”Habitus”
Korupsi
Hery Firmansyah ; Kepala Bidang Pidana Dewan Pimpinan Pusat
Lembaga Bantuan Hukum Perindo
|
KORAN
SINDO, 15
Maret 2017
Megaskandal korupsi e- KTP kini tengah mengawali babak
baru, setelah melewati proses panjang dan lama di medio 2014 akhirnya dua
tersangka telah beralih status menjadi terdakwa.
KPK sudah menyampaikan, tidak menutup kemungkinan akan ada
tersangka lain dalam kasus ini. Tentu jantung siapa pun pihak yang terlibat
dalam permufakatan jahat kasus ini akan terus berdetak kencang. Kasus e-KTP
layak dinobatkan sebagai megaskandal korupsi dengan banyak saksi yang
diperiksa serta pengembalian sejumlah uang yang dilakukan oleh ”oknum”
legislatif. Hal ini juga ”dimeriahkan” dengan turut serta sejumlah korporasi
yang mengembalikan uang komisi ke - pada KPK.
Berkaca pada lambatnya penanganan kasus e-KTP oleh KPK
dikatakan sebagai sebuah tren baru dengan modus yang berbeda dari kasus
korupsi lain yang pernah ditangani oleh KPK. Dengan begitu, pendalaman kasus
oleh KPK memerlukan waktu yang tidak sebentar. Faktanya, dengan modus yang
seperti apa pun perkara tersebut adalah perkara korupsi yang merupakan ranah
domain utama bagi KPK untuk dapat ditelisik dan diungkap di publik.
Dalam khasanah ilmu kriminologi tentu saja pelaku
kejahatan akan terus memodifikasi cara mereka melakukan kejahatan untuk
menghapus jejak dan kemudian tidak dapat terlacak. Sampai kapan pun pelaku kejahatan
akan berusaha untuk satu langkah lebih maju dari aparat penegak hukum.
Polemik dalam Penanganan Korupsi
Prinsip kehati-hatian dalam proses penanganan perkara
pidana mutlak diperlukan, namun tidak boleh meninggalkan esensi dari
penanganan perkara pidana yang cepat. Kasus korupsi penanganannya harus
disegerakan agar jangan sampai terbit kesempatan bagi para pe laku korupsi
untuk meng hilang kan bukti. Dua terdakwa yang kemudian duduk di kursi
pesakitan sekarang ini jangan sampai ha nya menjadi awal yang manis dan
akhirnya kontra produktif.
Tentu KPK wajib melakukan ikhtiar yang sungguh-sungguh
dalam meng urai benang kusut kasus ini. Jika melihat model praktik korupsi
yang tengah terjadi, mustahil tidak ditemukan keterlibatan pihak lain yang
memiliki kekuasaan di dalamnya. Bagaimana tidak mudahnya meloloskan suatu
kegiatan dengan cap pemerintah adalah suatu hal yang sudah kita ketahui
bersama, tentu KPK harus melihat patron yang terjadi tidak hanya dari luar,
namun dari dalam pengusung an proyek itu ketika terjadi pro ses perumusannya.
Dengan angka yang fantastis, dana ter sebut dapat
digulirkan dengan segi kemanfaatan yang jauh pang - gang dari api. E-KTP yang
digadang-gadang sebagai pro yek prestisius dengan meng usung sistem single
identity number ternyata dari keterang an salah satu mantan anggota DPR di
Komisi II saat itu sudah banyak menimbulkan pro dan kontra. Dana lebih dari
Rp6 triliun tidak sepadan dengan manfaat yang ditebar dari proyek ini.
Ketaatan terhadap suatu teknis hukum yang telah diatur
seharusnya tidak hanya dimaknai secara prosedural. Namun, lebih dari itu,
harus dianggap sejajar dengan ketaatan yang ditimbulkan dari perintah UU.
Proyek ini ketika dinyatakan bermasalah oleh catatan KPPU tentu tidak boleh
diabaikan.
Habitus Korupsi
Bentuk lain dari korupsi yang berapa tahun belakangan ini
menghiasi berita di media adalah ada satu bentuk korupsi yang terjadi di
ranah politik. Hal ini adalah hal yang masih baru kita kenal dalam dunia
peradilan. Walaupun klausul tersebut tidak ditemukan di dalam UU Tindak
Pidana Korupsi yaitu dalam kasus mantan Bupati Karanganyar, Jawa Tengah, Rina
Iriani Sri Ratnaningsih. Jika saja benar dugaan bahwa ada keterlibatan aktif
dari lingkar legislatif yang kemudian diarahkan ke partai politik, tentu saja
KPK tidak boleh tinggal diam.
Semua informasi yang ada harus dijadikan oleh KPK sebagai
pintu masuk awal pengungkapan kasus ini sampai ke akar-akarnya. Secara
sederhana dapat diartikan bahwa korupsi politik adalah perbuatan yang
dilakukan pejabat publik yang memegang kekuasaan politik, tetapi kekuasaan
politik itu digunakan sebagai alat kejahatan. Korupsi ketika telah menjadi
suatu habitus atau kebiasaan akan sangat sulit untuk diberantas. Salah satu
penangkal utamanya adalah penegakan hu kum atas tindak pidana korupsi yang
tegas.
Jelas pelakunya harus dihukum dan uang hasil korupsinya
harus dirampas untuk dikembalikan kepada negara. Jadi, tidak boleh dilakukan
secara alternatif dengan memilih salah satu opsi. Mematikan kebiasaan untuk
melakukan korupsi adalah pertanyaan sekaligus tantangan yang harus kita
jawab. Beragam wacana telah coba disampaikan melalui ruang seminar dan
pertemuan berkala di hampir setiap kementrian dan institusi negara, tetapi
tak jua menyurutkan perbuatan pelaku tindak pidana korupsi.
Pertanyaan yang mendasar adalah apakah yang salah? Jika
cara pendekatan hukum yang ditanyakan sudah pasti jelas wacana penghukuman
maksimal bagi pelaku korupsi dan pemiskinan terhadap pelaku tindak pidana
korupsi adalah cara terbaik sejauh ini untuk menekan laju tindakan korupsi
yang terjadi. Habitus (kebiasaan) melakukan korupsi dalam lingkup legislatif
ataupun yang duduk di kursi eksekutif dengan berlatar belakang partai politik
tentu harus dilihat lebih jauh keterlibatan partai politik yang bersangkutan.
Menarik tanggungjawab partai politik da lam suatu tindakan
korup anggotanya harus mulai dipikirkan sehingga sis tem lempar handuk dalam
setiap pe ristiwa hukum yang melibatkan salah satu anggota partai politik
tidak lagi ditemu kan. Habitus korupsi anggaran yang secara sistem sudah
cacat dari awal atau sengaja untuk dicacatkan oleh oknum anggota partai yang
terjadi di lingkup legislatif khususnya tentu masih dapat dideteksi dari ke
wenangan yang melekat pada sang anggota legislatif.
Tidak berjalan efektif fungsi anggaran, legislasi, dan
pengawasan merupakan celah koruptif di sektor ini, akan menjadi pari purna
ketika bertemu dengan oknum eksekutif yang korup. Maka itu, perang melawan
korupsi harus dimenangkan sebagai bentuk tunainya janji kita terhadap hak-hak
mereka yang telah dirampok oleh suatu perbuatan korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar