, hati di dunia yang tak punya hati, dan sukma
dari dunia yang tak punya sukma." Agama, bagi Marx, adalah candu orang
ramai.
Tapi jika agama hanyalah ekspresi
manusia--juga penghiburnya--jika agama bukan sesuatu yang datang dari langit,
di manakah Tuhan? Tak ada?
Sekian abad sebelum Masehi, di
India, di masa yang disebutkan di atas, tampaknya sebuah perubahan terjadi.
Khalayak datang berbondong-bondong mendengarkan para atheis berbicara atau
berdebat. Bangunan besar dibangun buat menampung mereka. Waktu itu--mungkin
tak jauh berbeda dengan masa kini--agama begitu penting di masyarakat, tapi
ditandai kecemasan sosial dan psikologis yang akut. Makna rohaninya pudar dan
orang merasakan hal itu. Iman jadi peraturan dan amal baik jadi pameran.
Ibadah tak lahir dari rasa syukur dan takjub kepada Tuhan, tapi karena ada
otoritas yang mewajibkannya. Di Jerman abad ke-18 Hegel juga melihat gejala
ini; ia menyebutnya sebagai "Positivität" agama: "Perasaan
ditumbuhkan dengan mekanistis dan melalui paksaan, amal dikerjakan atas
perintah dan kepatuhan...."
Pendek kata, agama telah
kehilangan sifatnya yang "subyektif". Sadar atau tak sadar, yang
merasa beriman sebenarnya telah jadi semata-mata obyek, bukan dirinya
sendiri. Ia "hilang bentuk/remuk". Ia terasing dari tindakan dan
dunianya. Ia tak merdeka, hanya bisa menghadap ke satu arah dengan ketakutan.
Agaknya itulah yang digambarkan Chairil Anwar dalam sajak "Doa":
Tuhanku
aku
mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di
pintu-Mu aku mengetuk
aku
tidak bisa berpaling
Sajak ini, meski mengandung
protes, adalah puisi yang religius. Apa yang menggetarkan adalah saat Tuhan
disebut sebagai Ia yang bisa diajak berbicara, Ia yang tak bertakhta
dikelilingi benteng yang tinggi--meskipun manusia, dalam agama yang
"positif", yang dogmatis, mengabaikan bahwa di dekat-Nya ada pintu.
Dengan kata lain, Tuhan dalam
"Doa" bukan Tuhan yang sudah jadi berhala--bukan Tuhan yang
dibentuk dan dirumuskan manusia, ditopang agama yang hanya untuk kepentingan
si manusia. Tuhan, Dewa, Berhala: membatu, kedap, tegar, tak responsif kepada
apa yang khas, yang partikular, dalam hidup.
Saya kira itulah yang terjadi
ketika atheisme berkecamuk: orang menampik Tuhan di masa yang sama ketika
agama membekukan Tuhan dan meniadakan pintu. Kini dan 2.800 tahun yang lalu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar