Tujuh
Puluh Lima Tahun Lalu
Bambang Hidayat ;
Anggota
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 27 Februari 2017
Tanggal 27 Februari 1942 tercatat sebagai hari
tenggelamnya kapal perang De Ruyter, Java, dan beberapa lainnya di Laut Jawa. Armada gabungan yang dibangun Sekutu
(Inggris, Amerika, Australia, dan Belanda) pada 2 Februari 1942 itu tak
berumur panjang, terkoyak-koyak serangan udara Laksamana Takagi.
Meski demikian, kekalahan di Laut Jawa itu menyisakan
kepahlawanan Admiral Karel Doorman, yang baru beberapa jam sebelumnya
diangkat menjadi admiral penuh oleh pemimpin Angkatan Perang Belanda, Admiral
Helfrich.
Sebagai panglima tempur, Doorman memancangkan bendera
komando di kapal perang De Ruyter. Ia memimpin armada Sekutu, terdiri dari 8
kapal perang, 5 penyapu ranjau, 10 kapal selam, dan beberapa kapal perusak.
Tahun 1942 Nusantara masih dijajah dan menjadi tumpuan
kesejahteraan Belanda. Tak
mengherankan kalau Karel Doorman mati-matian mempertahankan Jawa, yang
menyimpan kekayaan bagi negaranya.
Doorman mencatat nilai kepahlawanan tidak hanya dalam ujud
kepemimpinan yang tegas dan inovatif (istilah abad ke-21), tetapi juga
usahanya melawan sampai titik darah penghabisan. Padahal, armada dan sumber
daya pendukungnya kalah banyak dan kalah koordinasi.
Bayangkan kelelahannya memimpin armada yang belum kompak
memahami bahasa sandi dalam sistem multikomponen Amerika, Inggris, Australia,
Belanda. Kurangnya peralatan komunikasi membuat perintah disebar dengan
kilatan lampu senter pada malam hari.
Doorman tak pernah meninggalkan kapalnya. Pada pukul
23.18, 27 Februari 1942, dia bersama sekitar 1.000 anggota angkatan lautnya
terkubur di dekat Pulau Bawean. De Ruyter tenggelam setelah torpedo Laksamana
Takahashi menembus lambung kapal. Hampir bersamaan, tenggelam pula kapal
perang Java, tidak jauh dari De Ruyter.
Artikel ini tidak hanya memotret seorang panglima tempur,
lebih dari itu mengajak kita mendalami
makna perintah menjalankan tugas, membela kehormatan wilayah.
Setelah berpatroli
beberapa hari di Laut Jawa, armada Sekutu yang tidak dikawal angkatan
udara itu sebenarnya hendak mengisi amunisi dan bahan bakar. Doorman
berniat mengistirahatkan marinir,
kelasi, dan awak kapal yang kelelahan dan kelaparan setelah beberapa hari
dalam tekanan kewaspadaan.
Namun, pada 27 Februari 1942, belum sempat mengaso karena
baru 2-3 jam tiba di Surabaya, datang perintah Panglima Helfrich dari markas
besar di Bandung, bahwa armada perang, penahan serangan, harus segera kembali
ke Laut Jawa. Sore itu, dalam keadaan kumuh, lesu, dan tanpa perlindungan
pesawat terbang satu pun, para perwira dan marinir dengan perlengkapan
seadanya kembali ke medan laga.
Menurut markas besar di Lembang, armada musuh sudah berada
pada jarak 275 kilometer di sebelah utara Surabaya, dekat Pulau Bawean.
Namun, sudah beberapa hari angkatan udara Belanda memang mati suri, lumpuh.
Lapangan terbang Andir di Bandung (sekarang Husein Sastranegara) menjadi
karang merah akibat serangan udara Jepang yang sistematis.
Belalai gurita angkatan perang Jepang memasuki wilayah
dari timur: Lautan Maluku dan Selat Makassar. Armada pengangkut tentara
kemaharajaan Jepang ke-16-yang bertugas merebut Jawa-bahkan sudah tiba di
sekitar Pulau Bangka. Konvoinya, Java Convoy, berada 120 kilometer sisi barat
laut Singkawang. Artinya, armada tempur itu sudah di utara Surabaya. Tinggal
menunggu waktu menerkam.
Sikap permusuhan Jepang terhadap Barat sebenarnya diawali
9 jam sebelum Pearl Harbour dilumpuhkan lewat kelicikan yang pertama kali terjadi
dalam sejarah diplomasi, oleh armada
Laksamana Naguno dan Admiral Isoroku Yamamoto.
Pada 8 Desember 1941 (tiga bulan sebelum pecah Perang
Pasifik), benteng baja laut "tak terlumpuhkan" milik Britania Raya,
yakni kapal perang raksasa Prince of
Wales yang baru beberapa hari dimiliki Armada Timur yang berpangkal di
Singapura dan kapal perang Repulse, sudah ditenggelamkan Jepang di dekat Kepulauan Anambas.
Kelumpuhan kedua kapal perang itu berkat kejelian penerbang Jepang. Pada pukul 11.05, setelah
beberapa hari Semenanjung Malaka tersaput kabut tebal, pilot-penerbang muda
Hoashi melapor ke markas di Saigon, "Tampak dua kapal perang musuh, 100
kilometer di sebelah tenggara Kuantan. Keduanya bergegas ke tenggara."
Berita singkat itu mempercepat adrenalin para pilot dan
menaikkan suhu perang armada udara
Jepang. Sebagai catatan, karena konfigurasi geografis dan pengaturan
penggunaan jam lokal, Pearl Harbour belum mengalami serangan. Baru 9 jam
kemudian Pearl Harbour diserang dan mulailah
"the day of infamy" , menandai Perang Dunia II.
Dengan tenggelamnya Prince of Wales dan Repulse,
keseimbangan berubah. Pendulum bergulir. Kapal perang tak lagi diagungkan,
bagaimanapun besar dan kuat persenjataannya. Tanpa lindungan pesawat, kapal
perang hanya menjadi onggok sasaran.
Inilah yang dialami Karel Doorman karena armada udara
Belanda mati suri, apalagi ada kesialan tak terduga. Pilot (dari Andir, Jawa Barat) tak bisa
berhubungan dengan satuan darat di Cikole karena frekuensi radio penyiar dan penerima tidak
sama.
Pesawat Dornier tergelincir, lepas dari landas pacu, tidak
bisa diangkat lagi karena sopir truk derek lari. Peristiwa-peristiwa sepele
itu membuat wajah pertahanan Belanda kian bopeng.
Perang heroik
Keluruhan armada Sekutu dalam Perang Laut di Jawa tercatat
sebagai epos perang laut yang heroik, perang besar yang meminta
tumbal 6 kapal perang, beberapa admiral, kolonel dan 2.000-an marinir yang
terkubur di dasar laut. 27 Februari 2017, hari ini, pemerintah dan masyarakat maritim Belanda memperingati hari sial itu dengan
kebanggaan bagi yang gugur.
Makam Kembang Kuning, Surabaya, menjadi saksi peringatan
peristiwa 75 tahun lampau. Saya menundukkan kepala atas gugurnya Karel
Doorman dan angkatannya.
Akan tetapi, sebagai orang Indonesia, mau tidak mau saya
juga mencatat khidmat karena saat itulah awal pintu kemerdekaan terbuka,
setelah melalui hinaan Jepang yang 3,5 tahun menjadi tuan di negeri ini.
Semenjak Churchil (PM Britania Raya) pada 25 Agustus 1941
menetapkan pembentukan Armada Timur yang berpusat di Singapura, lewat 1 Desember 1941 Dewan Kabinet Kekaisaran
Jepang meratifikasi keputusan Perdana Menteri
Jepang Tojo (yang dibekali Doktrin Tanaka 1926), bahwa Jepang harus ke
selatan menguasai wilayah itu untuk kesejahteraan rakyat Jepang.
Daerah "selatan" harus dikuasai karena kaya
bahan mentah dan tambang. Siasat Jepang menguasai Singapura mengelabui mata
dunia dan sekaligus strategis secara militer.
Penyerangan Pearl Harbour adalah untuk menelikung armada
Amerika agar tak ikut campur usaha Jepang di Asia. Dari 15 Februari 1942,
saat penyerahan Singapura oleh Jenderal Percival Lowel dari Inggris kepada
Yamashita dari Jepang, tidak ada armada yang lebih kuat daripada armada laut
dan udara Jepang.
Itu semua membawa kita kepada fase 8 Maret 1942, 75 tahun
yang lalu, ketika di Kalijati, Jawa Barat, Letnan Jenderal Imamura menerima
penyerahan tak bersyarat seluruh
Hindia Belanda dari Jenderal Ter Poorte. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar