Dari
Stabilitas Menuju Produktivitas
A Prasetyantoko ; Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma
Jaya
|
KOMPAS, 20 Maret 2017
Ketidakpastian adalah hantu dalam perekonomian. Sering
kali perilaku investor menjadi tak terkendali menghadapinya. Merespons
kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat alias The Fed, menaikkan suku bunga
referensi sebesar 0,25 persen menuju 0,75 hingga 1 persen, investor sama
sekali tidak gugup. Seakan mereka menghadapi situasi biasa saja.
Ketidakpastian memang bersifat relatif. Hari-hari ini
ketidakpastian bukanlah hantu yang menakutkan. Faktor utamanya, perekonomian
AS terlihat mulai membaik. Bank Sentral AS memiliki dua mandat pokok, menjaga
inflasi dan angka pengangguran. Inflasi Februari 2017 sebesar 2,7 persen,
yang dibandingkan dengan tahun lalu sudah lebih tinggi daripada target The
Fed sebesar 2 persen. Jika efek kenaikan harga makanan dan energi
dikeluarkan, inflasi sebesar 2,2 persen. Hal itu menandakan perekonomian
mulai menggeliat. Sementara, angka pengangguran sudah menuju titik ideal atau
full employment. Sepanjang Februari 2017 telah terjadi penambahan lapangan
kerja sekitar 235.000 sehingga angka pengangguran turun menjadi 4,7 persen.
Akibatnya, tingkat upah naik sekitar 6 persen.
Oleh karena itu, kenaikan suku bunga adalah keniscayaan,
suatu langkah menuju ”situasi normal” kembali. Ekspektasi investor terhadap
kenaikan suku bunga melejit lebih dari 90 persen, persis sebelum kebijakan
diambil. Sudah lebih dari tujuh tahun suku bunga mendekati nol persen dan
inilah saatnya naik. Sebagai catatan, suku bunga tertinggi di AS dalam
beberapa dekade terakhir terjadi pada bulan Juni 1981, sekitar 19 persen.
Faktor lain adalah perkembangan politik di Eropa. Partai
anti-imigran kalah dalam pemilu di Belanda minggu lalu. Partai beraliran
moderat (kanan tengah) pimpinan Perdana Menteri Mark Rutte unggul dalam
perhitungan exit polls. Situasi ini memberikan sedikit kelegaan. Publik
berharap perkembangan politik di Belanda akan memengaruhi hasil pemilu di Perancis
dan Jerman yang akan digelar tahun ini. Menguatnya gejala nasionalis yang
anti-keterbukaan, seperti Brexit dan hasil pemilu AS, menorehkan trauma
global.
Laporan tiga bulanan Dana Moneter Internasional, World
Economic Outlook (edisi 1/2017) berjudul A Shifting Global Economic Lanscape.
Muncul situasi ambigu, perekonomian global sebenarnya mulai membaik, tetapi
situasi geopolitik justru semakin tak menentu.
Secara umum, negara berkembang seperti Indonesia
menghadapi dua tantangan pokok, yakni risiko jangka pendek (cyclical) dan
jangka panjang (struktural). Risiko pertama terkait dengan normalisasi
kebijakan moneter di AS yang berpotensi menimbulkan kepanikan serta
pembalikan modal, sedangkan risiko jangka panjang bersumber pada belum
pulihnya ekspor serta investasi swasta.
Terkait kenaikan suku bunga The Fed minggu lalu, paling
tidak risiko pertama tak terjadi. Justru sebaliknya, modal asing terus
mengalir ke pasar modal kita. Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek
Indonesia justru mencetak rekor tertinggi dalam sejarah, pada level 5.540,
justru setelah kenaikan suku bunga The Fed. Selain faktor kepastian global
yang mulai tercipta, ada faktor domestik yang mendorong, seperti potensi
kenaikan peringkat investasi oleh Standard & Poor’s serta kinerja emiten
yang bagus.
Indeks Pertambangan mencatat kenaikan paling tinggi di
antara kelompok industri lainnya, yang ditopang kenaikan harga komoditas.
Seiring masuknya modal asing, nilai tukar rupiah juga terjaga pada posisi Rp
13.300-an per dolar AS. Kekhawatiran penguatan indeks dollar AS dengan
kenaikan suku bunga The Fed tak terjadi.
Meskipun situasi tampak terjaga, ketidakpastian belum
hilang. Masih terlalu dini menganggap perekonomian global stabil. Berbagai
kejutan masih mungkin terjadi sehingga gejolak masih akan datang lagi.
Stabilitas adalah sesuatu yang kita butuhkan, tetapi sama sekali tak
mencukupi. Perekonomian kita harus terus ekspansi sehingga fokus harus
bergeser pada produktivitas.
Laporan triwulanan perekonomian Indonesia terbitan Bank
Dunia (edisi 1/2017) mengambil judul Sustaining Reform Momentum. Menghadapi
kehadiran kembali ketidakpastian politik global serta risiko guncangan
keuangan, cara yang paling baik adalah melanjutkan reformasi perekonomian
domestik. Pertama, melanjutkan paket kebijakan ekonomi yang berorientasi
meningkatkan daya saing dan produktivitas perekonomian domestik. Kedua,
melanjutkan konsolidasi fiskal serta perbaikan pengeluaran publik, untuk
menyokong reformasi struktural. Ketiga, secara khusus fokus pada kualitas pembelajaran
di sektor pendidikan.
Satu aspek penting untuk mengatasi persoalan stabilitas
sekaligus produktivitas dalam jangka panjang adalah pendalaman sektor
keuangan. Ketergantungan pada modal asing, khususnya jangka pendek, merupakan
salah satu masalah fundamental dan struktural yang kronis. Itulah mengapa
kita cenderung menjadi korban dari gejolak sektor keuangan global. Pendalaman
sektor keuangan dengan bantuan kemajuan teknologi digital bisa menjadi kunci
asal dikelola dengan benar.
Arahnya bukan menambah atau mengganti akses keuangan bagi
yang sudah memilikinya, melainkan menambah akses yang belum terlayani.
Masalah inklusi keuangan menjadi isu sentral, apalagi di era teknologi
finansial ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar