Hantu
Korupsi Politik
Reza Syawawi ; Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency International
Indonesia
|
KOMPAS, 11 Maret 2017
Selama satu dekade terakhir sektor politik masih menjadi
salah satu lembaga yang dipersepsikan paling korup di Indonesia. Setidaknya
itulah salah satu pesan penting dan kembali dimunculkan oleh Transparency
International (TI) di dalam laporan Global Corruption Barometer tahun 2017
(7/3).
Hasil penilaian ini berangkat dari situasi lembaga Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan DPR daerah (DPRD kabupaten/kota/provinsi) yang
dinilai tidak menjalankan tata kelola anti-korupsi di dalam menjalankan
fungsinya sebagai lembaga perwakilan rakyat. Alih-alih mendukung gerakan
anti-korupsi yang dijalankan oleh lembaga negara lainnya, lembaga perwakilan
justru menjadi faktor yang melemahkan gerakan tersebut.
Ada dua hal yang secara simultan menempatkan parlemen di
dalam posisinya yang konsisten sebagai lembaga terkorup. Pertama, fakta
korupsi yang melibatkan banyak anggota parlemen. Jika dianalisis secara
mendalam, banyak kejahatan korupsi yang dilakukan anggota parlemen jauh lebih
menimbulkan efek domino bagi terungkapnya pelaku lain. Sebagai lembaga
politik, parlemen tentu tak punya kewenangan mengeksekusi suatu kebijakan
atau anggaran.
Tetapi, parlemen menjadi penentu kebijakan atau anggaran
itu dapat digunakan atau tidak. Dengan demikian, ketika kejahatan itu
terungkap, maka pelaku lain mulai dari birokrasi sebagai eksekutor
kebijakan/anggaran hingga pebisnis sebagai penerima manfaat akhir akan
terungkap.
Bandit berkeliaran
Artidjo Alkostar (2008) mendefinisikan ini sebagai korupsi
politik, yaitu tindakan yang dilakukan orang atau pihak yang memiliki jabatan
atau posisi politik. Dampaknya akan jauh lebih merusak baik terhadap sistem
politik itu sendiri maupun perekonomian negara secara umum. Dalam praktiknya
korupsi politik semacam ini cenderung terus terjadi sekalipun terjadi
pergantian rezim melalui pemilu lima tahunan.
Partai politik pemenang pemilu boleh berganti, tetapi korupsi
politik terus terjadi. Apakah sistem politik semacam ini memang memberikan
zona nyaman bagi terjadinya korupsi?
Kajian Olson tentang apa yang disebutnya sebagai bandit
menetap (stationary bandits)dan bandit berkeliaran (roving bandits)kiranya
masih cukup relevan dengan situasi kekinian (Mancur Olson, Power and
Prosperity). Dulu, rezim represif dinilai sebagai bandit menetap karena tak
menguras habis seluruh sumber daya, tetapi tetap menjaga dan memberikan
kesempatan bagi warga negara untuk menikmati hasilnya. Dengan demikian, ia
tetap bisa memperoleh keuntungan dan warga masih menikmati hasilnya.
Namun, ketika rezim ini tumbang, muncul apa yang disebut
dengan zaman di mana bandit berkeliaran (I Wibowo, 2008).
Studi ini menjelaskan bagaimana sistem politik
mengafirmasi keberadaan bandit jenis terakhir. Hasil pemilihan umum langsung
anggota legislatif di satu sisi berasal dan diusulkan dari parpol, tetapi di
sisi lain setiap individu memperjuangkan dirinya sendiri untuk memenangi
kompetisi. Persaingan tidak lagi terjadi antara parpol peserta pemilu, tetapi
juga antara individu dan individu lain di dalam satu parpol yang sama.
Akibatnya politik biaya tinggi menjadi tak terhindarkan, parpol juga tak
mengambil peran untuk mengatur agar kompetisi di internal parpol berlangsung
lebih fair.
Hasilnya mungkin sudah dirasakan setidaknya selama sepuluh
tahun terakhir. Banyak anggota parlemen terseret sebagai pesakitan karena
melakukan kejahatan korupsi. Motifnya masih seputar kebutuhan untuk membiayai
proses politik yang begitu mahal. Anggota parlemen tak hanya menutupi
kebutuhan biaya politik untuk dirinya sendiri, tetapi juga diwajibkan
"menyetor" kepada parpol yang mengusungnya dalam pemilu.
Situasi ini kemudian terbaca oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), yang lalu mengusulkan adanya kenaikan alokasi anggaran untuk
parpol. Sebab, berdasarkan banyak kajian yang dilakukan, bantuan keuangan
dari negara yang selama ini ada ternyata jauh dari nominal kebutuhan parpol.
Usulan kenaikan subsidi bagi parpol ini pada dasarnya
baik, tetapi dari segi sistem pemilu juga perlu diperbaiki khususnya pada
bagian yang paling banyak menimbulkan politik biaya tinggi. Pembatasan dana
kampanye dan sistem subsidi negara untuk membiayai kegiatan kampanye mungkin
bisa menjadi salah satu cara menekan biaya politik.
Kedua, tata kelola lembaga legislatif yang ramah terhadap
perilaku korupsi. Secara umum hal ini terkait persepsi publik terhadap
kinerja lembaga legislatif.
Reformasi politik
Bagaimana merumuskan satu formula untuk menilai
akuntabilitas lembaga legislatif? Secara formal ini hanya diterjemahkan
melalui laporan tahunan lembaga parlemen tentang capaian-capaian di bidang
legislasi, penganggaran, dan pengawasan.
Belakangan produk legislasi terseok-seok, tidak hanya minim
kuantitas, tetapi juga kualitasnya dipertanyakan. Sebab, dalam praktiknya
kinerja legislasi justru lebih disokong oleh peran pemerintah (presiden dan
kabinet), termasuk dalam konteks penganggaran.
Yang paling mutakhir adalah bagaimana DPR begitu getol untuk
merevisi undang-undang tentang KPK. Hal ini setidaknya bisa dilihat dari
rangkaian sosialisasi badan legislatif DPR di beberapa perguruan tinggi
terkait urgensi revisi undang-undang tersebut. Padahal, undang-undang ini
tidak menjadi bagian dari program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2017.
Dari sisi penganggaran juga tidak terlihat ada sesuatu
yang baru dan dinilai sebagai "prestasi" lembaga legislatif.
Terakhir yang muncul justru dugaan keterlibatan beberapa politisi dalam
skandal korupsi proyek KTP-el bernilai triliunan rupiah.
Kondisi ini perlu disikapi dan diperbaiki. Reformasi di
sektor politik seharusnya menjadi prioritas. Presiden bersama DPR perlu
merumuskan satu aksi anti-korupsi bersama untuk memperbaiki tata kelola
lembaga politik (parlemen dan parpol). Sebab, di sisi pemerintah (termasuk
birokrasi) dan publik (masyarakat dan pebisnis) juga mulai diperbaiki dan
diedukasi untuk lebih anti-korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar