Supersemar
51 Tahun
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 11 Maret 2017
Sekitar setengah abad lalu, dalam beberapa hari pada
Februari 1967, posisi politik Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar
Revolusi/Mandataris MPRS Soekarno semakin terjepit. Lawan politiknya Ketua
Presidium Kabinet Ampera Jenderal Soeharto. Pak Harto ”Pengemban Surat
Perintah 11 Maret 1966” sekaligus menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat.
Pada hari-hari yang amat penting itu, Pak Harto dekat dengan
tiga menteri panglima lainnya. Mereka adalah Men/Pangal Laksamana Muljadi,
Men/Pangau Marsdya Rusmin Nurjadin, dan Men/Pangak Jenderal (Pol) Sutjipto
Judodihardjo. Hampir semua partai, tokoh politik, pers, serta mahasiswa
bersikap anti Bung Karno.
Mereka memandang curiga peranan Bung Karno dalam peristiwa
30 September 1965 (G30S)/PKI dan dianggap bertanggung jawab atas terpuruknya
perekonomian dan merosotnya akhlak bangsa. Pertanggungjawaban Bung Karno
berjudul Nawaksara yang disampaikan kepada MPRS pada 22 Juni 1966 ditolak.
Pelengkap Nawaksara, yang diajukan pada 10 Januari 1967, juga ditolak MPRS
yang diketuai mantan Menhankam/Kasab Jenderal AH Nasution.
Nah, tanggal 7 Februari 1967 Bung Karno melalui dua surat
yang disampaikan lewat tokoh PNI, Hardi SH, menawarkan konsep ”surat
penugasan khusus” kepada Pak Harto. Isinya, Bung Karno menyerahkan
tugas-tugas pemerintahan sehari-hari kepada Pak Harto.
Namun, esok harinya, tawaran itu ditolak karena dinilai
tidak akan menyelesaikan masalah politik nasional yang semakin tak menentu.
Maka, pada 10 Februari Pak Harto menemui Bung Karno di Istana Bogor untuk
membicarakan penolakan surat penugasan khusus tersebut sekaligus menyampaikan
keinginan para menteri/panglima keempat angkatan.
Tanggal 11 Februari semua menteri/panglima angkatan
kembali menemui Bung Karno di Bogor. Mereka menawarkan konsep yang intinya
lebih kurang menyepakati ”presiden berhalangan dan menyerahkan kekuasaan”
kepada Pak Harto sebagai pengemban Supersemar.
Bung Karno meminta waktu untuk berpikir. Namun, dalam
pertemuan keesokan harinya, giliran Bung Karno yang menolak konsep tersebut.
Tentu saja penolakan Bung Karno tidak bertahan lama. Akhirnya, ia menyerah
dan malah meminta berbagai jenis ”jaminan”, yang secara jelas ditolak Pak Harto.
Setelah melalui perundingan cukup alot selama
berhari-hari, kedua pihak akhirnya menyetujui formulasi yang akan diumumkan.
Pengumuman itu ditandatangani Bung Karno pada 20 Februari 1967, tetapi baru
diumumkan dua hari kemudian.
Butir pertama pengumuman itu ”Kami Presiden Republik
Indonesia/ Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi terhitung mulai hari ini
menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Pengemban Ketetapan MPRS Nomor
IX/1966 Jenderal Soeharto sesuai dengan jiwa Ketetapan MPRS No XV/1966 dengan
tidak mengurangi maksud dan jiwa UUD ’45”.
Butir kedua ”Pengemban Ketetapan MPRS Nomor IX/1966
melaporkan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada Presiden setiap waktu
dirasa perlu”. Lalu butir ketiga ”Menyerukan kepada rakyat Indonesia, para
pemimpin masyarakat, segenap aparatur pemerintah, dan ABRI terus meningkatkan
persatuan dan menegakkan revolusi.”
Waktu bergerak cepat dari Februari ke Maret. Dalam
sidangnya, MPRS secara resmi mengakhiri kekuasaan Bung Karno sebagai presiden
pada 12 Maret 1967 melalui Ketetapan MPRS XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan
Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno.
Ketika keluar dari Istana Bogor, Juli 1968, Bung Karno
memulai kehidupan from hero to zero. Ia bukan cuma dituduh memborong tanah di
Bogor, tetapi disinyalir memiliki vila mewah di Meksiko.
Lemhannas repot bertanya, Bung Karno pahlawan atau
pengkhianat, sedangkan Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) meralat dia
bukan anggota. Bukan cuma foto dia yang wajib dicopot dari dinding-dinding,
PSSI pun menghentikan kompetisi Soekarno Cup.
Kini? Pidato-pidato Bung Karno dibaca ulang, ide-idenya
dianggap masih relevan. Keindonesiaan yang dia cita-citakan makin gencar
dipraktikkan. Tanggal 1 Juni pun kini diperingati sebagai Hari Lahir
Pancasila untuk mengabadikan pengabdian Bung Karno bagi bangsa ini.
Supersemar dan berbagai peristiwa politik di sekitarnya
menjadi hikmah besar bagi kita untuk memahami kepemimpinan nasional. Bung
Karno dan Pak Harto figur larger than life yang kita elukan, kita nistakan, kita
maafkan, dan akhirnya kita akui sumbangsihnya.
Bung Karno dan Pak Harto juga manusia biasa seperti
baterai yang mempunyai kutub plus dan minus: banyak jasanya dan banyak pula
kesalahannya. Bukankah kita semua juga begitu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar