Saatnya
Berpikir Jernih
J Kristiadi ;
Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS, 14 Februari 2017
Besok pagi,
Rabu, 15 Februari, sebagian rakyat Indonesia di 101 daerah akan memilih
kepala daerah. Pilihan itu akan menjadi pertaruhan rakyat dalam lima tahun
mendatang, apakah akan hidup semakin sejahtera atau justru sebaliknya,
menjadi makin sengsara. Karena itu, masyarakat harus benar-benar menimba
pengalaman pilkada langsung yang sejak tahun 2005 sampai 2016 telah berjumlah
sekitar 1.400 kali.
Data menunjukkan,
selama lebih dari 10 tahun, dari perspektif pemilih, secara umum rakyat
Indonesia gagal memperoleh kepala daerah yang punya kompetensi manajerial dan
moral untuk memenuhi harapan rakyat. Selama lebih dari satu dekade, kepala
daerah yang dianggap berhasil dapat dihitung dengan jari. Bahkan, menurut
catatan Kementerian Dalam Negeri, sekitar 400 kepala daerah dan wakil kepala
daerah tersengat tindak pidana perkara korupsi selama kurun waktu itu.
Pengalaman
pahit tersebut tak boleh berulang. Oleh sebab itu, dalam pilkada kali ini dan
selanjutnya, pemilih harus benar-benar berpikiran jernih untuk menentukan
kandidat yang mampu mengemban tugas dan mandat rakyat. Namun, hal itu tidak
sederhana karena tidak jarang kompetisi politik amat panas dan disertai
dengan adu siasat serta adu argumen akal-akalan. Tidak jarang wacana publik
terperangkap pada tingkat batas ambang kewarasan publik yang nyaris menyentuh
titik nadir. Untuk memitigasi ekses kampanye serta akal bulus tim sukses para
kandidat, sebaiknya pemilih memperhatikan beberapa hal yang mungkin dianggap
kuno, tetapi tidak pernah basi.
Pertama,
dilarang hanya mendengarkan janji, terlebih janji yang terlalu muluk. Ini
karena mereka yang mengumbar komitmen selangit biasanya cepat melupakan
niatnya. Rakyat sebaiknya berpikir jernih dan mencoba menggali rekam jejak
pasangan calon. Melalui penelusuran itu, setidaknya diketahui simtom-simtom
perilaku para kandidat, terutama daya tahan dari godaan kekuasaan.
Biasanya,
mereka yang telah membuktikan selagi berkuasa tidak menyalahgunakan kekuasaan
pantas mendapatkan kepercayaan dan kehormatan dari rakyat mengelola
kekuasaan. Rakyat harus kedap terhadap bujuk rayu yang sering dirangkai
dengan kalimat yang membius, tetapi sebenarnya jerat yang menyandera rakyat.
Kata-kata indah hanya sensasi sesaat untuk meninabobokan kesadaran rakyat.
Kedua,
dilarang hanya percaya kepada perilaku santun, muka manis, memelas, merengek,
sesambat, atau merasa dizalimi, dan sejenisnya. Menghadapi kandidat model
begini justru harus ekstra hati-hati. Tidak mustahil di balik perilaku yang
memikat itu sekadar cara menutupi inkompetensinya. Jurus politik semacam ini
sebenarnya kejam karena mereka dengan topeng kesantunan sedang melakukan
siasat cerdik untuk memanipulasi ketulusan, kepolosan, dan kesederhanaan
masyarakat yang kurang paham kejamnya politik kekuasaan. Rakyat yang
merindukan hidup sejahtera mudah terbius rayuan politisi bertopeng. Pada awal
reformasi biasanya perilaku santun disertai dengan amplop dan bahan pokok
sekadarnya, tetapi tampaknya jurus tambahan ini sudah diketahui rakyat
sebagai pengelabuan sehingga tidak terlalu laku.
Ketiga, jangan
memilih hanya karena rasa ”benci” terhadap kandidat lain. Perlu diingat,
pilkada adalah kompetisi dengan tuntutan sportivitas tinggi. Bukan Perang
Baratayudha yang harus saling mematikan. Justru yang terpenting adalah
sportivitas itu sendiri. Kalah dan menang jadi sekunder karena kompetisi
politik hasilnya adalah menang dan belum menang, bukan kalah. Apalagi,
kompetisi ini akan selalu terjadi selama Indonesia masih jadi negara republik
dan demokrasi.
Anjuran
terakhir ini perlu mendapatkan perhatian karena rasa benci bukan lagi sekadar
fenomena psyche (kejiwaan), melainkan telah jadi penanda bahaya, rasa tidak
aman. Karena itu, perlu kontrol oleh negara atau komunitas politik tertentu.
Niza Yanay dalam bukunya, The Ideology
of Hatred, The Psychic Power of Discourse (2013), menegaskan teori
kebencian harus diteorikan kembali jadi ideologi kekuasaan dan kontrol. Itu
karena tangan-tangan tak kelihatan bergerayangan secara kasatmata menggunakan
”kebencian” sebagai strategi pertahanan dan politik.
Ilustrasinya,
peristiwa 11 September 2001 serangan bunuh diri di New York City dan
Washington DC. ”Kebencian” dipakai Presiden Bush, negara demokrasi Barat dan
media sebagai retorika metaforatikal untuk mendapatkan legitimasi menyatakan
negara dalam keadaan darurat, membentuk profil rasial (racial profiling), serta melakukan operasi militer dengan Irak.
Hal yang sama adalah permusuhan kebencian antara keturunan Yahudi Israel dan
keturunan Yahudi Palestina. Jadi, kebencian adalah konsep politik.
Karena itu, bangsa Indonesia tak boleh membiarkan ideologi
kebencian mengisi ruang publik dan jadi instrumen melakukan kompetisi
politik. Fenomena ini sangat berbahaya karena akan menggerogoti pilar-pilar
keindonesiaan yang merupakan tonggak ideologis yang menopang kehidupan
bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar