Pilkada
Jakarta Haruskah Dua Putaran?
Saldi Isra ; Profesor Hukum Tata Negara dan Direktur
Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
|
MEDIA
INDONESIA, 13 Maret 2017
SESUAI dengan waktu penyelenggaraan pemilihan serentak
2017, pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Periode 2017-2022 pun
telah dilaksanakan pada 15 Februari 2017 lalu.
Tidak seperti daerah lainnya di Indonesia, sekalipun
pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat berhasil mendulang
suara terbanyak, keduanya tidak secara otomatis ditetapkan menjadi gubernur
dan wakil gubernur terpilih. Masalahnya, Undang-Undang Nomor 29/2007 tentang
Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara RI (UU No 29/2007)
tidak menganut penentuan pemenang dengan prinsip simple majority sebagaimana
penentuan pemenang dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di daerah
lain di luar Jakarta.
Dalam hal ini, Pasal 11 ayat (1) UU No 29/2007 menyatakan
pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara lebih dari
50% ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih.
Berdasarkan hasil rekapitulasi hasil pemungutan suara KPU
Jakarta, pasangan calon nomor pemilihan satu Agus Harimurti
Yudhoyono-Sylviana Murni memperoleh 937.955 suara (sekitar 17,05%). Selanjutnya,
pasangan calon nomor pemilihan dua Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful
Hidayat memperoleh 2.364.577 suara (42,99%). Terakhir, pasangan calon nomor
pemilihan tiga Anies Baswedan-Sandiaga Uno memperoleh 2.197.333 suara
(39,95%).
Karena tidak terdapat pasangan calon yang meraih suara di
atas 50% sebagaimana diatur Pasal 11 ayat (1) UU No 29/2007, tahapan
pemilihan Gubernur DKI Jakarta berikutnya tunduk kepada ketentuan lain. Dalam
hal ini, Pasal 11 ayat (2) UU No 29/2007 menyatakan, bila tidak terdapat
pasangan yang memperoleh suara lebih dari 50%, diadakan pemilihan gubernur
dan wakil gubernur putaran kedua yang diikuti pasangan calon yang memperoleh
suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama. Merujuk rezim hukum
dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UU No 29/2007 di atas, dua pasangan
calon peraih persentase suara terbanyak (Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful
Hidayat dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno) tengah bersiap melanjutkan proses
menuju pemilihan putaran kedua.
Melihat perkembangan politik sekitar pemilihan Gubernur
DKI Jakarta menuju pemungutan suara putaran pertama lalu, proses menuju
putaran kedua sekaligus semakin memperpanjang ketegangan politik di wilayah
Ibu Kota. Karena itu, muncul wacana harusnya pemilihan Gubernur DKI Jakarta
dilakukan satu putaran sebagaimana daerah lainnya.
Materi undang-undang
Apabila diletakkan dalam sudut pandang konstitusional,
keharusan untuk penentuan pemenang pemilihan Gubernur DKI Jakarta menggunakan
prinsip mayoritas absolut (absolute majority) bukanlah masalah
konstitusional. Melacak pengaturan konstitusi, Undang-Undang Dasar Negara RI
Tahun 1945 (UUD 1945) sama sekali tak mengatur atau menentukan bagaimana
menentukan pemenang dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Jangankan
persentase kemenangan, UUD 1945 bahkan tidak mengatur secara eksplisit ihwal
pemilihan langsung kepala daerah. Terkait dengan pengisian kepala daerah,
konstitusi dalam hal ini Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyatakan: gubernur,
bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Meskipun konstitusi hanya menyebut dipilih secara
demokratis, pembentuk undang-undang memaknai frasa 'dipilih secara demokratis'
menjadi dipilih secara langsung. Bahkan, untuk gubernur daerah yang diberi
status istimewa seperti Yogyakarta, frasa 'dipilih secara demokratis' diberi
makna tidak dipilih rakyat secara langsung dan tidak pula dipilih anggota
DPRD.
Dengan demikian, bagaimana proses pemilihan kepala daerah
dan penentuan pemenang dalam pemilihan menjadi substansi undang-undang. Artinya,
bagaimana proses pemilihan dan penentuan pemenang menjadi wilayah yang selama
dan sejauh ini dikenal dengan kebijakan terbuka (open legal policy) pembentuk
undang-undang. Kebijakan terbuka tersebut sulit diangkat dan diletakkan
menjadi isu konstitusional selama prinsip dasar dalam frasa 'dipilih secara
demokratis' dipenuhi pembentuk undang-undang.
Berbeda dengan kepala daerah, proses dan penentuan
pemenang pemilihan presiden dan wakil presiden merupakan substansi
konstitusi.
Ihwal ini, Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 menyatakan: presiden
dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Dalam
menentukan pemenang, Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 pasangan calon yang
mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilu dilantik
menjadi presiden dan wakil presiden. Selanjutnya, jika syarat itu tidak
terpenuhi, pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua akan
bertarung dalam putaran kedua.
Karena materi undang-undang, sejak rezim pemilihan kepala
daerah langsung dimulai, penentuan pemenang kepala daerah telah mengalami
penurunan persentase. Misalnya, Pasal 107 Undang-Undang No 32/2004 menyatakan
bahwa pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh
suara lebih dari 50% jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon
terpilih. Meski demikian, bila batas 50% tidak terpenuhi, pasangan calon
kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 25%
dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar
dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih. Perkembangan terbaru,
Undang-Undang Nomor 8/2015, persentase minimal penentuan pemenang kepala
daerah tak dikenal lagi. Artinya, apabila hasil pemilihan telah dilakukan,
pasangan yang meraih suara terbanyak atau persentase tertinggi lansung
ditetapkan sebagai calon terpilih.
Sebagai materi undang-undang, penentuan pemenang pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta memang berbeda sendiri.
Bahkan, Undang-Undang No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh
mempersamakan besaran persentase kemenangan calon dalam UU No 32/2004.
Revisi UU No 29/2007
Apabila ditilik ke belakang, upaya mempersoalkan keharusan
penentuan pemenang pemilihan gubernur Jakarta dengan mayoritas absolut lebih
dari 50% bukan isu yang muncul saat ini. Merujuk catatan pada 2012, sebelum
hasil penghitungan putaran pertama ditetapkan KPUD, tiga warga Jakarta
mengajukan judicial review Pasal 11 ayat (2) UU No 29/2007 ke Mahkamah
Konstitusi. Alasan mereka, ketentuan tersebut dinilai bertentangan dengan UU
No 32/2004 yang mengatur penetapan dua putaran dilakukan jika tidak ada
pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 30%. Terkait dengan masalah
ini, dalam tulisan Kontroversi Putaran Kedua Pilkada (2012), saya kemukakan
pertanyaan mendasar: apakah prinsip mayoritas absolut itu menjadi sebuah
kekhususan model pemilihan di DKI? Sebuah pertanyaan yang tidak mudah untuk
dijawab.
Namun, kalau dikaitkan dengan Aceh dan Papua, kedua daerah
ini memang memiliki karakter khusus yang membedakan dengan daerah lain. Namun, persentase penentuan pemenang
pemilihan kepala daerah tidak tepat diletakkan jadi alasan untuk meneguhkan
status khusus yang diberikan undang-undang kepada Jakarta.
Sayang sekali, aturan pemenang berdasarkan mayoritas
absolut yang dinilai sejak pemilihan Gubernur Jakarta 2012 sebagai persoalan
hukum yang serius tidak pernah dipersoalkan lagi begitu Joko Widodo-Basuki
Tjahaja Purnama berhasil menjadi gubernur dan wakil gubernur. Padahal,
pengaturan yang membuka peluang adanya putaran kedua sejak 2012 disadari
berpotensi menimbulkan titik rawan dalam proses politik Ibu Kota.
Seharusnya, begitu pemilihan Gubernur Jakarta 2012
berakhir, langkah untuk merevisi (legislative review) UU No 29/2007 terutama
menyangkut penentuan ambang batas kemenangan di atas 50%.
Dalam situasi seperti sekarang, apakah masih mungkin
mengulangi pengajuan pengujian ke Mahkamah Konstitusi?
Sama seperti upaya yang dilakukan pada 2012, dengan telah
selesainya putaran pertama, permohonan menjadi masalah pelik tidak hanya bagi
pihak yang menjadi pemohon, tetapi juga bagi MK. Bagi yang mengajukan,
pilihan ke MK sulit untuk dikatakan tidak bias kepentingan Basuki Tjahaja
Purnama-Djarot Saiful Hidayat. Sementara bagi MK, rentang waktu yang tersedia
tidak mudah mengambil putusan. Selain itu, mengabulkan permohonan MK dapat
dinilai berpihak kepada pasangan peraih suara terbanyak putaran pertama dan
menolak permohonan MK dapat dinilai berpihak kepada peraih suara kedua. Di
tengah situasi yang serbatak menguntungkan, putaran kedua pemilihan Gubernur
Jakarta 2017 harus dilanjutkan.
Berspekulasi dengan segala macam langkah hukum berpotensi
menghadirkan pesoalan termasuk masalah hukum dan politik yang lebih serius. Langkah
paling bijak, setelah proses pemilihan Gubernur Jakarta selesai, pemegang
kuasa pembentuk undang-undang (presiden, DPR, dan DPD) harus mulai berpikir
dan berbuat nyata untuk merevisi UU No 29/2007.
Dengan demikian, upaya menghapus kemungkinan adanya
putaran kedua dalam pemilihan Gubernur Jakarta harus ditempatkan sebagai
politik hukum (ius constituendum). Apabila upaya ke arah revisi tidak
dilakukan, beban politik putaran kedua sangat mungkin bersua kembali lima
tahun ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar