Gelojoh
Kuasa Melibas Negara
J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS, 07 Maret 2017
Putaran
kedua Pilkada DKI Jakarta dimulai minggu ini. Pelajaran utama dari putaran
pertama adalah praktik demokrasi yang sarat hasrat kemaruk (gelojoh) kuasa
dapat melibas tatanan negara. Nilai-nilai mulia sebagai basis ideologi
identitas masyarakat sipil (civil identity) yang beradab, terhuyung-huyung
melawan ketamakan para penggelojoh kekuasaan yang mempersenjatai diri dengan
senjata yang mematikan "bermerek" SARA (suku, agama, ras, dan
antargolongan) atau politik identitas.
Sedemikian
kuatnya gelombang politik identitas SARA, seakan-akan negara telah digulung
ombak kebencian dan permusuhan. Rakyat celingukan mencari keberadaan negara
karena tidak dirasakan kehadirannya. Sementara itu, politik identitas semakin
membatu dan kasatmata. Masyarakat juga semakin bingung dan gelisah; alih-alih
merasakan negara melakukan perlawanan sengit terhadap isu-isu SARA, rakyat
heran karena sementara petinggi negara justru memberikan sinyal ancaman
negara di depan mata adalah gerakan komunisme, yang terbukti gagal total di
seantero dunia.
Kehadiran
negara dirasakan setelah Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan
menyatakan bahwa praktik demokrasi dewasa ini sudah kebablasan. Ia
menegaskan, demokrasi membuka peluang artikulasi politik yang ekstrem,
seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, dan
terorisme, serta ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ideologi Pancasila
dalam bentuk suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA (Kompas.com,
24/2).
Presiden
tampaknya sangat menghayati politik identitas semakin mengeras. Betapa
mencemaskannya politik SARA, antara lain menjadi berita utama The Jakarta
Post (27/2), "Muslim Residents Against Threats of No Burial Rites",
disertai foto mencolok memamerkan ancaman bersifat diskriminatif. Ilustrasi
tersebut mewakili dahsyatnya gelombang politik SARA dan kegelisahan
masyarakat terhadap ancaman politik identitas. Apabila Pilkada DKI Jakarta
didominasi oleh pertarungan politik SARA, siapa pun yang menang bukan hanya
mengalahkan lawan politiknya, melainkan juga keindonesiaan, kekalahan politik
ke-Bhinneka Tunggal Ika-an yang inklusif. Harganya amat mahal.
Pengalaman
di negara-negara Eropa menjelang dan pasca Perang Dunia I serta konflik
politik SARA pasca runtuhnya negara-negara komunis menelan korban puluhan
juta manusia meninggal dan penderitaan lahir batin bagi yang masih hidup.
Diperlukan waktu puluhan bahkan mungkin ratusan tahun untuk memulihkan luka batin
rakyat akibat perilaku para penggelojoh kekuasaan yang memanipulasi politik
SARA.
Demikian
pula prinsip kesetaraan jika dipraktikkan tanpa pandang bulu justru dapat
merusak demokrasi karena kesetaraan dianggap semua orang sama derajat, niat,
dan kompetensinya. Tidak peduli mereka yang ingin memuliakan kehidupan
bersama atau mereka yang ingin menghancurkan tatanan kehidupan demi mengejar
kekuasaan.
Referensi
pengelolaan kekuasaan dalam konteks manajemen pemerintahan untuk kepentingan
umum telah ribuan tahun didis- kusikan mendalam antara Socrates dan Glaucon
(sahabatnya). Wacana yang dapat dijadikan pelajaran tersebut dikumpulkan
Plato dalam bukunya, Republic, Chris Emlyn-Jones dan William Preddy (editor),
2013.
Dalam
Bab VIII (hal 107-305), memuat perdebatan tentang kekuasaan. Pelajaran
penting, antara lain, manipulasi para elite politik yang mengobarkan
propaganda untuk memenuhi hasrat kuasa hanya menempatkan rakyat sebagai
budak. Namun, para budak tersebut semakin lama tidak dapat dikendalikan sehingga
akan menghasilkan pemerintahan oleh gerombolan yang tidak mempunyai
kompetensi memerintah alias mobokrasi. Kemaruk kuasa selalu dapat
memorakporandakan negara.
Mewujudkan
cita-cita tatanan demokrasi dalam masyarakat plural karena identitas
primordial sangatlah rumit. Jebakan demokrasi yang paling mudah menjerat
kedaulatan rakyat adalah dalil mulia dari demokrasi itu sendiri: kebebasan
dan kesetaraan. Prinsip tersebut baru bermanfaat untuk mewujudkan
kesejahteraan umum jika disertai kualitas manusia yang mampu membatasi
kebebasannya untuk merawat nilai dan aturan guna mewujudkan cita-cita
bersama.
Praktik
di negara-negara yang mapan demokrasinya, biasanya sebelum terjadi ledakan
partisipasi rakyat, lembaga-lembaga politik telah dibangun sehingga dapat menampung
partisipasi publik. Sebab, tanpa manusia yang mempunyai kompetensi dan
tingkat pemahaman tentang hidup bersama, kebebasan menjadi ekspresi
kemerdekaan yang liar dan tidak bertanggung jawab, anarkistis.
Kebebasan
individual harus dipagari oleh kepentingan umum melalui hukum dan
lembaga-lembaga politik yang mampu mengelola partisipasi publik. Tanpa
batas-batas jelas, para penggelojoh kekuasaan dengan sigap akan mengobarkan
propaganda, mengelabui rakyat, membangun dukungan untuk kepentingan mereka sendiri.
Agenda
bangsa Indonesia membangun tatanan kekuasaan bermartabat adalah menyusun
politik pendidikan yang jelas. Tujuannya, membangun watak generasi muda
memahami dan loyal pada nilai-nilai yang menjadi landasan hidup bersama dalam
keanekaragaman. Tanpa agenda tersebut, demokrasi justru akan luluh lantak
oleh dalilnya sendiri. Oleh sebab itu, pilkada putaran kedua harus menihilkan
propaganda yang mengobarkan kebencian dan permusuhan SARA agar Indonesia
tetap kukuh sebagai bangsa yang memuliakan Ke-Bhinneka Tunggal Ika-an. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar