Politisi,
Penegak Hukum, dan Hakim
Hendardi ;
Ketua Badan Pengurus Setara Institute
|
MEDIA
INDONESIA, 31 Januari 2017
SEORANG
hakim MK Patrialis Akbar ditangkap KPK pada 25 Januari 2017 di pusat
perbelanjaan Grand Indonesia, Jakarta, dalam sebuah operasi tangkap tangan
(OTT). Dua lokasi OTT atas tersangka lainnya di lapangan golf Rawamangun dan
di sebuah kantor perusahaan di Sunter. Seluruhnya 11 orang ditangkap dan
empat orang ditetapkan menjadi tersangka. Penangkapan itu atas dugaan suap terkait
dengan uji materiil (judicial review) UU No 41/2014 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan. Sebanyak US$20 ribu dan S$200 ribu atau senilai Rp2,15
miliar disita, berikut dokumen perusahaan, voucer penukaran mata uang asing,
serta draf putusan perkara nomor 129.
Kejadian
itu menjadi pelajaran bahwa lembaga penegak hukum dan kehakiman seharusnya
bersih dari kalangan politisi atau unsur politik. Apalagi, MK berwenang
mengadili gugatan dalam sengketa pemilu dan pilkada, selain uji materiil atas
UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Terperosok dua kali
Penangkapan
itu ialah kali kedua setelah mantan Ketua MK Akil Mochtar yang ditangkap pada
2 Oktober 2013 malam di rumahnya bersama seorang anggota DPR dan seorang
pengusaha. KPK menyita sejumlah uang dolar Singapura dan dolar AS yang
besarnya sekitar Rp2,5 miliar hingga Rp3 miliar.
Dengan
kejadian yang menimpa Patrialis itu dapat dipandang bahwa MK telah terperosok
dua kali dalam kasus suap dalam rentang 3 tahun lebih 3 bulan. Menurut Ketua
Dewan Etik MK Abdul Mukti Fajar, Patrialis ialah anggota hakim MK yang paling
sering tersandung persoalan dan mendapat teguran. Sangkaan suap ini kembali
mencoreng wibawa MK sebagai 'benteng konstitusi.'
Kedua
kasus itu memang bersifat perorangan sebagai kasus pidana. Namun, kasus ini
terkait dengan wewenang dan profesinya sebagai hakim, khususnya hakim
konstitusi. Patrialis berhubungan dengan seorang pemilik 20 perusahaan yang
mendapatkan kuota impor daging sapi. Suap yang diduga diterimanya lewat
seorang perantara bakal menguntungkan pengusaha tersebut jika uji materiil
dikabulkan.
Jika
dilihat dari dua kasus itu mempunyai garis relasi dengan pengusaha dari mana
uang suap itu berasal. Dalam kasus Akil, selain pengusaha, juga melibatkan
politisi. Pertama, Akil terbukti terlibat suap dalam proses penyelesaian
sengketa pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Kedua, sengketa pilkada
Lebak, Banten, yang diperkarakan di MK. Ketiga, terseret pula dalam kasus
pencucian uang.
Dari
tangan Akil, KPK sukses menyita harta atau aset bernilai nyaris mencapai
Rp200 miliar. Selain uang termasuk juga di rekeningnya, disita pula rumah dan
kendaraan. Sebanyak 18 mobil dan 31 motor telah disita. Pada 30 Juni 2014 di
Pengadilan Tipikor Jakarta, dia terbukti melakukan pengurusan beberapa
sengketa pilkada dan pencucian uang serta dijatuhi hukuman penjara seumur
hidup.
Sementara
Patrialis telah membantah menerima suap, tidak menerima Rp1 pun dari seorang
pengusaha-pernah diperiksa dalam kasus kuota impor daging sapi yang
melibatkan mantan Presiden PKS-yang ikut ditangkap KPK. Dia juga merasa
dizalimi sebagai korban, diperlakukan tidak adil. KPK pun sudah menggeledah
rumahnya pada 27 Januari.
Sekarang
terpulang pada KPK. Bagaimana KPK menjelaskan OTT yang dilakukan di
Pengadilan Tipikor? Apakah KPK dapat membuktikan telah terjadi perbuatan suap
atau janji menerima gratifikasi?
Cabut politisi
Seleksi
terhadap Patrialis sebagai calon hakim agung dinilai tidak transparan
berdasarkan Keppres SBY pada 29 Juli 2013. Setelah digugat, dia dikandaskan
PTUN, tetapi menang di tingkat banding. Dia pun menjabat hakim MK untuk
periode 2013-2018, menggantikan Achmad Sodiki yang pensiun. Persoalannya,
bukan karena mekanisme seleksinya saja yang tidak transparan, melainkan juga
yang tak kalah pentingnya ialah Patrialis tergolong politisi dari PAN. Dia
pernah menjabat Menteri Hukum dan HAM dalam kabinet SBY selama 2009-2011
sebelum digantikan Amir Syamsuddin dari Partai Demokrat.
Seharusnya,
setiap orang yang bergabung dalam sebuah parpol tidak boleh atau dilarang
mengikuti seleksi menjadi calon hakim dan penegak hukum, terutama menjadi
pejabat atau pimpinan kedua lembaga tersebut. Larangan ini sebaiknya
didasarkan atas UU sehingga Keppres, usulan DPR, dan MA segera mencabut
politisi dari pencalonan.
Pertama,
para politisi sudah disediakan lapangan kerjanya di pemerintahan dan parlemen
baik di pusat maupun daerah. Mereka bisa berkesempatan jadi presiden,
menteri, gubernur, bupati, wali kota, dan pejabat pemerintahan lainnya,
selain berkesempatan jadi anggota DPR/MPR, DPD, dan DPRD. Masih ada lagi
kesempatan jadi duta besar dan komisaris BUMN.
Dengan
besarnya peluang kerja atau 'mengabdi' di bidang politik itu seharusnya
politisi tidak berkarakter 'serakah' dengan menambah terkamannya terhadap
profesi atau pejabat di lembaga penegak hukum dan kehakiman. Hal ini tidak
berarti politisi yang dimaksud tidak profesional, tetapi untuk mencegah
'keserakahan'.
Kedua,
pejabat dan profesi penegak hukum dan hakim ialah mereka yang seharusnya
bersih dari kepentingan politik. Setiap penegak hukum dan hakim selalu
dituntut untuk menjalankan prinsip imparsial atau tidak memihak, independen,
dan akuntabel, terutama dalam menangani suatu kasus atau perkara karena kedua
profesi itu diharapkan bisa menggerakkan proses hukum menuju keadilan, bukan
untuk menguntungkan kepentingan suatu kelompok. Politisi yang masuk
menggeluti kedua profesi ini telah menambah satu kepentingan politik yang
dibawanya. Bukan berarti politisi tidak dapat melepaskan, tetapi bukan pula
hal gampang membersihkan dari kepentingan tersebut.
Ketiga,
sudah sering terjadi di mana politisi berbicara dan berperilaku kurang jujur
dan transparan yang mengesankan ada sesuatu yang disembunyikan. Ibarat kata
pepatah, lain di bibir lain pula di hati. Terkadang juga mencla-mencle. Suatu
hari berkomitmen, tetapi pada hari yang lain dilanggarnya.
Dengan
begitu, profesi dalam lembaga penegak hukum seperti polisi, jaksa, serta
komisioner, dan pegawai KPK harus dijauhkan dari kepentingan politik, apalagi
orang-orang yang berasal dari suatu partai. Sementara hakim ialah suatu
profesi yang mulia. Profesi ini harus bersih dari bau politik. Kita
selayaknya belajar dari berantakannya wibawa MK gara-gara ulah mantan
ketuanya, Akil Mochtar. Dalam kasus suapnya, dia juga menyeret politisi
Golkar, Chairun Nisa, yang menguatkan dugaan kaitannya dengan kepentingan
politik. Terakhir, ditambah lagi dengan kasus Patrialis.
Dari
argumen dan contoh kasus itu kiranya sudah selayaknya dipertimbangkan DPR dan
pemerintah untuk mencabut politisi dari profesi dan posisi pejabat penegak
hukum dan kehakiman agar mencegah keruwetan kepentingan mengiringi kedua
lembaga tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar