ACI
Samuel Mulia ; Penulis Kolom PARODI Kompas Minggu
|
KOMPAS, 12 Maret 2017
Kalau saya mengajukan pertanyaan pada Anda sekalian sebuah
pertanyaan soal mencintai negeri ini, apa yang kira-kira akan menjadi jawaban
Anda? Contohnya seperti ini. Apakah Anda benar mencintai Indonesia dengan
segala kelebihan dan kekurangannya? Apakah Anda merasa bangga menjadi bangsa
Indonesia dengan mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar?
"Aku ini kalau berbahasa
Indonesia jelek banget."
Sejujurnya saya ini mau mengaku pada Anda semua, mengapa
saya mengajukan pertanyaan di atas sebagai pembuka tulisan ini. Begini
ceritanya. Satu minggu yang lalu, saya dibuat kesal gara-gara mendengar
pembicaraan seorang bapak pada temannya di dalam pesawat terbang. Saya tidak
menguping karena ia bersuara sangat keras sehingga saya bisa mendengar semua
percakapannya dengan jelas.
"Aku ini kalau berbahasa Indonesia jelek banget,
sampai stafku sering kali mengoreksi. Aku ini lebih bagus kalau pakai bahasa
Inggris." Sambil mengobrol, ia menggenggam sebuah buku tebal berbahasa
Inggris yang sama sekali tak dibacanya selama penerbangan itu.
Mendengar dan melihat caranya membawa diri, awalnya saya
ingin memberi judul tulisan ini "mulut besar". Tetapi ketika
gendang telinga saya mendengar kalimat, aku ini kalau berbahasa Indonesia
jelek banget, saya kemudian menggantinya dengan judul di atas yang Anda semua
tahu, itu sebuah singkatan dari Aku Cinta Indonesia.
Selama kurun satu jam lebih sekian menit itu saya dibuat
kesal bukan karena mulut besarnya, tetapi kalimat di atas itu terus mengiang
di telinga, bahkan ketika saya sedang berusaha menghapusnya dengan melihat
tayangan film.
Sejujurnya, kalimat yang dikeluarkan dari mulut besar si
bapak itu sudah acap kali saya dengar dari beberapa teman atau klien, yang
beruntung pernah tinggal dan bersekolah di luar negeri dalam kurun waktu yang
cukup lama, dan kemudian pulang kampung dan mencari nafkah di negerinya
sendiri.
Melihat kejadian itu, dan dengan mengingat kepandaian saya
yang di bawah standar, saya hanya berpikir begini. Kalau seseorang bisa
berbahasa asing dengan hebat, lancar, benar, dan tepat, serta dapat membaca
novel atau apa pun dengan bahasa asing, mengapa ia tak bisa berbahasa
Indonesia dengan baik dan benar?
Apakah karena...?
Maka seperti biasa, saya mulai memeras otak yang tajamnya
tak seberapa ini. Apakah karena ia merasa kalau menggunakan bahasanya sendiri
itu tidak memberi gengsi, tidak memberi keuntungan, terutama untuk
berkomunikasi sebagai warga dunia?
Apakah karena ia merasa bahwa bahasa Indonesia yang bukan
digunakan sebagai bahasa internasional tidak perlu mendapat porsi yang
penting untuk dipelajari dan dikuasai? Kalaupun bahasa Indonesia tidak
merupakan bahasa internasional, tidak pula digunakan dalam menjalani
profesinya sehari-hari, apakah itu tidak cukup untuk membuatnya bangga, bahwa
ia bisa fasih menggunakan sekian bahasa, termasuk bahasa Indonesia?
Apakah sejujurnya kalimat yang dikeluarkannya dari lidah
tak bertulang dengan ringannya itu sebuah bukti kalau ia tidak mencintai
negeri ini, atau hanya mencintai setengahnya saja? Karena buat saya, cinta
itu bisa bermacam bentuknya, tetapi apa pun bentuknya, itu harus dibuktikan
dengan nyata dan bukan hanya omongan saja.
Cinta Anda kepada Tuhan, pasangan, keluarga, diri sendiri,
dan negara juga harus ada bukti nyatanya. Kalaupun bentuk cintanya terhadap
negeri ini bukan dengan mampu berbahasa dengan benar, apakah mengeluarkan
kalimat macam itu dianggap pantas?
Karena saya mempunyai kesan, bahwa ada kebanggaan
seseorang dapat berbahasa asing dengan benar ketimbang mampu berbahasa
Indonesia dengan benar. Itu mungkin yang menyebabkan bapak yang saya jumpai
itu dapat mengutarakan ketidakmampuannya berbahasa Indonesia dengan ringannya
dan dengan lantangnya tanpa merasa terbeban.
Mencintai itu butuh pengorbanan, mencintai itu tidak bisa
setengah-setengah. Mencintai itu menuntut Anda untuk bersikap. Mencintai atau
tidak mencintai. Karena yang setengah itu membuat seseorang tak pernah serius
menjalani apa pun.
Selama penerbangan itu, saya berpikir keras, bagaimana
seorang warga negara Indonesia bisa meleceh dengan lantang sebuah kalimat
macam saya jelek kalau berbahasa Indonesia, tetapi masih berwarga negara
Indonesia dan mencari nafkah di negeri ini?
Sekarang, saya mau mengajukan pertanyaan pada
saudara-saudari sekalian. Saya berjanji, ini pertanyaan yang terakhir untuk
hari ini. Tentu Anda tak perlu melayangkan jawaban ke kantor redaksi, cukup
di hati Anda saja. Begini pertanyaannya.
Kapan kira-kira Anda akan berhenti mengatakan bahwa bahasa
Indonesia saya itu jelek banget, dan kapan Anda mulai belajar untuk mencintai
negeri ini dengan belajar berbahasa Indonesia agar tidak jelek?
Kalau sudah bertahun lamanya Anda selalu berkata dengan
ringannya kalau bahasa Indonesia saya jelek, dan Anda pun tak tergerak untuk
menjadi lebih baik sampai sekarang ini, mengapa Anda bersikap untuk memilih
tetap jelek dan menjadi orang asing di negeri sendiri? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar