Freeport
Kembali Menguji Kita
Junaidi Albab Setiawan ; Advokat, Pengamat Hukum Pertambangan
|
KOMPAS, 07 Maret 2017
Hubungan
negara Republik Indonesia dengan perusahaan PT Freeport Indonesia (Freeport)
sepertinya akan terus menimbulkan polemik karena rakyat Indonesia belum
mendapatkan haknya secara adil dan proporsional.
Cerita
Freeport adalah ironi suatu negara berdaulat, pemilik kekayaan alam melimpah,
yang seharusnya memiliki posisi tawar tinggi, justru kalah dari korporasi
milik asing. Ini sungguh mengusik rasa keadilan sehingga setiap kali muncul
isu Freeport, muncul pula gejolak.
Kondisi
itu bukan semata karena Freeport, melainkan juga karena kepemimpinan negara
yang tidak amanah selama ini. Penyelesaian hanya bisa dilakukan oleh pemimpin
yang bermartabat.
Kita
dan Freeport
Kontrak
karya dengan Freeport ditandatangani 5 April 1967, berlaku 30 tahun hingga 4
April 1997. Namun, pada 30 Desember 1991, kontrak karya diperpanjang 30 tahun
sampai 29 Desember 2021. Ini masih ditambah opsi perpanjangan dua kali 10
tahun hingga 2041, adendum pada 2014.
Hubungan
dengan Freeport berawal saat ekonomi Indonesia sangat lemah. Dalam Operasi
Trikora untuk membebaskan Irian Barat dari Belanda (1 Mei 1963), konon ada
andil Amerika Serikat menekan Belanda. Kemudian ada peristiwa G30S yang
menguras energi bangsa.
Dua
peristiwa itu mengantar Soeharto menjadi Presiden RI dan pada era Soeharto
itulah kontrak karya pertama dan perpanjangan ditandatangani.
Saat
itu Indonesia sangat berharap investor asing masuk, membawa modal dan
keahlian untuk mengolah kekayaan alam. Namun, regulasi bidang investasi masih
sangat terbatas, seiring keterbatasan pengetahuan negara mengelola investasi
asing.
David
C Korten dalam When Corporation Rule The World menjelaskan, bagi korporasi
liberal, kelemahan negara sasaran itu adalah kesempatan. Inilah yang ia sebut
sebagai predatory system. Dalam sistem ini visi sosial korporasi bagi
masyarakat tidak berlaku. Korporasi hanya menggunakan kesempatan untuk
memaksimalkan keuntungan, tecermin dari klausul-klausul kontrak yang
melanggar undang-undang bahkan konstitusi.
Mengapa
posisi Indonesia dalam kontrak karya sedemikian lemah? Selain penjelasan di
atas, dalam hukum kontrak juga dikenal hukum penyalahgunaan keadaan (Misbruik
van Omstadigheden). Situasi itu terjadi jika salah satu pihak dalam kontrak
lebih unggul secara ekonomis (economische overwicht) atau psikologis
(geestelijke overwicht) dan memanfaatkan keunggulan terhadap pihak lainnya.
Kontrak yang dibuat dalam situasi demikian seharusnya dapat dibatalkan (void)
karena melanggar syarat obyektif perjanjian.
Di
zaman Orde Baru kesadaran kritis atas lemahnya posisi tawar Indonesia mulai
muncul. Sayang, masyarakat hanya berani mendiskusikannya di ruang terbatas.
Akibatnya, perpanjangan kontrak karya tetap ditandatangani rezim Orde Baru,
1991. Dengan bertambahnya pengalaman, semestinya Indonesia bisa menuntut
lebih, tetapi nyatanya tidak. Bahkan, kontrak diadendum 2014 dengan
memperkecil ketentuan divestasi dari 51 persen menjadi 30 persen.
Pasca-Reformasi,
regulasi bidang pertambangan minerba terus dievaluasi dan direvisi agar lebih
aspiratif dan berkeadilan. Lahirlah UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009. Upaya
perbaikan ini harusnya dipahami dan dihormati oleh investor karena rakyat
Indonesia ingin hubungan yang adil dan mendapatkan haknya secara
proporsional.
Menurut
teori kedaulatan (sovereignty theory), tidak seorang pun bisa menghalangi
kehendak rakyat karena rakyatlah sumber kekuasaan negara dan pemerintah
(Samuel Pufendorf, 2014).
Di
lain pihak para investor tidak bisa semata-mata berpegang pada kontrak karya
dan mendahulukan keuntungan dibandingkan dengan manfaat bersama yang saling
menguntungkan.
Secara
teoretis kontrak karya termasuk perjanjian innomirat, suatu perjanjian privat
bersifat khusus yang merujuk Pasal 1338 KUHPerdata yang dikenal dengan asas
kebebasan berkontrak dan kepastian hukum yang menempatkan kontrak sebagai
undang-undang bagi para pembuatnya (pacta sunt servanda). Namun. dengan dasar
itu pun, tetap saja kontrak privat tidak lebih tinggi derajatnya dibandingkan
dengan undang-undang.
Isu-isu
penting
Kewajiban
membangun smelter adalah perintah UU Minerba 2009 Pasal 169 dan 170, dengan
tujuan mendapatkan nilai tambah dari ekspor juga untuk menjaga transparansi
agar kedua pihak mengetahui jumlah dan jenis mineral yang dihasilkan, bisa
berupa tembaga, perak, emas, bahkan uranium, dengan harga dan royalti
berbeda. Keterbukaan itu sulit dilakukan jika Freeport langsung membawa
konsentrat ke luar Indonesia.
Peranan
Freeport terhadap pembangunan nasional dapat diukur dari kontribusinya.
Sejauh ini pendapatan Indonesia dari Freeport kecil jika dibandingkan dengan
sektor lain, seperti TKI dan cukai rokok. Kurun 19922013, pendapatan itu
hanya 15,2 miliar dollar AS dalam bentuk pajak, royalti, dividen, dan
pungutan lain (Kompas, 27/1/2015).
Dalam
kontrak karya, negara tidak dapat ikut campur dalam penambangan, tetapi
berhak atas royalti sesuai kesepakatan. Indonesia menerima royalti 1 persen
bergantung pada jenis mineral, ditambah royalti bersyarat yang besarnya
bergantung pada hasil produksi, berlaku sejak 1998.
Tahun
1986 Indonesia mendapat 9,36 persen saham Freeport, jumlah itu tidak
bertambah hingga sekarang. Saham selebihnya tetap dimiliki Freeport- McMoran 81,28
dan PT Indocopper Investama, anak perusahaan Freeport, 9,36 persen. Total
dividen yang diterima Indonesia 1992-2011 hanya 1,287 miliar dollar AS
(Kompas, 27/1/15).
Saat
ini masyarakat sulit mendapatkan informasi mengenai dampak kegiatan
pertambangan Freeport. Informasi kerusakan lingkungan seperti matinya Sungai
Aijkwa, Aghawagon, dan Otomona, tumpukan batuan limbah tambang dan tailing,
harus diselidiki. Matinya ekosistem di sekitar lokasi pertambangan merupakan
kerusakan yang nilainya tidak akan dapat tergantikan.
Penambangan
Freeport juga menimbulkan konflik karena wilayah pertambangan meliputi
tanah-tanah hak ulayat masyarakat adat. Pelanggaran terhadap hak ulayat
masyarakat adat merupakan pelanggaran HAM dan UUPA Nomor 5 Tahun 1960.
Banyak
berseliweran isu-isu KKN di Freeport, belajar dari kasus ”papa minta saham”,
maka perlu ada penyelidikan. Barangkali besarnya biaya siluman dan upeti KKN
itulah yang menyebabkan Freeport enggan menambah porsi bagi Indonesia.
Saat
ini Freeport bersikeras agar hak-haknya yang tercantum dalam kontrak karya
1991 dan adendum 2014 dapat terus berlangsung hingga 2021. Jika merujuk
kontrak itu, Freeport bahkan masih memiliki opsi perpanjangan 2 kali 10 tahun
hingga 2041.
Karena
akan menambah nilai investasi, Freeport meminta izin ekspor konsentrat,
jaminan stabilitas investasi serta kepastian fiskal, dan hukum yang sama
dengan kontrak karya, termasuk menolak penambahan divestasi bertahap yang
disyaratkan UU Minerba 2009 serta PP Nomor 1 Tahun 2017. Jika tak ada kesepakatan,
Freeport akan menempuh arbitrase.
Beralih
izin
Freeport
telah beralih status menjadi pemegang izin usaha penambangan khusus (IUPK)
pada 10 Februari 2017. Dari posisi itu Freeport mengajukan permohonan ekspor
melalui surat nomor 571/OPD/II/2017 tanggal 16 Februari 2017 dengan
menyertakan pernyataan komitmen membangun smelter. Permohonan itu dikabulkan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dengan surat Nomor 352/30/DJB/
2017, tanggal 17 Februari 2017.
Tindakan
hukum itu bisa ditafsirkan sebagai penundukan diri kepada UU Minerba dan PP
Nomor 1 Tahun 2007 yang telah mengubah rezim hukum kontrak menjadi perizinan
dalam pengelolaan minerba. Semestinya Freeport segera menyesuaikan diri
dengan paradigma baru yang diusung UU Minerba 2009.
IUPK
yang diberikan kepada Freeport sesungguhnya bisa menjadi jalan tengah untuk
mengatasi perselisihan. Pemberian IUPK itu menjadi isyarat bahwa pemerintah
masih membutuhkan Freeport sebagai mitra sepanjang bersedia melakukan
divestasi menurut aturan.
Sebaliknya
sikap Freeport berpegang teguh pada kontrak karya adalah pertanda bahwa
tambang Freeport masih menjanjikan keuntungan. Jika tujuan Freeport untuk
mengejar keuntungan, tidak sulit bagi Freeport menyesuaikan diri dengan
perubahan regulasi. Berbagi keuntungan secara adil dan proporsional adalah
suatu keniscayaan bisnis yang lazim dan wajar. Saat ini rakyat Indonesia
hanya ingin menikmati sisa-sisa kekayaan gunung Grasberg dan Esberg miliknya.
Harus
diingat, sekalipun dalam posisi tidak diuntungkan, selama 50 tahun Indonesia
telah menghormati kontrak yang telanjur ditandatangani. Maka, sebaliknya
Freeport perlu mengimbangi dengan mengendurkan nilai tawar. Titik temu
penyelesaian masalah terletak pada semangat dan kesediaan kedua belah pihak
untuk mengoreksi kesalahan masa lalu dengan kesepakatan baru yang lebih
aspiratif dan berkeadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar