Agar
Anak-anak Kita Tidak Menjadi Rasis
Iqbal Aji Daryono ; Praktisi Media Sosial; Penulis Buku
"Out of The Truck Box"; Kini ia tinggal sementara di Perth,
Australia, dan bekerja sebagai buruh transportasi
|
DETIKNEWS, 04 April 2017
Araluen Botanic Park, 35 kilometer tenggara Perth, musim
semi 2016. Bebunga tulip warna-warni di ladang-ladang rimbun itu seketika
lenyap cantiknya. Hayun, anak saya, menjerit tiba-tiba, melolong histeris
kesakitan. Gara-garanya, seorang lelaki tinggi tegap berumur 50-an memotong
antrian, menabrak Hayun dengan keras, hingga badan mungil anak saya itu
membentur tepi kereta mini yang akan dia naiki.
Sontak saya berteriak membentak si lelaki tua itu,
sampai-sampai empat atau lima anggota keluarganya berdatangan membelanya.
Puluhan kepala pun menoleh ke arah kami. Keributan kecil memalukan itu baru
berhasil diredam setelah operator kereta mini turun dan menengahi, lalu Hayun
digendong ibunya pindah ke gerbong lain.
Sembari masih sesenggukan, Hayun pun akhirnya diam dari
tangisnya. Namun malang, ternyata masih ada sisa luka di hatinya.
Lelaki yang menyerobot antrian dengan brutal itu berasal
dari Negeri Anu. Kami tentu hafal ciri fisik dan warna kulitnya. Waktu
ribut-ribut terjadi, kami kelepasan pula menyebut mereka sebagai
"orang-orang dari Negeri Anu".
Identifikasi seperti itu ternyata menjadi dosa besar kami
kepada Hayun. Dengan rasa sakit di badannya, juga rasa takut setengah mati di
dalam dadanya, Hayun menyimpan semacam dendam kepada orang-orang dari Negeri
Anu. Sejak hari itu sampai beberapa bulan setelahnya, tiap kali kami
mengunjungi tempat-tempat ramai, kepala Hayun selalu tingak-tinguk cemas,
sambil mulutnya bertanya dengan nada ngeri, "Pak, ada orang-orang Anu
apa enggak?"
Sedih sekali saya melihatnya. Satu-dua kali saya coba
memahamkan kepadanya, bahwa tidak semua orang dari Negeri Anu adalah manusia
kasar penyerobot antrian. "Banyak yang baik, Nduk. Bahkan teman-teman
Bapak di gudang juga banyak yang dari Negeri Anu. Mereka juga baik kok sama
Bapak."
Tapi, anak-anak tetaplah anak-anak. Teori-teori normatif
tidak cukup mempan untuk meruntuhkan imajinasi mereka. Hayun masih saja
merekam di kepalanya sebuah citra tak terlawan, bahwa orang-orang Anu itu
sungguh berangasan.
Untunglah, Tuhan menolong saya. Tampaknya Dia mengutus
seorang anak sebaya Hayun ke sebuah taman bermain, beberapa bulan selepas
Tragedi Kereta Mini.
Kali ini TKP-nya di taman bermain Kwinana Adventure Park,
sekitar 20 km dari rumah kami. Kami datang sekeluarga saja, sehingga Hayun
sendirian yang berlarian, berlompatan, dan bergelantungan di aneka alat
permainan. Saat ia kesepian main sendirian itu, ia bertemu dengan beberapa
anak lain, bermain bersama, meski cuma 5-10 menit lalu berpisah lagi.
Hingga kemudian saya melihat Hayun bermain dengan seorang
gadis kecil. Mereka bermain lumayan lama, tampak begitu menyenangkan,
sampai-sampai keasyikan mereka harus saya potong karena waktu magrib segera
datang. Dan waktu saya mendekat, hei, ternyata dia anak dari Negeri Anu!
Kesempatan itu tidak saya sia-siakan. Sembari saya gandeng
menuju mobil, Hayun saya ajak berbincang kecil. Saya pastikan dulu dia bisa
mengira-ngira teman barunya tadi dari negara mana. Ternyata memang dari
Negeri Anu, dan Hayun menyadari itu. Lalu saya tanyakan apakah anaknya baik
dan ramah ataukah tidak. Hayun menjawab iya. Maka gong pamungkas pun saya
berikan:
"Tuh kan, sekarang kamu tahu. Tidak semua orang dari
Negeri Anu itu jelek dan suka nabrak-nabrak kayak yang di Araluen waktu itu,
kan? Jadi jangan terus takut sama semua orang Anu."
Entahlah, apakah anak saya serta-merta menetralkan ingatan
buruknya atas peristiwa kereta mini, sembari menghapus label "Negeri
Anu" yang melekat pada lelaki tua yang menabraknya waktu itu. Yang
jelas, sejak peristiwa bermain bersama di Kwinana, dia tak pernah lagi
tingak-tinguk sambil mencemaskan kehadiran orang-orang Anu.
Barangkali Hayun berubah memang karena pengalaman bagusnya
menghapus pengalaman buruk sebelumnya. Namun mungkin pula itu terjadi karena
fondasi yang memadai, yang telah ia dapatkan dari sekolahnya.
Australia memang secara serius menekankan kesadaran akan
multikulturalisme. Sebagai negeri yang sangat majemuk, dengan gelombang
imigran yang datang dari segala penjuru bumi, kesadaran atas keberagaman ini
menjadi satu kebutuhan mendasar bagi harmoni sosial masyarakat negeri ini.
Setiap saat di sini terjadi interaksi antara orang-orang dengan ciri fisik
yang berbeda, dengan kebudayaan yang berbeda, dengan kebiasaan dan tata cara
hidup yang juga berbeda.
Karena itulah, sekolah-sekolah pun mengondisikan agar
anak-anak terbiasa dengan perbedaan itu. Saya sendiri masih berusaha mencari
tahu, bagaimana secara praktis guru-gurunya mengajarkan tentang kemajemukan
ini dalam pelajaran sekolah. Maklum, Hayun baru saja naik kelas dua, dan saya
cuma bisa mengakses referensi dari bundel catatan anak saya itu di tahun
pertamanya. Namun, beberapa cuilan informasi yang saya dapatkan memunculkan
sedikit gambaran.
Pernah, misalnya, Hayun diminta membawa makanan khas dari
Indonesia ke sekolah, untuk sebuah acara bersama. Teman-temannya, yang juga
anak-anak imigran non-Australia, pun membawa makanan mereka masing-masing.
Di lain waktu, sepulang sekolah Hayun memamerkan kemampuan
barunya dalam berhitung dari 1 sampai 10 dalam bahasa Vietnam. Ternyata siang
harinya, anak-anak dari negara non-Australia diminta oleh Bu Guru untuk
tampil mengajarkan hitungan dalam bahasa masing-masing kepada teman-teman
sekelas mereka. Ajaran dari Anh, temannya yang anak Vietnam itu, agaknya yang
paling membekas di ingatan Hayun.
Pernah pula Hayun diminta membawa tiga lembar foto dirinya
dari tiga usia yang berbeda. Saya agak kaget melihat ia ngotot memilih salah
satu foto dengan latar pemandangan persawahan di Bantul, kampung kami.
"Kan biar kelihatan kalau aku anak Indonesia," kata Hayun.
Masih ada beberapa ilustrasi lain, sebenarnya. Misalnya
tentang acara Harmony Day setiap tanggal 21 Maret, ketika anak-anak diminta
memakai kostum berwarna jingga, warna yang disepakati sebagai ekspresi
penghormatan atas keanekaragaman budaya di Australia. Atau, bagaimana gurunya
tak lelah-lelahnya mengingatkan di acara makan bersama, agar Hayun dan Maryam
yang muslim tidak ikut makan sosis babi, dan agar Jiyan yang beragama Sikh
tidak makan daging apa pun. Tak ketinggalan, bagaimana buku-buku bacaan yang
dijadikan PR membaca buat anak-anak sejak kelas satu kerap menghadirkan
tokoh-tokoh cerita dari beragam warna kulit dan latar belakang negara.
Apa pun itu, saya melihat ada satu spirit yang ditekankan
kepada anak-anak, yaitu agar mereka saling mengenal. Itu.
Saya percaya, segala bentuk gejala xenophobia, stereotip,
prasangka-prasangka akibat perbedaan budaya, dan segala sikap yang
dekat-dekat dengan rasisme, berawal dari situasi tidak mengenal. Iya Anda
benar, tak kenal maka tak sayang. Tapi, saya tidak sedang ngomong soal
sayang-sayangan. Maksud saya, tak kenal dalam konteks ini memunculkan kondisi
minimnya informasi, minimnya referensi, dan dari segala keterbatasan itulah
muncul tumpukan imajinasi yang seringkali terlalu bersifat khayali.
Apa yang terjadi pada Hayun di taman bermain pada cerita
di awal tadi adalah bentuk paling gamblang dari aktivitas mengenal. Pada
mulanya ia hanya mengenal sepotong saja informasi tentang orang-orang dari
Negeri Anu. Ketika potongan yang satunya belum ia dapatkan, Hayun cenderung
bermain-main dengan kesan pertama yang ia tangkap.
Beda halnya ketika puzzle dalam otaknya sudah lebih utuh,
akhirnya ia mampu membentuk lukisan yang lebih komplet, dan memahami
orang-orang Anu sebagaimana orang-orang dari negeri lainnya: ada yang baik,
ada yang buruk. Ada yang kasar, ada yang lembut.
Saya paham, tidak semua orang punya peluang yang sama
untuk "mengenal". Bahkan sebenarnya perjumpaan Hayun dengan anak
Negeri Anu di taman bermain itu pun tak bisa lepas dari perkara takdir
hehehe. Ada sisi kesempatan, ada sisi keberuntungan, yang tak semua anak bisa
mendapatkan. Maka, di situlah pengajaran yang bersifat normatif masih selalu
menemukan relevansinya. Ia selalu bisa kita tempatkan sebagai landasan paling
pokok, sebelum anak-anak kita menjumpai realitas kehidupan yang lebih luas.
Jangan khawatir, agama sangat bisa kita jadikan pijakan
awal. Saya sendiri sebagai muslim sudah tentu akan mengacu pada Alquran yang
menyatakan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk
saling mengenal. Alquran juga tegas menjamin bahwa manusia tidak menanggung
dosa dari apa-apa yang tidak dilakukannya.
Dari situ kita bisa menariknya ke satu prinsip, bahwa
manusia tidak layak dihukum karena warna kulitnya, karena kebangsaannya,
karena etnisnya, atau karena latar budayanya. Manusia diberi apresiasi dan
sanksi semata berdasar perbuatan-perbuatan yang dilakukannya. (Dalam hal ini
kita sering lupa, bahwa labeling dan prasangka pun sudah merupakan hukuman
itu sendiri.)
Kalau bosan dengan hal-hal yang normatif, kita pun bisa
mengajarkan kepada anak-anak bahwa sikap-sikap yang cenderung rasis bukan
cuma melawan kebenaran moral, melainkan juga bertentangan dengan kebenaran
sains. Ilmu pengetahuan telah membuktikan bahwa semua manusia setara dalam
segenap potensi dalam dirinya. Kecuali kita mau melompat balik ke masa
ratusan tahun silam, sangat tidak masuk akal bila kita merendahkan dan
membangun prasangka berdasarkan ciri-ciri fisik semata.
Dengan fondasi kesadaran demikian, ditambah dengan
upaya-upaya untuk saling mengenal, anak-anak akan tumbuh jadi pribadi-pribadi
yang tidak merasa menempati dunia ini seorang diri.
Kelak, mereka bakal turut membangun indahnya harmoni.
Menjadi manusia-manusia beradab, bermartabat, berpengetahuan, sehingga tidak
gampang dimanfaatkan oleh para elite yang memainkan agenda-agenda instan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar