Membangun
Pendidikan ala Finlandia
Marthunis ; Guru Sekolah Sukma Bangsa Pidie, Aceh;
Kandidat Master in Teacher
Education, University of Tampere, Finlandia
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Maret 2017
PADA saat Finlandia meraih kemerdekaan pada 1917, negara
ini merupakan salah satu negara di Eropa yang terbelakang secara
perekonomiannya. Kini setelah tepat 100 tahun usia kemerdekaan, negara dengan
populasi penduduk sekitar 5,5 juta jiwa ini telah menjelma menjadi salah satu
negara terkaya di Eropa bahkan di dunia.
Menurut World Economic Forum, Finlandia saat ini ialah
salah satu negara dengan kondisi ekonomi paling kompetitif di dunia. Tentu,
keberhasilan Finlandia membangun roda perekonomian negara dan kemakmuran
masyarakatnya seperti saat ini tidak terjadi begitu saja.
Ada proses panjang yang dilalui secara konsisten, salah
satunya ialah investasi di bidang pendidikan.
Reformasi pendidikan yang dilakukan secara serius oleh
Finlandia sejak 1970 mengerucut pada tiga prioritas utama, yaitu memberikan kesempatan
yang sama nan setara bagi masyarakatnya untuk memperoleh akses pendidikan,
meningkatkan kualitas pendidikan pada setiap jenjang mulai pendidikan dasar
hingga perguruan tinggi, serta meningkatkan angka partisipasi masyarakatnya
untuk mendapatkan pendidikan formal dari setiap jenjangnya.
Hasilnya 99% anak di Finlandia mengikuti pendidikan dasar,
95% dari mereka menyelesaikan pendidikan menengah, dan lebih dari 2/3 jumlah
itu melanjutkan pendidikan mereka ke perguruan tinggi (Statistics Finland, 2008).
Kemudian, ekses dari akses pendidikan yang setara di
hampir seluruh sekolah di Finlandia berdasarkan survei yang dilakukan
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada
pelaksanaan Programme for International Student Achievement (PISA) pada 2000
menempatkan Finlandia sebagai negara dengan tingkat diversifikasi terendah
antarsekolahnya. Bahkan lebih rendah daripada 1/10 yang terjadi di Jepang
(OECD, 2001).
Menariknya ialah, meskipun Finlandia tergabung dalam
negara-negara OECD yang secara mainstream mengelola pendidikan mereka
menggunakan basis Global Educational Reform Movement (GERM) yang menekankan
pada standardisasi dan test-based accountability yang bermuara pada hierarki
dalam dunia pendidikan, sebaliknya Finlandia sama sekali tidak menerapkan
sistem standardisasi melainkan memberikan ruang tanggung jawab serta otonomi
penuh baik kepada sekolah, guru, bahkan muridnya.
Ketika negara-negara OECD yang menggunakan basis GERM
menganggap kompetisi antarsekolah, guru, dan murid ialah salah satu cara
paling produktif untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Di sisi lain Finlandia sama sekali tidak menerapkan sistem
kompetisi dalam pendidikan mereka, tetapi fokus pada sistem kolaborasi.
Proses anti-mainstream yang diimplementasikan Finlandia
dari mayoritas negara-negara OECD dalam mengelola pendidikan telah
mengantarkan mereka pada puncak peradaban pendidikan.
Menjadi berbeda dan tidak ingin mengikuti arus layaknya
negara-negara lain menjadi salah satu resep kemajuan pendidikan negara mereka.
Hal itu dipertegas Pasi Sahlberg, tokoh pendidikan
Finlandia, dalam bukunya yang memenangkan Grawemeyer Award 2013, Finnish
Lessons: What Can the World Learn from Educational Change in Finland?
Ia berujar bahwa, "If we all think the same way, none
of us probably thinks very much."
Praktik Pengelolaan
Minggu lalu, saya bersama 29 guru Sekolah Sukma Bangsa
Aceh tiba di Finlandia, tepatnya di Kota Tampere, kota terbesar ke-3 setelah
Helsinki dan Espoo.
Kerja sama yang terjalin antara Yayasan Sukma-University
of Tampere, Finlandia, mengantarkan 30 guru dari sekolah Sukma Bangsa Aceh
untuk menempuh studi master bidang pendidikan di sana.
Saya bersama 29 guru lainnya merasa sangat beruntung
mendapat kesempatan menempuh pendidikan master di bidang pendidikan di negara
itu karena sejatinya hanya 10% dari 6.000 pelamar setiap tahunnya yang
diterima.
Pada minggu pertama kuliah, kami mengikuti course
Introduction to Finland and Finnish Education System.
Kami diberi kesempatan selama tiga hari berturut-turut
mengunjungi SD, SMP, dan SMA di Kota Tampere.
Selain melihat langsung proses pengajaran yang terjadi di
dalam kelas dari setiap jenjang, kami juga dapat mengobservasi banyak hal
lainnya seperti fasilitas sekolah, interaksi sosial yang terjadi antara guru
dan siswa atau antara siswa dan siswa dalam penyelenggaraan pendidikan.
Setelah proses observasi berlangsung, kami bersama dua
dosen yang mengampu mata kuliah itu melakukan refleksi dan diskusi.
Setidaknya ada empat poin penting yang menjadi catatan
saya berkaitan dengan isu praktek pengelolaan pendidikan di negara ini.
Pertama, sekolah negeri yang setara bagi semua.
Di Finlandia, hampir tidak kita temukan adanya sekolah
swasta.
Semua sekolah dari setiap jenjangnya dikelola dan
disubsidi penuh oleh pemerintah, mulai buku teks hingga makan siang gratis di
sekolah.
Dari tiga jenjang sekolah yang saya kunjungi yang
notabenenya berstatus negeri, semuanya memiliki fasilitas dan infrastruktur
yang dapat dikatakan berkualitas lebih baik jika dibandingkan dengan sekolah
swasta internasional sekalipun di Indonesia.
Kedua, setiap guru yang mengajar sudah dibekali training
pedagogi yang memadai dan setidaknya mereka harus bergelar master di bidang
pendidikan pada setiap subjek yang diajarkan.
Ketiga, proses evaluasi pembelajaran yang sifatnya
tradisional.
Berbeda dengan mayoritas negara-negara OECD yang
menerapkan standardized-test atau standardized-examination sebagai mekanisme
kontrol terhadap kualitas standar pendidikan di negara masing-masing.
Sebaliknya sistem evaluasi belajar di Finlandia
benar-benar dikembalikan kepada sekolah, bahkan setiap guru yang mengampu
mata pelajaran.
Dalam kasus ini, saya pernah bertanya kepada guru dan
dosen di sini, "Bagaimana negara mengontrol kualitas pendidikannya jika
tidak ada standardisasi dalam tes maupun evaluasi?" keduanya mempunyai
jawaban yang kurang lebih sama, "Budaya di Finlandia mengajarkan peserta
didiknya untuk belajar demi kehidupan mereka sendiri tanpa harus terbebani
untuk berkompetisi dan menjadi lebih baik dari orang lain."
Singkatnya, pendidikan di Finlandia hanya bertumpu pada
bagaimana si peserta didik belajar dengan baik demi masa depannya sendiri,
tanpa menempatkan individu peserta didik untuk bersaing menjadi lebih baik
jika dibandingkan dengan teman-temannya yang lain.
Begitu halnya yang terjadi dalam level yang lebih luas,
sekolah atau universitas tidak berusaha bersaing menjadi lebih baik daripada
sekolah atau universitas lainnya, bahkan pendidikan negara mereka secara
keseluruhan juga tidak merasa berada dalam persaingan untuk menjadi yang
terhebat jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
Nilai menjadi diri sendiri itulah yang kemudian
mengantarkan mereka pada kemajuan pendidikan yang dikiblati negara-negara
lain. Hal itu juga yang menjadi alasan mengapa Finlandia melawan arus GERM
meskipun negara mereka tergabung dalam OECD.
Keempat ialah culture of trust.
Kepercayaan penuh yang diberikan otoritas pendidikan serta
pemimpin-pemimpin politik Finladia kepada kepala sekolah, guru, orangtua,
murid, serta setiap komunitas di negara ini untuk memberikan pendidikan
terbaik bagi anak-anak dan generasi muda mereka, dengan cara masing-masing
telah membawa peradaban pendidikan mereka ke puncak kejayaan.
Semoga negara kita Indonesia dapat berkaca pada
keberhasilan Finlandia membangun pendidikan mereka.
Negara kita tidak harus menjadi seperti negara-negara
lain, tetapi ide pendidikan yang dibangun serta proses yang dirancang
selayaknya mengakomodasi keunikan kultur masyarakat yang amat beragam agar
pendidikan di Indonesia memiliki kekhasan dan identitas sendiri dan agar
kemajuan Indonesia di masa mendatang benar-benar dibangun dari kekayaan
kultur, budaya serta keberagaman masyarakat.
Wallahu a'lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar