Sengkarut
E-KTP dalam Pilkada
Ikhsan Darmawan ;
Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
|
KOMPAS, 13 Februari 2017
Sekitar satu
minggu setelah isu mengenai dugaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP)
ganda menjadi viral di media sosial, masyarakat kemudian diresahkan dengan
berita dibongkarnya kiriman e-KTP dari Kamboja oleh Dirjen Bea Cukai bersama
Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil, dan Kementerian Dalam Negeri. Kiriman
itu masuk Indonesia pada 3 Januari 2017.
Kasus dugaan
e-KTP ganda yang sebelumnya telah dibantah oleh Mendagri dan KPU DKI kemudian
bergulir menjadi persoalan baru, yaitu e-KTP palsu. Tentu saja e-KTP sendiri
jika dibuat ganda dengan persis betul seperti aslinya tidak bisa. Pasalnya,
e-KTP memiliki nomor induk kependudukan (NIK), data iris mata, dan sidik jari
yang unik. Akan tetapi, bukan berarti tidak bisa dipalsukan. Pemalsuan e-KTP
di sini artinya fisik e-KTP terlihat sama secara kasatmata, tetapi jika
dipindai akan terdeteksi palsu karena tidak ada cipnya.
Mengapa
pemalsuan e-KTP tersebut menjadi begitu penting? Tak lain karena temuan e-KTP
palsu ini berdekatan dengan momen pemungutan suara dalam pemilihan kepala
derah (pilkada) yang akan dilaksanakan serentak pada 15 Februari 2017.
Hal yang
paling dikhawatirkan, tentu saja, e-KTP palsu itu akan digunakan untuk
memilih dalam kontestasi pilkada. Padahal, syarat untuk memilih adalah
mempunyai e-KTP yang absah. Jika ada pemilih yang menggunakan e-KTP palsu
berarti sama dengan merusak kualitas pilkada karena di dalam prosesnya
terdapat kecurangan. Dampaknya, hasil pilkada tidak mencerminkan kondisi yang
sebenarnya akan pilihan masyarakat di daerah setempat.
Kerawanan
pemakaian e-KTP palsu terdapat pada momen antara pukul 12.00 dan pukul 13.00,
sebelum TPS ditutup. Ketentuan perundang-undangan membolehkan selama satu jam
itu bagi pemilih yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) untuk
memilih menggunakan e-KTP atau surat keterangan dari dinas kependudukan dan
catatan sipil (disdukcapil) setempat.
Dengan sistem
yang digunakan untuk mengecek atau memverifikasi keaslian e-KTP masih manual,
tentu saja amat rawan. Pihak-pihak yang kemudian paling bisa diharapkan untuk
mengawasi apakah si calon pemilih di waktu memilih pada pukul 12.00 hingga
pukul 13.00 tersebut benar tinggal dan pemilih di TPS itu adalah saksi,
pengawas, dan panitia (KPPS).
Pertanyaannya,
apakah cara itu efektif? Bagaimana jika petugas Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS) lengah atau cuek di saat krusial seperti itu?
Dampaknya tentu TPS itu kecolongan karena diikuti oleh orang yang tidak
berhak memilih di tempat itu.
Langkah antisipasi
Karena sudah
mendeteksi kemungkinan akan adanya kerawanan, akhirnya Dirjen Kependudukan
dan Catatan Sipil secara darurat membuat layanan cek NIK dari TPS.
Mekanismenya, yaitu jika ada yang curiga terhadap e-KTP yang diduga palsu,
e-KTP itu difoto lalu dikirim melalui aplikasi Whatsapp ke dukcapil setempat.
Selanjutnya, dukcapil langsung mengecek database dan hasilnya dikirim kembali
ke petugas di TPS.
Tentu saja
cara itu bukan tanpa kelemahan. Cara itu memiliki setidaknya dua kelemahan.
Pertama, sangat mengandalkan prinsip kecurigaan. Jika tidak curiga,
kecurangan menjadi tidak terdeteksi. Kedua, dalam situasi genting seperti
pada masa akhir penutupan TPS yang sering kali terdiri atas banyak pemilih di
satu TPS, panitia telah terpusatkan perhatiannya pada mengurus pemilih yang
hadir. Secara teknis agak sulit dan berat jika petugas KPPS harus ditambah
lagi memberi perhatian agar teliti dan curiga terhadap setiap pemilih tidak
dikenal.
Oleh karena
itu, pelajaran yang bisa diambil dari permasalahan ini adalah mendesaknya
e-verifikasi di setiap TPS. Memang sudah tidak mungkin dilakukan di pilkada
serentak 2017, tetapi bisa saja disiapkan untuk pilkada serentak 2018 dan
Pemilu 2019.
E-verifikasi
adalah proses verifikasi elektronik di TPS menggunakan alat tertentu untuk
mengecek apakah e-KTP yang digunakan pemilih valid atau tidak. E-verifikasi
ini sudah digagas oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sejak
2016 pada pemilihan kepada desa e-voting di empat kabupaten, yaitu Batang
Hari (Jambi), Boyolali (Jawa Tengah), Pemalang (Jawa Tengah), dan Musi Rawas
(Sumatera Selatan).
Penulis
melihat langsung ketika meneliti pilkades e-voting di Boyolali dan Pemalang,
bagaimana e-verifikasi ini bekerja. Dengan e-verifikasi, alatlah yang dengan
efektif mendeteksi keaslian e-KTP sebagai salah satu syarat untuk memilih. Dalam
konteks e-KTP palsu seperti ditemukan belakangan ini, dengan e-verifikasi
akan dengan mudah dideteksi oleh alat dari BPPT sehingga pemilih yang membawa
e-KTP palsu dan ingin memilih dapat digagalkan.
Berdasarkan
informasi yang penulis dapat, BPPT sebenarnya pernah mempresentasikan
e-verifikasi ke salah satu KPU provinsi yang akan menggelar Pilkada 2017. KPU
provinsi dimaksud sudah menyatakan minatnya, tetapi tak berani karena tak
mendapat lampu hijau untuk pelaksanaannya. Artinya, sebenarnya kasus temuan
e-KTP palsu yang menghebohkan ini adalah bom waktu yang meledak karena tak
jadi menggunakan e-verifikasi. Tentu ini amat disayangkan karena dampaknya
kemudian pada pelaksanaan Pilkada 2017.
Ke depan, sudah saatnya e-verifikasi dipakai untuk pelaksanaan
pemilu di Indonesia untuk menjaga integritas pemilu itu sendiri. Semoga
seluruh pemangku kepentingan yang mengurus pemilu di Indonesia bisa belajar
dari sengkarut e-KTP dalam pilkada ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar