Aku
Menolak Parlemen
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
KOMPAS, 25 April 2017
Sebenarnya,
judul tulisan yang muncul cepat di benak saat membaca berita seputar parlemen
beberapa waktu belakangan ini adalah: "bubarkan parlemen!" Hanya karena tidak rela judul itu masuk
dalam "jebakan medsos" atau "mimbar pelintiran logika"
yang sedang laku keras belakangan ini, saya surutkan judul itu. Dengan judul
yang akhirnya tertulis di atas saya ingin menegaskan (kembali) apa yang sudah
saya lantangkan dan tuliskan belasan tahun lalu di harian ini juga.
Ketika itu,
Senin (21/11/2005), saya menulis sebuah opini berjudul "Menolak
Parlemen", berisi gugatan, ilustrasi sosiokultural, hingga argumentasi
historis mengapa parlemen (DPR) pada saat itu, sebagai segerombolan manusia
yang merasa dirinya "wakil (seluruh) rakyat" negeri ini, harus
ditolak semua produknya.
Sesungguhnya
tak perlu lagi tulisan ini menyodorkan sejumlah argumentasi. Apa yang terjadi
belakangan, pikiran jernih paling sederhana hingga logika bengkok media
sosial, apalagi hati-jiwa yang sehat, sangat mampu menangkap kedegilan luar
biasa yang dipamerkan di depan mata, jidat dan batin kita semua. Ya, kita
yang -menurut adab demokrasi-adalah pemilik sah kedaulatan negeri, pemberi
amanah, juga pemberi fasilitas mewah kepada mereka yang degil di parlemen
itu.
Kekeliruan adab demokrasi
Jangan minta
saya menderetkan pameran kekejian jabatan publik yang mereka miliki saat ini.
Bukan cuma soal uang rakyat yang mereka gunakan untuk pelesiran, dalam atau
luar negeri, megakorupsi yang hampir terintegrasi ke dalam semua perangkat
yang ada di dalamnya, juga manuver, manipulasi, hingga khianat politik yang
diperagakan dengan ketunaan adab serta kesantunan.
Bahkan, hingga
akhirnya mereka memberi luka sangat dalam pada ide demokrasi yang mereka
amini dan produk sendiri: Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berkonspirasi jahat
dengan Mahkamah Agung (MA) melawan konstitusi atau hukum yang dihasilkan
saudara "MA" sendiri.
Negeri apa
ini? Negeri apa yang mereka bayangkan dan sedang mereka bangun (dengan virus
dan bom involusi yang sangat merusak) ini?
Demokrasi,
sebagai sistem atau cara kita berpikir, bertindak, hingga menata kehidupan
bermasyarakat dan bernegara kita sudah makin busuk dan membuktikan dengan
kuat sinyalemen hingga prediksi yang belasan tahun ini saya kabar dan
tuliskan. Amerika Serikat yang menjadi acuan ratusan bangsa/negara dunia
ternyata memberi kita produk mutakhir demokrasinya seorang pemimpin yang
bergaya "preman" ketimbang seorang pemimpin yang elegan,
supercerdas, berpengalaman, dan wicaksana.
Negara-negara
Eropa hampir semua tergetar ketika demokrasi justru seperti memberi jalan
lapang bagi muncul dan terlegitimasinya tokoh-tokoh yang akan menjadi monster
bagi ideal-ideal yang mereka masukkan ke dalam keranjang sistem politik itu
sendiri. Seperti dahulu mereka melahirkan Hitler yang dengan cara hampir
serupa. Demokrasi, ratusan tahun setelah usianya, terbukti bukan pelajar yang
cerdas dan baik. Ia bahkan justru menjadi busana untuk mengelabui masyarakat
akan status quo hingga pengebirian hak rakyat yang dilakukan manusia di
baliknya.
Demokrasi
(tentu saja bersama kembarannya, kapitalisme), yang akan busuk dan runtuh
sendiri ini (dalam jangka dekat) nanti akan tercatat sejarah sebagai
"kekeliruan adab" (civilization fallacy) terbesar yang pernah
dibuat manusia, di samping kejahatan besar apa pun yang pernah dilakukannya.
Pelajaran betapa demokrasi jadi semacam "invicible armor" dari
kejahatan manusia sesungguhnya bukan sejak Hitler, apalagi maraknya para
politikus "populis", hingga proses pemilihan yang disesaki hoaks, rasa
benci, dan akal sehat yang terkontaminasi di negeri kita belakangan ini,
melainkan sejak dahulu, dulu sekali, dua milenium atau lebih 2.000 tahun
lalu.
Dalam tulisan
saya 12 tahun lalu tersebut, saya sudah memaparkan bagaimana demokrasi yang
dianggap paling mula bahkan paling murni, asli, dan bersih di polis-polis
kepulauan Yunani dahulu sesungguhnya sudah disesaki oleh praktik-praktik
kotor dan sesat. Saya mengutip catatan tertua, sejak 67 tahun SM, di Yunani,
perilaku korup wakil rakyat sudah begitu dikenal, di antaranya dengan membeli
suara pemilih. Satu modus yang sekarang umum dilakukan, termasuk dalam proses
pemilihan pimpinan, termasuk di lembaga semacam parlemen.
Cicero,
legenda politik kenegarawanan yang jadi konsul saat itu, mengusulkan para
calon tak boleh menerima jamuan makan, hadiah, menyelenggarakan pentas
gladiator, hiburan umum selama dua tahun pencalonannya. Siapa yang terbukti
melanggar akan didenda, dipenjara dan dibuang ke luar negeri selama 10 tahun.
Hasilnya? Bahkan, lembaga penuh wibawa, macam Cicero pun, tak berhasil
mengingatkan, mengancam, apalagi memberikan sanksi kepada para calon konsul
untuk menghentikan praktik kotor itu.
Kita yang
sedikit belajar politik, entah "wakil-wakil rakyat" itu, tentu
mengenal Cicero. Tokoh dengan kecerdasan paripurna, akal sempurna, lidah atau
kata-kata indah penuh kuat pada kebenaran, juga kuasa tinggi sebagai konsul
yang dihormati, ternyata tak mampu menggunakan semua arsenal
politi-intelektual-budayanya itu untuk memengaruhi kejahatan demokrasi.
Korupsi tetap
merajalela. Para calon tetap keluar uang banyak. Tercatat, Julius Caesar pun
berutang sejuta sesterce (sekitar 300.000 dolar AS) dalam pemilihan suara
tingkat pertama. Empat tahun kemudian utangnya berlipat jadi 750.000 dollar.
Penggantinya, Marcus Antonius, saat berusia 24 tahun berutang 50.000 dollar,
14 tahun kemudian meningkat jadi 900.000 dollar. Silakan hitung dan
bandingkan dengan biaya jadi pemimpin daerah, anggota DPR, atau senator
belakangan ini.
Revolusi kedua
Dengan
beberapa pergaulan dan pengalaman ada di lingkungannya, mungkin saya sedikit
mafhum dengan apa yang terjadi di parlemen kita saat ini. Namun, semua itu
sungguh tidak cukup untuk memahami, mendapat substansi, hingga asbabun nuzul,
apalagi solusi terbaik, bagi praktik-praktik yang sudah hampir menjadi cerita
rakyat tentang parlemen itu.
Ketika
parlemen sebagai perangkat keras utama demokrasi menjadi bagian konspiratif
dari budaya yang sangat merusak itu, maka bukan cuma produk-produk yang
diciptakan (oleh anggota-anggotanya yang korup, manipulatif, dan destruktif)
harus ditolak, tetapi juga keberadaannya harus berani kita sangkal.
Dalam tulisan
tahun 2005, saya mengonstatasi, penolakan macam di atas bisa menciptakan
kekhawatiran sebagian kalangan akan potensinya melahirkan disorder. Namun,
saya meneguhkan, "Tapi negeri, negara, dan penguasa harus juga
diingatkan secara keras. Agar Presiden dan Mahkamah Konstitusi (dan MA),
misalnya, berpikir lebih keras, bagaimana mereka menggunakan wewenangnya
untuk memberi jalan pada publik untuk mampu mengoreksi dan membenahi para
wakilnya yang menyimpang. Tak cuma boleh menjadi korban belaka."
Hari ini kita
menyaksikan bagaimana lembaga hukum (yuridis) tertinggi, MA, bukannya justru
menjadi kesatria legislatif menegakkan hukum dan konstitusi, melainkan malah
jadi bagian konspirasi pengkhianatan UUD itu. Fakta ini menunjukkan bukan
saja parlemen telah berubah menjadi gergasi dengan impunitas tinggi,
melainkan kuasanya luber mengangkangi kekuatan eksekutif dan legislatif yang
menjadi sejawat atau kekuatan penyeimbangnya.
Maka, hari ini
juga kita menyadari bagaimana rakyat sebagai pemegang kedaulatan dan pemberi
pinjaman kekuasaan (amanah) pada parlemen ternyata mati kutu alias tidak
mampu berkutik menghadapi "pelayan" atau "petugas"
kedaulatannya, ketika pihak terakhir itu mengkhianati tugas dan tanggung
jawab amanah. Karena itu, demokrasi negeri ini tak menyisakan satu pun
kekuatan yang mampu meng-"atas"-i parlemen. Parlemenlah yang kini
jadi super-institusi itu.
Kita harus
menyatukan kekuatan, di semua elemen, menghadapi ancaman tidak main-main itu.
Ancaman yang akan mendorong anak cucu kita dalam lembah perbudakan modern
yang mengerikan.
Sudah tiba
waktunya, saya kira, kita semua pemangku bangsa memulai pencarian besar itu,
sebagaimana para pendiri bangsa ini dahulu melakukannya. Revolusi kedua,
dalam pemikiran atau perjuangan mental batin ini, hampir terlambat kita
lakukan, setelah lebih dari 70 tahun kita terlena oleh kebohongan dan
involusi penuh ancaman ini. Betapapun itu menyakitkan dan membuat sebagian
kita menderita, kita harus kuat dan teguh, termasuk untuk mengorbankan
sebagian yang kita miliki/cintai.
Apalagi yang ditunggu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar