Merasa
Berjasa
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 03
Maret 2017
Hati-hati dengan penyakit yang satu ini, yaitu perasaan
bahwa dirinya orang baik, orang hebat, dan telah berbuat banyak jasa bagi
orang lain, atau lebih luas lagi bagi bangsa dan negara.
Orang bijak bilang, kalau engkau telah berbuat baik, tak
perlu kau katakan. Biarlah orang lain yang akan menilai dan menceritakan.
Sebaliknya, jika engkau berbuat salah, katakan, akui, dan minta maaf.
Mengakui kesalahan dan kekurangan diri tak akan membuat derajat seseorang
jatuh. Justru sebaliknya.
Tetapi ketika seseorang suka memuji dirinya dan
menceritakan apa yang telah diperbuat untuk masyarakat, justru orang yang
mendengarnya cenderung mencibir. Menganggapnya kurang ikhlas dan minta balas
jasa. Perbuatan baik yang dilakukan dengan ikhlas itu bagaikan emas.
Di mana pun akan tetap emas dan dihargai orang meskipun
terjatuh di lumpur. Sedangkan pekerjaan baik, tetapi ketika dijalani dengan
niat pamer, haus pujian, dan merasa telah menanam jasa kepada orang lain,
maka nilai kebaikannya akan rusak. Orang akan segan menaruh respek.
Lebih-lebih jika secara sadar mengungkit dan menghitung-hitung
kembali jasa-jasanya, apa yang semula laksana emas berubah menjadi perunggu.
Tidak lagi berkilau. Apa yang saya kemukakan di atas mudah diamati dalam
pergaulan hidup sehari-hari. Bahkan juga dalam cerita kehidupan politik.
Ada orang yang senang menonjolkan kelebihan dirinya. Padahal,
tak perlu dikatakan, ibarat pohon yang tinggi, orang akan tahu dan mengakui
ketinggiannya, tanpa harus menyebut dirinya tinggi. Pribadi yang selalu haus
pengakuan dan pujian hanyalah membuat lelah dan kecewa.
Di negara otoriter, seperti Korea Utara, memang
benar-benar terjadi. Rakyat direkayasa untuk memberi tepuk tangan gemuruh
memuji presidennya setiap habis pidato. Ketika melewati patungnya pun mesti
menunduk memberi hormat. Bahkan, melipat uang yang ada foto presidennya mesti
dihindarkan.
Ini saya lihat sendiri ketika tahun 1981 saya jalan-jalan
ke Pyongyang yang saya kira sampai sekarang masih belum berubah. Pemimpin
yang senang pujian biasanya akan dikelilingi oleh orang-orang yang bertipe
Yesmen. Akan selalu mengatakan yes kepada atasannya, selalu berusaha
menyenangkan atasannya, sekalipun hati kecilnya tidak menyetujui.
Anak buah seperti ini sesungguhnya tanpa disadari bagaikan
racun yang akan membunuh karier atasannya. Tapi dalam sejarah memang ada saja
tipe pemimpin yang senang dipuji-puji dan antikritik. Padahal, orang bijak
bilang, kritik itu madu, pujian itu mengandung racun. Jika dibawa dalam ranah
agama, segala pujian itu hanya milik Tuhan.
Kita diajarkan menyampaikan apresiasi dan terima kasih
atas kebaikan orang, tetapi secara proporsional, tanpa menghilangkan
kewajiban untuk menegur dengan bijak jika salah. Kita memuji seseorang atas
prestasinya dengan tetap menyadari bahwa di atas semua itu, sejatinya hanya
Tuhan pemilik segala pujian.
Alhamdulillahi robbil alamin. Segala pujian hanya milik Allah,
pencipta dan pengendali jagat semesta ini. Rasulullah Muhammad yang
diagung-agungkan itu menyebut pengikutnya dengan sebutan sahabat. Begitu
egaliter. Bahkan, beliau berkata: Inni
la uridu minkum jazaan wa la syukura. Aku tidak meminta imbalan dan
pujian apa pun dalam melakukan ajakan kepada kalian semua menuju jalan yang
benar.
Coba buka Alquran (2:264), siapa yang bersedekah tetapi
tidak tulus, ataupun berbuat kebaikan untuk mencari pujian orang lain, maka
apa yang dilakukan sia-sia di hadapan Tuhan. Tak akan menyisakan kebaikan
sedikit pun. Jadi, keikhlasan sangat penting, terlebih bagi seorang pemimpin.
Konsep ikhlas tidak berarti kerja serampangan, melainkan
justru kerja serius baik lahir maupun batin. Mereka yang bekerja tulus untuk
rakyat, bangsa, dan negaranya biasa disebut pahlawan atau pahalawan. Yaitu
mereka yang sangat layak memperoleh pengakuan dan respek karena kebajikan
luar biasa yang telah dilakukannya. Mereka yang akan memperoleh pahala di
sisi Tuhannya. Namun, bisa saja baik pahlawan di mata manusia beda
timbangannya dari pahlawan di mata Tuhan.
Tentang kerja keras dan ketulusan ini, saya jadi ingat
teman dari Bali bercerita. Dulu seorang pelukis Bali yang hebat, ketika
melukis semata didorong sebagai persembahan kepada Tuhan. Maka dia kerjakan
sebaik dan seindah mungkin, dan dia tidak mau menuliskan namanya dalam kanvas
agar tidak diketahui orang siapa pelukisnya sehingga tidak merusak ketulusan
persembahannya kepada Tuhan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar