Putusan
MK dalam Penegakan Hukum Korupsi
Amir Syamsudin ;
Advokat; Menteri Hukum dan HAM 2011-2014
|
KOMPAS, 02 Februari 2017
Undang-Undang
No 31/1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi juncto UU No 20/2001
tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang menjadi landasan bagi upaya pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi mengalami perubahan mendasar.
Perubahan
pertama terjadi pada 24 Juli 2006 ketika Mahkamah Konstitusi melalui putusan
No 003/PUU-IV/2006 menyatakan norma Penjelasan Pasal 22 Ayat (1) UU Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor) bertentangan
dengan konstitusi sehingga menjadi norma formil. Perubahan kedua terjadi pada
25 Januari 2017, kembali MK melalui putusannya No 25/PUU-XIV/2016 menyatakan,
frasa kata "dapat" dalam rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor
bertentangan dengan konstitusi sehingga "tidak mengikatnya" kata
"dapat" menjadikan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor menjadi delik
materiil.
Kedua
perubahan di atas dianggap oleh sebagian masyarakat akan merugikan upaya
pemerintah dalam upaya mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.
Sementara sebagian masyarakat lain beranggapan sebagai bagian dari upaya menegakkan hukum korupsi
secara benar dan konsekuen.
Mundur atau maju?
Pertimbangan
putusan MK di dalam perubahan pertama terkait norma dari rumusan frasa
"secara melawan hukum" adalah perbuatan yang hanya bertentangan
dengan hukum tertulis, sedangkan hukum tidak tertulis tidak lagi masuk di
dalamnya. Hal ini dikarenakan hukum tidak tertulis menimbulkan ketakpastian
lantaran adanya kondisi dan pemahaman masyarakat yang berbeda-berbeda dan
berubah-ubah dari waktu ke waktu
sehingga akan berbeda-beda pula di setiap waktu dan tempat. Perubahan
ini dianggap mempersempit ruang bagi hakim untuk menggali dan menemukan hukum
sehingga hakim hanyalah corong UU atau hukum tertulis belaka.
Sementara
pertimbangan MK dalam perubahan kedua terkait kata "dapat" dari
rumusan "...dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara" yang dianggap bertentangan dengan konstitusi karena rumusan ini
sering disalahgunakan oleh aparatur penegak hukum untuk bertindak
sewenang-wenang; sering menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran bagi pejabat
pengambil keputusan; serta sering terjadi kriminalisasi terhadap kebijakan
dan keputusan diskresi pejabat administrasi.
Pertimbangan
dan alasan perubahan pertama, menurut penulis, sebuah "kemunduran"
karena di dalam masyarakat kita sejak dahulu memiliki hukum tidak tertulis
yang ditaati dan dipatuhi oleh masyarakat, termasuk adat istiadat, khususnya
di daerah-daerah terpencil. Hal ini jelas mempersempit ruang hakim untuk
menentukan perbuatan melawan hukum mana yang menjadi syarat bagi seseorang
dapat dipidana. Dalam hal ini, hakim tinggal melihat apakah ada hukum
tertulis yang mengatur mengenai perbuatan pidana tersebut (asas legalitas).
Pertimbangan
dan alasan perubahan kedua, sebuah "kemajuan" (sekalipun alasannya
subyektif) karena perubahan itu memperjelas dan memperkuat aspek perlindungan
hukum dalam penegakan hukum korupsi. Dalam praktik di tingkat penyidikan dan
peradilan tipikor sering seseorang ditahan dan dihukum karena melakukan
perbuatan melawan hukum korupsi Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, sekalipun
kerugian negara riil tak terbukti.
Dari
sisi penegakan hukum korupsi, adanya perubahan kedua ini menjadikan unsur
"merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" harus
dibuktikan secara materiil dan hakim dalam membuat putusan harus
mempertimbangkan pembuktian seluruh unsur pidana dalam Pasal 2 dan 3 UU
Tipikor. Selama ini yang terjadi, apabila terbukti unsur melawan hukum dan
memperkaya diri, seseorang langsung dianggap terbukti dan dijatuhi hukuman,
sekalipun unsur kerugian negara tak ada atau tidak terbukti, cukup
"dapat diperkirakan" saja (potential loss).
Apakah
perubahan-perubahan ini menghambat upaya pencegahan dan pemberantasan
korupsi? Tergantung dari sisi mana kita melihatnya.
Kedua,
perubahan tersebut jelas mempersempit serta membatasi kewenangan penyidik dan
hakim untuk menjerat koruptor, tetapi dari sisi lain justru memperjelas dan
memperkuat perlindungan, kepastian, dan keadilan hukum bagi semua pihak.
Sekarang, tidak bisa lagi orang dihukum tanpa aturan hukum tertulis dan tanpa
bukti riil adanya kerugian negara. Orang juga tidak bisa seenaknya ditangkap
dan ditahan tanpa diproses hukum sehingga rumor penyidikan dan peradilan
sesat bisa diatasi.
Dampak
hukum dalam praktik ke depannya adalah aparatur penegak hukum harus dapat
membuktikan adanya kerugian negara yang riil sebelum melakukan penyelidikan
perkara korupsi. Yang jadi masalah bagaimana dengan perkara-perkara yang
masih dalam tahap penyelidikan dan penyidikan yang akan dan sedang ditangani?
Apabila tidak ditemukan kerugian negara, perkara-perkara tersebut segera
dihentikan. Apabila tidak dilakukan, para tersangka atau terdakwa dapat
mengajukan gugatan praperadilan atau gugatan lainnya kepada pengadilan atas
penetapannya sebagai tersangka/terdakwa dalam kasus korupsi karena tidak
adanya bukti kerugian negara yang riil.
Berpihak kepada rakyat
Terlepas
dari masalah yang menimpa institusi MK baru-baru ini, putusan-putusan MK
terkait pembaruan hukum pidana, termasuk korupsi, sekalipun menimbulkan pro
dan kontra dapat dianggap sebagai kemajuan. Sebut saja selain putusan
terhadap Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, juga terkait masalah penyadapan, rekaman,
praperadilan, dan sebagainya. Bagi pemerhati korupsi jelas dianggap
putusan-putusan MK tersebut pro koruptor, tetapi sebagian masyarakat
beranggapan putusan-putusan tersebut berpihak kepada rakyat, khususnya bagi
mereka yang tertimpa masalah hukum.
Putusan
MK bersifat erga omnes (berlaku untuk semua warga negara) sehingga putusan MK
terkait dengan hukum pidana harus memperhatikan prinsip- prinsip dalam hukum
pidana. Untuk kepastian, kemanfaatan, dan keadilan hukum, rumusan delik
pidana harus memenuhi prinsip lex
previa (tidak berlaku surut), lex certa (harus jelas), lex stricta (harus
tegas), dan lex stripta (harus tertulis) untuk menopang konsepsi negara hukum
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD
1945. Apabila prinsip-prinsip di atas tidak terpenuhi, rumusan delik pidana
demikian bertentangan dengan konstitusi kita. Rumusan delik yang tidak
memenuhi syarat-syarat di atas jelas merugikan warga negara karena tak jelas,
multitafsir, memperluas kewenangan, dan menimbulkan ketakpastian hukum.
Upaya
pemberantasan korupsi tetap harus didukung oleh semua elemen masyarakat, tapi
itu harus dilakukan dalam kerangka menegakkan hukum korupsi. Menegakkan hukum
korupsi berarti mencegah dan
memberantas korupsi dengan cara-cara yang berkeadilan, transparan, tidak tebang pilih, dan menyeluruh.
Putusan
MK yang mendorong perubahan pertama dan kedua terhadap ketentuan Pasal 2 dan
Pasal 3 UU Tipikor harus dipahami dan didukung oleh semua pihak, khususnya
institusi penegakan hukum, baik kepolisian, kejaksaan, KPK, maupun peradilan.
Harus ada kesamaan pandangan dan konsistensi untuk menjalankan putusan MK
secara benar dan konsekuen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar