Menjaga
Independensi Penyelenggara Pemilu
Valina Singka Subekti ; Anggota DKPP;
Staf Pengajar Departemen Ilmu
Politik FISIP Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 13
Maret 2017
Saat ini DPR sedang berpacu menyelesaikan RUU
Penyelenggaraan Pemilihan Umum. UU diperlukan sebagai payung hukum
penyelenggaraan pemilu serentak 2019.
Sampai hari ini pembahasan tersebut masih juga belum
selesai dan beberapa isu krusial tampaknya tidak mudah untuk menemukan titik
temu. Sebagian isu itu oleh kalangan masyarakat dikatakan sebagai
inkonstitusional. Salah satunya usulan bahwa Peraturan KPU (PKPU) ditetapkan
setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam rapat dengar pendapat.
Usulan ini dalam semangatnya tidak jauh berbeda dengan
ketentuan dalam Pasal 9 Undang- Undang Nomor 10/2016 : ”... menyusun dan
menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan
setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam forum rapat dengar
pendapat yang keputusannya bersifat mengikat”.
Ketentuan semacam itu adalah ”kemunduran” dalam upaya kita
mewujudkan pemilu berkualitas dan berintegritas melalui penyelenggara pemilu
yang berkualitas dan berintegritas pula. Bandingkan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 12/ 2003 Pasal 15 yang mengatakan: ”....dalam
melaksanakan tugasnya KPU menyampaikan laporan dalam tahapan penyelenggaraan
pemilu kepada presiden dan DPR”.
Pada saat itu dalam proses persiapan maupun pelaksanaan
tahapan pemilu 2004 KPU sesuai tahapannya selalu melaporkan kepada DPR dan
pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat di Komisi II. Dalam
Undang-Undang Nomor 10/ 2008 bagian Penjelasan Pasal 143 Ayat 3 dikatakan:
”KPU menetapkan peraturan tentang format surat suara setelah berkonsultasi
dengan pemerintah dan DPR”. Ketentuan ini digunakan dalam Pemilu 2009 dan
2014.
Bagaimana konstitusi UUD 1945 mengatur penyelenggara
pemilu? Panitia Adhoc I Badan Pekerja MPR (1999-2002) pada waktu
mengamendemen UUD 1945 menganggap penting memasukkan ketentuan pemilu dalam
Bab VIII B Pasal 22 E. Pasal ini terdiri atas lima ayat dan mengatur sifat,
jenis, peserta, dan penyelenggara pemilu. Hak-hak politik dan berpolitik
warga negara perlu dijamin dalam konstitusi.
Independensi dan profesionalitas KPU sebagai penyelenggara
pemilu menjadi syarat mutlak untuk menjamin hak-hak politik warga negara
melalui pemilu demokratis. Hak politik di sini adalah hak untuk terlibat
dalam pemilu sebagai pemilih, hak sebagai kandidat dalam pemilu, dan hak
untuk dipilih dalam pemilu. Tentu kita masih ingat kasus Pemilu 1999.
Saat itu Presiden BJ Habibie terpaksa mengeluarkan keppres
menetapkan hasil Pemilu 1999 akibat partai-partai yang tidak memperoleh kursi
tidak mau tanda tangan. Pada 1999 itu penyelenggara pemilu adalah KPU dan
PPI. 48 partai politik peserta pemilu adalah anggota Panitia Pemilihan
Indonesia (PPI). Penyelenggara Pemilu 1999 belum sepenuhnya independen dan
profesional meski ketua KPU tidak lagi dijabat oleh menteri dalam negeri.
Karena itu, Pasal 22 E Ayat 5 UUD 1945 hasil perubahan
ketiga secara tegas mengatakan bahwa pemilu diselenggarakan oleh sebuah
komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Bersifat
nasional artinya kelembagaan KPU mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang
menjalankan tugas secara berkesinambungan dan anggotanya terikat pada masa
jabatan tertentu.
Sifat mandiri menunjukkan KPU bersifat independen yaitu
menjalankan tahapan- tahapan pemilu tidak berdasarkan tekanan atau intervensi
lembaga lain, semata- mata berdasarkan peraturan perundan g - undangan.
Keputusan MPR pada 2001 itu sesungguhnya sejalan dengan prinsip-prinsip
universal pemilu demokratis yang dianut negara-negara demokrasi.
Joe Baxter (1994) dalam Technique For Effective Election
Management In Election misalnya menegaskan pentingnya tiga karakteristik
dasar penyelenggara pemilu yang demokratis yaitu independensi, imparsialitas,
dan kompetensi. Dengan karakteristik demikian, penyelenggara diharapkan dapat
melaksanakan fungsinya sebagai wasit pemilu dengan jujur, adil, netral, tidak
berpihak, bersikap imparsial, dan profesional.
KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara idealnya dapat
memenuhi tiga karakteristik itu. Bila tidak, pemilu kita akan semakin jauh
dari apa yang diperintahkan oleh Pasal 22 E (1) bahwa: ”Pemilihan umum
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap
lima tahun sekali”.
Pemilu sebagai sebuah kompetisi politik sangat dipengaruhi
oleh dinamika politik aktor yang terlibat di dalamnya terutama peserta pemilu
(partai dan calonnya), tim sukses, penyandang dana, birokrasi, dan pemilih.
KPU dan Bawaslu dalam melaksanakan tahapan pemilu selalu berhadapan dengan
para aktor ini.
Data pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu di DKPP
memperlihatkan modus operandi pelanggaran kode etik selalu melibatkan
penyelenggara, peserta pemilu, penyandang dana, birokrasi, dan secara
terbatas para pemilih. Usulan dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu mengenai
keharusan KPU dan Bawaslu berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah sebelum
menetapkan PKPU secara langsung dapat memengaruhi independensi anggota maupun
kelembagaan penyelenggara pemilu.
Efektivitas kerja penyelenggara bisa terganggu apabila
terjadi perbedaan pandangan dalam proses konsultasi itu. Sudah terbukti dalam
proses penetapan PKPU pilkada serentak lalu tidak tepat waktu akibat
penetapannya harus melalui konsultasi dengan DPR dan pemerintah melalui rapat
dengar pendapat yang bersifat mengikat. Pilihan kita, apakah akan tetap
membiarkan ketentuan semacam itu dalam undang-undang penyelenggaraan Pemilu
2019 yang pastinya berimplikasi pada kemandirian penyelenggara atau kembali
pada ketentuan seperti pada Pemilu 2004.
Saat itu KPU melaporkan secara berkalakepada
DPRdanpemerintah tahapan-tahapan persiapan dan pelaksanaan pemilu. Sesi
”melaporkan” dalam praktiknya juga berfungsi sebagai forum ”konsultasi”.
Bahkan tidak jarang anggota KPU perlu bertanya langsung kepada DPR sebagai
pembuat UU tentang maksud beberapa pasal dalam UU Pemilu yang kadangkala
sulit untuk diterjemahkan dalam bentuk peraturan teknis KPU.
Komunikasi politik semacam ini perlu dibangun proporsional
dalam posisi setara tanpa memengaruhi independensi penyelenggara. Dapat
dibayangkan apa yang akan terjadi bila seorang presiden dan wakil presiden
terpilih berasal dari partai yang sama dengan mayoritas anggota DPR? DPR dan
pemerintah bisa menyetir KPU dan Bawaslu, mereka bisa terancam
independensinya. Partai politik, pemilih, dan masyarakat memerlukan kehadiran
penyelenggara yang mandiri, yang bekerja tanpa gangguan lembaga mana pun.
Mereka bekerja semata-mata acuannya konstitusi dan
ketentuan perundang-undangan. Prinsip kemandirian akan mendorong
penyelenggara bekerja keras menjaga suara rakyat tanpa melihat kepentingan
politik apa pun. Karena itu, kita semua akan merugi bila penyelenggara tidak
mandiri. Usulan dalam RUU penyelenggaraan pemilu itu perlu ditinjau kembali
untuk mengembalikan marwah KPU dan Bawaslu sebagai lembaga yang independen
sehingga dapat bekerja secara independen, jujur, adil, dan profesional.
Kepercayaan kepada lembaga penyelenggara pemilu harus
terus-menerus dibangun supaya hasil pemilu mempunyai legitimasi tinggi.
Parlemen dan pemerintah hasil pemilu dengan legitimasi tinggi diharapkan
dapat bekerja efektif mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar