Agenda
Ketenagakerjaan RI-Arab Saudi
Pamungkas Ayudhaning Dewanto ; Peneliti Buruh Migran, Departemen
Antropologi Sosial dan Kultural Vrije Universiteit Amsterdam
|
KOMPAS, 15 Maret 2017
Kedatangan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz ke Indonesia
menyita sorotan media dalam dan luar negeri. Berbagai pihak menyoroti,
kedatangannya kali ini sebatas membawa kepentingan bisnis negara petrodolar
itu.
Dari berbagai spekulasi mengenai kunjungan massal ini,
hanya sedikit yang menyinggung hubungan kedua negara dalam isu
ketenagakerjaan. Bahkan, dari 10 nota kesepahaman yang ditandatangani kedua
negara, isu ini tidak termasuk.
Padahal, Kerajaan Arab Saudi memiliki kepentingan sangat
mendasar atas suplai pekerja migran dari Indonesia. Apalagi sejak 2011,
Pemerintah Indonesia telah menghentikan (moratorium) pengiriman pekerja
informal ke negara penghasil minyak itu.
Bagi negara yang urusan rumah tangganya bergantung pada
buruh migran, moratorium pengiriman tenaga kerja menjadi tantangan besar.
Bayangkan, hingga akhir dekade 2000, buruh migran Indonesia selalu menempati
urutan teratas sektor pekerjaan informal bersama pekerja migran asal
Banglades. Kini, jumlah pekerja Indonesia di sektor rumah tangga bahkan tidak
masuk peringkat empat besar.
Perkembangan kota
Kota-kota di Arab Saudi mendulang banyak permintaan atas
pekerja migran. Bagi kota-kota global (global cities) yang bergerak menuju
modernitas, terbukanya lapangan pekerjaan di bidang rumah tangga adalah hal
tak terelakkan (Sassen 2009).
Beberapa peneliti juga menilai, lapangan pekerjaan dalam
sektor yang dianggap 3D (dirty, dangerous, and demeaning) menjadi terbuka
mengikuti arus mobilitas sosial vertikal yang dialami oleh para penduduk
lokal. Terbentuknya imajinasi kolektif akan "kemajuan" atau
"kemapanan" yang tumbuh dalam diskursus di kota besar mendorong
masyarakat lokal berlomba-lomba meninggalkan pekerjaan 'kotor' itu.
Tentunya, moratorium tidak lantas menghentikan imajinasi
kemapanan itu. Pekerja rumah tangga tetap dicari sekalipun menjadi langka.
Penutupan keran legalitas perekrutan pekerja domestik ini tidak menghalangi
peluang pekerja Indonesia untuk datang (illegal-but-licit).
Buktinya, masih banyak pekerja yang datang dari rute-rute
yang tidak semestinya, seperti menggunakan visa pekerja di sektor formal,
umrah, dan kunjungan wisata, atau mereka yang memasuki jazirah melalui
negara-negara tetangga.
Bukan hanya karena kesamaan agama, pekerja Indonesia
disukai rumah tangga Arab Saudi karena sifatnya yang loyal dan tidak banyak
mengeluh. Anehnya, karena proses perekrutan yang tak jarang bersifat
seadanya, beberapa pekerja Indonesia yang tak cakap berbahasa Arab dan tidak
paham budaya lokal, dapat diberangkatkan.
Beda budaya
Dari kacamata pekerja, kompleksitas sosial di Arab Saudi
lebih dari apa yang dibayangkan oleh para pemangku kebijakan di Jakarta.
Ruang-ruang tertutup tempat para buruh migran kita bekerja, perbedaan budaya,
dijunjung tingginya maskulinitas dalam persoalan sehari-sehari, dan kekuasaan
penuh para kafalah (majikan/penjamin), menjadi hal-hal yang tidak
diantisipasi para pekerja kita.
Dalam suasana pekerjaan yang sangat terisolasi dan
terkooptasi, banyak di antara pekerja kita yang mengalami depresi dan
persoalan psikologis lainnya. Berbagai faktor inilah yang memicu bom waktu
perlindungan buruh migran kita di Arab Saudi.
Masih terngiang janji Presiden Joko Widodo dan Wapres
Jusuf Kalla dalam kampanye untuk memprioritaskan perlindungan terhadap buruh
migran kita. Menurut MigrantCare, sedikitnya 40 wanita warga negara Indonesia
terancam hukuman mati di Arab Saudi (Kompas, 1/3/2017), empat di antaranya
dijerat pasal pembunuhan.
Sekalipun para terdakwa ini dianggap melanggar hukum, ada
dua alasan menjawab mengapa perlindungan terhadap pekerja migran kita tetap
wajib dilaksanakan. Pertama, buruh migran dianggap "alat"
pemerintah mendulang remitansi atau pengiriman dana dari luar negeri.
Sejak akhir 1980-an, buruh migran adalah garda
pemerintah-yang semestinya diperlakukan setara-dalam menyumbang pembangunan
di daerah-daerah yang "belum tersentuh" pemerintah. Jargon
"pahlawan devisa" adalah simbol paling nyata dari sikap pemerintah
menjadikan mereka instrumen pembangunan sejak Orde Baru.
Sistem peradilan
Kedua, sekalipun hukum syariah memberikan ketegasan dalam
hal pelanggaran pidana, kerap kali sistem peradilan tidak diselenggarakan
secara transparan dan seimbang (equal). Terlebih jika tersangka perempuan, ia
wajib mendelegasikan kesaksiannya kepada seorang wali pria di persidangan.
Laporan Human Rights Watch 2016 menunjukkan bahwa antara Januari dan November
2015 Pemerintah Arab Saudi telah mengeksekusi 152 orang dengan tuduhan
pembunuhan dan penyalahgunaan narkotika.
Mengingat tingginya tensi pekerjaan rumah tangga di tengah
kondisi yang terisolasi, tidak jarang tindakan kriminal merupakan fenomena
gunung es. Sekalipun Pemerintah Arab Saudi telah melarang penahanan paspor
oleh agen dan majikan, ketidakmampuan para pekerja untuk mengutarakan masalah
di tengah suasana serba asing bisa menjelma menjadi tindakan yang tidak diharapkan.
Tidak jarang, para aktivis seperti Buruh Migran Indonesia-Saudi Arabia (BMI-
SA) harus merencanakan "penculikan" untuk menyelamatkan pekerja
yang "tersandera" di rumah majikan.
Kedatangan Raja Salman mestinya bisa dimanfaatkan agar
agenda perlindungan buruh migran Indonesia terlaksana. Dalam bidang
ketenagakerjaan, selain perlindungan, pemerintah dapat membuka wacana pekerja
di sektor yang lebih profesional, di mana jaminan keselamatan dan
kesejahteraan dapat diperhitungkan lebih matang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar