Waspada
Kecurangan Pilkada
Farouk Muhammad ;
Wakil
Ketua DPD RI
|
KORAN
SINDO, 15
Februari 2017
Hari ini akan
dihelat pilkada serentak tahap kedua, yang akan diikuti 101 daerah dengan
rincian 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Kita semua tentu berharap agar
pilkada serentak kali ini dapat berjalan lancar dan sukses dengan standar
kualitas demokrasi yang tinggi; meski kita juga waswas akibat banyaknya
sinyalemen dan potensi kecurangan yang beredar di masyarakat. Untuk itu, kita
berharap betul kepada penyelenggara pilkada, khususnya Badan Pengawas Pemilu,
agar memasang kewaspadaan tinggi untuk mengantisipasi berbagai kecurangan.
Sebagai
pengawas jalannya pesta demokrasi ini, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
dituntut serius untuk menjamin pemilu berlangsung demokratis. Kondisi
sosial-politik yang memanas akhir-akhir ini juga akan berpengaruh pada proses
pilkada, dan di antara semuanya yang paling mengkhawatirkan adalah kondisi
meluasnya kecurigaan akan kecurangan dalam kehidupan masyarakat yang
diperparah dengan distrust kepada pemerintah, aparat keamanan, dan
penyelenggara pilkada.
Kecurigaan dan
distrust ini dipicu oleh penyikapan atas sejumlah dugaan kecurangan yang
tidak terlalu tepat: tidak responsif sebaliknya terkesan reaktif. Kasus-kasus
yang mencuat antara lain terungkap pada Diskusi Polemik Sindo Trijaya di
Warung Daun, Cikini, Jakarta (11/2), yakni laporan adanya serombongan pekerja
asing tengah masuk ke Jakarta jelang hari pemungutan suara. Keberadaan
rombongan tenaga kerja asing tersebut terungkap di Bandara Sultan Hasanuddin
Makassar, Sulawesi Selatan.
Mereka
diidentifikasi berasal dari salah satu daerah di Sulawesi Tenggara dan terus
dilakukan konfirmasi. Sebelumnya Ditjen Bea Cukai serta Ditjen Kependudukan
dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri membongkar penggandaan e-KTP dari
Kamboja. Walaupun palsu, e-KTP tersebut menggunakan chip dan material asli.
Di sisi lain, Mabes Polri menerima 255 temuan dan laporan selama tahapan
Pilkada 2017. Dari jumlah tersebut, 69 laporan diterima selama masa
persiapan, sedangkan 178 laporan selama masa kampanye.
Laporan
diprediksi akan terus meningkat seiring berjalannya tahapan sampai
pascapencoblosan. Terungkapnya e-KTP aspal (asli tapi palsu) merupakan
perkara serius yang harus diusut tuntas karena hal tersebut menyangkut
kejahatan pemalsuan dokumen. Yang mengkhawatirkan jika pemalsuan dilakukan
secara masif. Sayangnya, sikap pemerintah dalam menjelaskan terungkapnya
masalah e- KTP palsu kepada masyarakat tidak maksimal.
Begitu pun
sikap aparat kepolisian yang tidak tanggap menangani perkara ini. Selain itu,
semua pihak perlu waspada dan awasi serius penyebaran surat pemberitahuan
(form C6) dan penggunaan surat keterangan (suket) pada hari pencoblosan. Hal
ini penting karena dua dokumen tersebut mudah disalahgunakan oleh pihak yang
tidak bertanggung jawab untuk kepentingan pemenangan kandidat tertentu. Cegah
dan awasi jangan sampai ada pemilih siluman yang bisa mencoblos.
Praktik
politik uang, mobilisasi, intimidasi, dan tidak ketinggalan praktik
politisasi birokrasi, tentu harus menjadi perhatian serius karena praktik itu
kerap terjadi pada setiap perhelatan pemilu dan pilkada. Polemik penistaan
agama oleh salah satu kandidat pilkada di DKI Jakarta serta respons aparat
dan pemerintah yang dipersepsikan masyarakat luas ”berpihak” dan bias harus
diakui turut memanaskan kondisi ketidakpercayaan publik. Hal ini harus
diwaspadai betul agar tidak berkembang menjadi konflik sosial jika kemudian
berkelindan dengan berbagai persepsi kecurangan dalam pelaksanaan pilkada.
Respons Antisipatif
Mere spons
kondisi tersebut, perlu langkah-langkah yang asertif dan bijak dari
penyelenggara, pemerintah, maupun aparat. Pertama, baik penyelenggara,
pemerintah maupun aparat harus memberikan sinyal kuat bahwa mereka
transparan, responsif, dan imparsial (tidak berpihak). Cara-cara pejabat yang
menyepelekan informasi kecurangan dan menyikapi secara reaktif dan linear
(tidak komprehensif) justru tidak efektif mengurangi persepsi negatif. Dengarkanlah
setiap keluhan warga walaupun menyakitkan dan sikapilah dengan bijaksana dan
berorientasi pemecahan masalah (problem
solving oriented).
Kedua,
terutama di daerahdaerah rawan seperti DKI Jakarta, Aceh, dan Papua, pastikan
bahwa petugas KPPS sudah paham bagaimana menyikapi jika ada temuan
kecurangan-kecurangan di TPS dengan membuka peluang keikutsertaan warga dan
pemantau (LSM, kalangan kampus) secara optimal. Hal ini untuk mengantisipasi
reaksi kolektif warga yang memiliki persepsi negatif dan sudah tidak percaya
pada penanganan melalui mekanisme formal.
Ketiga,
pendekatan keamanan harus meminimalisasi penampakan pasukan bersenjata lengkap
untuk menjaga keamanan dan siaga untuk mengambil tindakan represif (hard approach). Saya khawatir dalam
kondisi terbangunnya public distrust
justru akan semakin menyebarkan persepsi bahwa aktor keamanan sedang show of
force (unjuk kekuatan) untuk menindas oposisi atau kekuatan yang
berseberangan dengan penguasa.
Terkait hal
ini yang perlu dilakukan adalah memberdayakan seoptimal mungkin petugas
polmas untuk keluar-masuk (sambang) dusun/ lingkungan/ RW/ RT dan berdialog
dengan warga. Pesan kepada aparat keamanan: ”Jadilah pendengar yang baik
untuk menerima masukan bahkan kritisi atau keluhan warga, baru kemudian
menyampaikan pesanpesan kamtibmas.” Dengan seluruh paparan di atas,
kewaspadaan tingkat tinggi menghadapi kecurangan Pilkada memang perlu kita
lakukan, apalagi berbagai sinyalemen mengarah ke sana.
Namun
demikian, yang jauh lebih penting adalah respons tepat penyelenggara,
pemerintah, dan aparat dalam menyikapi berbagai temuan/ laporan kecurangan.
Bersikaplah arif dan bijaksana dengan menunjukkan komitmen untuk menjaga
transparansi, responbilitas, dan netralitas. Hal ini penting untuk
menumbuhkan kepercayaan publik terhadap penyelenggara, pemerintah, maupun
aparat keamanan. Jangan mengharap bisa terwujud kebersatuan dan kedamaian
dalam penyelenggaraan Pilkada dalam masyarakat yang menyimpan persepsi
kecurangan dan distrust.
Dalam kondisi
kepercayaan publik pada pemerintah rendah, semakin besar kecurigaan maka
semakin besar kemungkinan keterbelahan dan kerusuhan. Tentu kita semua tidak
menginginkan hal itu terjadi sehingga respons antisipatif yang telah penulis
kemukakan patut untuk dijadikan pijakan dalam bertindak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar