Restorasi
Kerukunan Bangsa
AB Susanto ;
Pendiri
The Jakarta Consulting Group;
Mediator Profesional
Bersertifikat
|
KOMPAS, 22 Februari 2017
Kemenangan Donald Trump, dan kegaduhan yang
ditimbulkannya, seolah menggoyang sistem demokrasi AS yang telah berumur dua
abad lebih.
Penolakan sebagian rakyat AS terhadap kemenangan Trump
berlanjut terhadap ketidaksepakatan atas berbagai kebijakannya. Mekanisme
penyelesaian konflik dalam sistem demokrasi AS yang telah mapan seolah tak
mampu menyerap konflik pilpres dan pasca-pilpres dan telah membelah
rakyat AS.
Apa yang terjadi di AS jadi pelajaran berharga bagi kita
karena kegaduhan juga menyertai pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI
Jakarta, yang kali ini terasa berbeda. Pusaran konflik yang menyertai pilkada
kali ini cukup tinggi sehingga representasi partai politik di parlemen sudah tak mampu mengartikulasi
aspirasi politik yang ada dan meluber ke jalanan.
Pertanyaannya: apakah semua konflik ini terkubur setelah
pilkada atau masih menyisakan bara seperti kondisi di AS? Kuat dugaan
kondisinya akan tetap membara. Jika ini terjadi, tujuan pilkada untuk memilih
pemimpin tidak tercapai. Efektivitas kepemimpinan terjerat oleh bara
ketidakstabilan. Pengotakan yang terjadi pada saat pilkada akan semakin
mengeras dan menjadi tembok pemisah yang permanen, tersekat saling curiga dan
benci.
Pilkada DKI akan memikul biaya sosial yang tinggi, baranya
akan berlanjut dan membesar sampai pilpres mendatang. Kerukunan bangsa berada
dalam posisi genting ketika konflik dimanifestasikan dengan tak saling
bicara, penghinaan, bahkan sampai ke hal-hal yang sifatnya pribadi, penebaran
berita-berita bohong (hoaks), sektarian, mempermalukan orang di muka umum,
hingga demonstrasi yang berujung pada bentrokan.
Demi masa depan
Kita tidak bisa berpangku tangan sampai semuanya
terlambat. Harus ada terobosan untuk memecah kebuntuan ini. Perlu wadah dalam
mengupayakan mediasi dan rekonsiliasi, menjembatani para elite politik yang
"mati langkah".
Wadah ini tidak
hanya bertindak sebagai pengurai masalah yang telah terjadi, juga melakukan
tindakan preventif agar tidak timbul masalah yang mengancam kerukunan bangsa.
Wadah ini perlu dilembagakan, bukan hanya bersifat ad hoc yang hanya
terbentuk tatkala ada masalah. Perlu
diwacanakan dalam bentuk "Dewan Kerukunan Nasional", yang
anggotanya berdasarkan kompetensi, bukan berdasarkan golongan. Tupoksinya
dijabarkan secara lugas sebagai penjabaran dari mediasi dan rekonsiliasi.
Dalam mediasi, tugas utamanya adalah mendorong elite politik agar bersepakat
menggeser ekspektasi dan "sepakat untuk tidak sepakat". Mediasi
merupakan sebuah cara demokratis untuk memecahkan konflik lantaran semua
pihak diberikan kesempatan yang sama untuk mengekspresikan pendapatnya.
Melalui mediasi, permasalahan diselesaikan tanpa
terkungkung hierarki dan tanpa sikap otoriter. Mediasi jadi sebagai sarana
rekonsiliasi pragmatis, yang tidak terlalu dalam merunut akar historis
pihak-pihak yang berseteru. Orientasinya bersifat jangka pendek, serta jika
mau jujur lebih merupakan permasalahan di lingkungan elite. Penyelesaian yang
melandasi rekonsiliasi ini lebih menekankan bagaimana agar pesta demokrasi
yang berlangsung ini tidak menjadi zero sum conflict.
Namun, Dewan Kerukunan
Nasional tidak hanya menangani rekonsiliasi pragmatis belaka yang
bersifat temporer, tetapi rekonsiliasi historis yang menelusuri sumber konflik yang mengakar. Selama
akarnya belum ditangani secara tuntas, sewaktu- waktu dapat "digoreng" untuk kepentingan
tertentu.
Konflik nilai dan ketimpangan ekonomi acap menjadi
penyebabnya. Pendekatan ini tentu memerlukan energi yang besar,
berkesinambungan, memerlukan waktu yang lama dan perhatian yang sangat
serius. Alhasil, lembaga permanen diperlukan kehadirannya.
Pelembagaan penting untuk dilakukan karena rekonsiliasi
merupakan sebuah proses. Sebagaimana proses munculnya konflik yang acap
berlangsung lama, rekonsiliasi juga
merupakan proses yang kelangsungan tetap harus dijaga. Pelembagaan ini
bertujuan untuk membantu hadirnya struktur organisasi yang mempromosikan dan
menangani resolusi konflik secara efektif
Dewan Kerukunan Nasional akan menjadi pihak ketiga yang berfungsi untuk
memfasilitasi komunikasi dalam kerangka penyelesaian konflik sehingga harus
memelihara citra sebagai pihak yang netral dan non-partisan. Citra ini sangat
penting karena kedua belah pihak sedang dipenuhi oleh rasa saling curiga yang
sangat tinggi. Sekali citra memihak dilontarkan oleh salah satu pihak, maka
fungsi mediasi tidak akan efektif lagi.
Peran Dewan Kerukunan Nasional adalah sebagai pihak ketiga
yang dipandang netral, dengan tujuan utamanya menemukan solusi
"menang-menang", yang mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak.
Dewan Kerukunan Nasional tidak diperkenankan untuk menyatakan siapa yang salah
dan siapa yang benar karena sesungguhnya tugasnya adalah "tugas untuk
menghadapi masa depan" dan bukan "menjadi wasit" terhadap
kesalahan tiap-tiap pihak dengan mengorek masa silam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar