Taeguk
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 16
Maret 2017
Entah kapan mulainya, tahu-tahu sudah banyak rumah tangga
Indonesia yang mengganti TV-nya dari merek-merek Jepang ke merek Korea
Selatan. Begitu juga dengan AC, kulkas,
mobil, laptop, dan tentu saja yang sangat akrab dengan kita: smartphone. Bila
dulu kita sangat akrab dengan Oshin, serial TV asal Jepang, kini tiba-tiba
saja layar kaca kita didominasi The Heirs, You Who Came from The Stars, Bride
of The Century, Kimchi Family, Pinocchio, Full House atau Winter Sonata.
Kalau sebagian dari Anda belum familier dengan judul-judul
tersebut, itu semua adalah drama Korea yang tayang di salah satu stasiun TV
kita. Itu baru di satu stasiun TV. Masih ada puluhan drama TV lain yang
tayang di berbagai stasiun TV swasta kita. Di banyak sekolah dan kampus,
banyak guru atau dosen yang tertegun-tegun menyaksikan siswa-siswanya begitu
fasih menyanyikan lagu-lagu Korea.
Bahkan sapaan-sapaan berbahasa Korea bertebaran (mohon
maaf, kalau saya hanya tahu: “annyeonghaseyo“), padahal di sekolah atau
kampusnya sama sekali tak ada pelajaran bahasa Korea. Baiklah saya tambah
sedikit lagi. After School, 4Minute, 2AM, 2PM, A Pink, BEAST, BIG BANG, Block
B, dan (kalau yang ini mungkin Anda sudah familier) Super Junior.
Masih ada puluhan lain. Itu semua adalah namanama boyband
dan girlband asal Negeri Ginseng yang lagu-lagunya dengan fasih
disenandungkan oleh anak-anak kita. Drama Korea serta boy band dan girl band
adalah produk industri kreatif Korea yang mendisrupsi produk-produk sejenis
asal Jepang. Soal drama TV Jepang, Anda mungkin tahunya hanya Oshin.
Padahal ada beberapa lainnya yang juga pernah tayang di
Indonesia. Misalnya Long Vacation, Anything for You, Tokyo Love Story,
Asunaro Hakusho atau Ordinary People, Beautiful Life, dan masih banyak lagi
lainnya. Ada juga band atau penyanyi pop asal Jepang yang sempat manggung di
Indonesia. Mereka antara lain LArc-en- Ciel, ONE OK ROCK, SCANDAL, AAA, Utada
Hikaru, YUI. Kini mereka semua tergusur dari pentas dunia hiburan di
Indonesia, digantikan K-Pop.
Inovasi mendisrupsi bisnis JPop di Indonesia. Begitu pula
untuk produk-produk elektronik. Di sana teknologi mendisrupsi produk-produk
Jepang di pasar kita. Bagaimana Korea bisa melakukannya?
Kaizen vs Quantum Leap
Pertengahan bulan Maret ini Presiden Joko Widodo
mengundang para pengusaha asal Negeri Taeguk tersebut untuk berkunjung ke
Indonesia. Acaranya dikemas dalam program Indonesia-Korea Business Summit
2017. Mereka bukan hanya diundang untuk datang berwisata, tetapi juga diajak
berinvestasi di Indonesia. Ada banyak peluang bisnis yang ditawarkan.
Di antaranya di bisnis pariwisata dan industri kreatif.
Saya berharap investasi yang dilakukan para pengusaha Korea mampu membuat
kita melakukan lompatan yang jauh ke depan, terutama di dalam dua bidang
usaha tadi. Ini sesuai dengan filosofi mereka dalam berbisnis. Dalam dunia
bisnis, kita mengenal istilah kaizen sebagai filosofi yang dianut Toyota.
Kaizen artinya perbaikan sedikit demi sedikit, tetapi
dilakukan terus-menerus (continuous improvement). Dengan filosofi tersebut,
Toyota Motor Corporation mampu menyusul General Motors (GM) sebagai produsen
automotif terbesar di dunia. Ketika Korea ingin produkproduknya mengalahkan
Jepang di pasar dunia, mereka tentu tak bisa kalau hanya mengandalkan
strategi yang sama, continuous improvement.
Kata Albert Einstein, Anda gila kalau menginginkan hasil
yang berbeda, tetapi terus-menerus melakukan hal yang sama. Maka Korea pun
menggagas lompatan kuantum (quantum
leap). Ide quantum leap Korea
sebetulnya sederhana. Mereka menetapkan target di depan, lalu berhitung
mundur dengan menetapkan tahap-tahap apa saja yang harus dilakukan untuk
mencapai target tersebut.
Faktor kunci keberhasilan strategi quantum leap adalah
memaksa diri, inovasi, sinergi, dan konsistensi. Memaksa diri artinya kalau
lamanya suatu proses pada setiap tahap biasanya dilakukan dalam waktu
seminggu, entah bagaimana caranya waktu tersebut mesti bisa dipangkas menjadi
tinggal tiga hari. Paksa diri, cari, dan temukan bagaimana caranya. Pasti
ada.
Upaya memangkas waktu tersebut hanya bisa dilakukan kalau
ada inovasi dan sinergi. Jadi setiap bagian ikut menggali ide-ide baru serta
memberikan dukungan dan kontribusinya untuk membenahi proses-proses yang ada
pada setiap tahap. Bukan masing-masing justru saling jegal. Lalu harus ada
pihak yang perannya mengingatkan secara terus menerus.
“Besok kita harus menjadi nomor satu... Besok kita harus
menjadi nomor satu!” Begitu terus menerus, berulang-ulang, persis seperti
radio rusak. Di banyak perusahaan, kita kerap menyaksikan para pimpinannya
berulang kali bicara soal visi-misi dan tata nilai di hadapan karyawannya.
Konsistensi seperti itu, meski kadang menjemukan, harus dilakukan.
Mereka memilih bertarung di luar negeri, bukan seperti
kita yang senang bertengkar sesama kita: internal battle! Kini kita bisa
menyaksikan hasil dari lompatan kuantum yang dilakukan Korea. Produk
elektronik mereka, Samsung, mulai meninggalkan Sony dari Jepang.
Mobil-mobil buatan Korea kian ramai di jalan-jalan raya.
Lalu, itu tadi, drama TV Korea kian meramaikan layar kaca kita serta
anak-anak kita dengan fasih menyanyikan lagu-lagu KPop. Juga kalau Anda mau
makan makanan Korea, sekarang ada di mana-mana.
Mengejar Ketinggalan
Kita sudah tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara
tetangga seperti Malaysia atau Singapura. PETRONAS dulu belajar dari
Pertamina. Kini, sebagai murid, PETRONAS sudah jauh meninggalkan gurunya.
Dalam daftar Fortune Global tahun 2016, PETRONAS menempati peringkat ke-125
dengan pendapatan USD63,47 miliar, sementara Pertamina masih ada di posisi
ke-230 dengan pendapatan USD41,76 miliar.
Kita mulai membangun jalan tol sejak tahun 1973. Jalan tol
pertama sepanjang 46 km, Jakarta-Bogor-Ciawi atau Jagorawi, diresmikan pada
tahun 1978. Sementara Malaysia baru mulai membangun jalan tol pada 1984.
Namun kita yang mulai membangun jalan tol enam tahun lebih dulu ternyata
hingga hari ini baru mengoperasikan jalan tol kurang dari 1.000 km.
Anda tahu berapa panjang jalan tol yang sudah dibangun
Malaysia? Lebih dari 3.500 km! Kini kita memiliki modal penting untuk
mengejar dan mengatasi semua ketertinggalan tersebut. Kita punya bonus
demografi yang akan tiba mulai tahun 2020 dan berakhir pada 2035. Jadi kita
hanya akan menikmati bonus demografi selama 15 tahun.
Lalu akan kita apakan bonus tersebut? Kita sudah terlalu
banyak tertinggal. Maka, kita harus meniru cara-cara Korea Selatan dalam
mengembangkan bisnisnya, yakni dengan melakukan lompatan kuantum. Dan kita
punya modalnya, yakni SDM. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar