Pengorganisasian
Proses Pemilu
Ramlan Surbakti ;
Guru Besar Perbandingan Politik FISIP
Universitas Airlangga; Anggota Komisi Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia
|
KOMPAS, 15 Februari 2017
Pemilu
Indonesia memiliki empat "reputasi" internasional, yaitu menerapkan
sistem pemilu paling kompleks di dunia, pemilu paling besar di dunia yang
diselenggarakan dalam satu hari, proses rekapitulasi paling panjang di dunia
(lima tingkat untuk pemilu DPR dan DPD dan pemilu presiden dan wakil
presiden), dan Komisi Pemilihan Umum tiada duanya di dunia.
Keempat
reputasi internasional ini menimbulkan lebih banyak permasalahan bagi
integritas pemilu Indonesia. Reputasi keempat akan menjadi fokus tulisan ini.
Dari tiga
lembaga yang disebut sebagai penyelenggara pemilu di Indonesia, hanya KPU
yang memenuhi persyaratan konseptual tentang penyelenggara pemilu (electoral
management body/EMB). Dalam kajian pemilu, secara konseptual yang disebut
badan penyelenggara pemilu (EMB) adalah lembaga penyelenggara lima unsur
dasar proses penyelenggaraan pemilu, yaitu pendaftaran dan/atau pemutakhiran
dan penetapan daftar pemilih, pendaftaran dan penetapan peserta pemilu,
proses pemungutan dan penghitungan suara, proses rekapitulasi dan penetapan
hasil pemilu, dan penetapan calon terpilih.
KPU yang
menentukan kelima unsur dasar pemilu ini, sedangkan Bawaslu dan Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tak terlibat dalam penetapan kelima
proses tersebut. Fungsi pengawasan ataupun penegakan kode etik penyelenggara
pemilu dapat ditemukan di negara demokrasi lain, tetapi tidak dikategorikan,
baik sebagai lembaga permanen maupun sebagai penyelenggara pemilu.
Faktor yang
menyebabkan KPU Indonesia tak ada duanya di dunia adalah tugas dan kewenangan
yang ditanganinya. KPU terdiri atas dua unsur utama: anggota (komisioner)
yang punya kedudukan sama dan sekretariat jenderal (setjen) yang para
pegawainya bekerja secara hierarkis. Anggota biasanya dicalonkan oleh kepala
pemerintahan untuk dapat persetujuan DPR, sedangkan penjabat dan pegawai
sekretariat diangkat mengikuti hasil seleksi berdasar pendidikan dan
keahlian. Para komisioner dipilih berdasarkan kepercayaan, sedangkan para
penjabat dan pegawai setjen diangkat berdasarkan kompetensi. Karena itu, yang
memiliki profesionalisme (melaksanakan tugas dan kewenangan berdasarkan
keahlian) bukan komisioner, melainkan penjabat dan pegawai sekretariat.
Komisioner biasanya lebih senior dalam umur daripada rata-rata penjabat dan
pegawai sekretariat.
Di semua
negara demokrasi diterapkan pembagian tugas dan kewenangan antara para
komisioner dan setjen. Para anggota (komisioner) bertugas menetapkan
peraturan dan keputusan tentang pelaksanaan semua tahapan pemilu dan
kebijakan sistem pendukung berdasarkan UU, setjen bertugas melaksanakan semua
tahapan pemilu beserta sistem pendukung berdasar peraturan pelaksanaan dan
kebijakan yang ditetapkan para komisioner.
Para
komisioner terlibat penuh dalam proses pembuatan keputusan dan kebijakan
(hands-on), tetapi tak terlibat dalam pelaksanaan teknis (hands-off). Karena
itu, para komisioner tak perlu ke kantor setiap hari. Para penjabat dan
pegawai Setjen KPU terlibat secara penuh dalam implementasi setiap tahapan
dan non-tahapan (hands-on), tetapi hanya memberikan masukan kepada para komisioner
dalam hal rancangan peraturan dan kebijakan.
Setjen
bertugas memberikan masukan (termasuk mengusulkan draf rencana peraturan dan
rencana kebijakan) kepada rapat pleno anggota KPU, tetapi para anggota tak
wajib mengikuti usulan setjen. Para anggota/komisioner mengawasi setjen dalam
melaksanakan tugasnya dan meminta pertanggungjawaban setjen atas pelaksanaan
tugasnya.
Tugas dan kewenangan pemilu
Pembagian
tugas dan kewenangan seperti ini tak terjadi pada KPU. UU Nomor 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilu menjabarkan tugas dan kewenangan KPU dalam
pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD, pemilu presiden dan wakil presiden, dan
pemilihan gubernur, bupati dan wali kota. Untuk mendukung kelancaran tugas
dan wewenang KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, dibentuk sekretariat
jenderal KPU, sekretariat KPU provinsi, dan sekretariat KPU kabupaten/kota.
Dalam Pasal 66
UU No 15/2011, setjen KPU bertugas: (a) membantu penyusunan program dan
anggaran pemilu, (b) memberikan dukungan teknis administratif, (c) membantu
pelaksanaan tugas KPU dalam menyelenggarakan pemilu, (d) membantu perumusan
dan penyusunan rancangan peraturan dan keputusan KPU, (e) memberikan bantuan
hukum dan memfasilitasi penyelesaian sengketa pemilu; (f) membantu penyusunan
laporan penyelenggaraan kegiatan dan pertanggungjawaban KPU, (g) membantu
pelaksanaan tugas lain sesuai peraturan perundang-undangan.
Selain itu,
setjen KPU berwenang: (a) mengadakan dan mendistribusikan perlengkapan
penyelenggaraan pemilu berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kebutuhan
yang ditetapkan KPU, (b) mengadakan perlengkapan penyelenggaraan pemilu
sebagaimana dimaksud pada huruf a sesuai peraturan perundang-undangan, (c)
mengangkat tenaga pakar/ahli berdasarkan kebutuhan atas persetujuan KPU; dan
(d) memberikan layanan administrasi, ketatausahaan, dan kepegawaian sesuai
peraturan perundang-undangan.
Setjen KPU
berkewajiban: (?a) menyusun laporan pertanggungjawaban keuangan, (b)
memelihara arsip dan dokumen pemilu, dan (?c) mengelola barang inventaris
KPU. Setjen KPU bertanggung jawab dalam hal administrasi keuangan serta
pengadaan barang dan jasa berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Kesimpulan dari pola pengorganisasian proses penyelenggaraan pemilu di
Indonesia: pertama, dalam KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota terdapat
dua institusi, yaitu KPU/KPU provinsi/KPU kabupaten-kota, dan
setjen/sekretariat KPU provinsi/sekretariat KPU kabupaten/kota. Yang dimaksud
KPU/KPU provinsi/KPU kabupaten/kota adalah para anggota (komisioner), sedangkan
setjen merujuk pada para pegawai setjen KPU/sekretariat KPU
provinsi/sekretariat KPU kabupaten/kota.
Dualisme ini
semakin dipertegas dalam Pasal 5 yang menetapkan KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota bersifat hierarkis dan Pasal 56 yang menyatakan setjen KPU,
sekretariat KPU provinsi, dan sekretariat KPU kabupaten/kota bersifat
hierarkis. Ini berarti anggota KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota berada di
bawah anggota KPU, sedangkan pegawai setjen KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota berada di bawah setjen KPU.
Kedua, anggota
KPU tak hanya bertugas membuat peraturan dan keputusan tentang pelaksanaan
tahapan, dan kebijakan tentang sistem pendukung pelaksanaan tahapan pemilu,
tetapi juga melaksanakan setiap tahapan dan non-tahapan proses penyelenggaraan
pemilu secara teknis operasional. Para anggota KPU tak hanya hands-on dalam
pembuatan peraturan, keputusan dan kebijakan, tetapi juga hands-on dalam
pelaksanaan operasional setiap tahapan dan non-tahapan pemilu. Lima dari
tujuh tugas setjen KPU dalam Pasal 66 hanya membantu (huruf a, huruf c, huruf
d, huruf f dan huruf g) sebagaimana dikemukakan di atas.
Yang disebut
secara tegas menjadi tanggung jawab setjen KPU adalah penyusunan dan
pertanggungjawaban anggaran serta pengadaan dan distribusi alat kelengkapan
pemungutan dan penghitungan suara. Pembagian tugas dan kewenangan seperti ini
tak hanya memberikan beban yang sangat besar bagi para anggota KPU, tetapi
juga tak memberikan tanggung jawab yang memadai bagi setjen.
Pegawai di
lingkungan setjen KPU sampai kapan pun tak akan pernah menjadi profesional di
bidang tata kelola pemilu karena dua alasan: (a) setjen tak bertanggung jawab
dalam pelaksanaan semua tahapan dan program penyelenggaraan pemilu (yang
justru jadi core business KPU) serta (b) pendidikan dan pelatihan bagi
pegawai KPU dalam bidang tata kelola pemilu tak ada gunanya karena keahlian
yang diperoleh selama pendidikan tak dapat didayagunakan dalam pelaksanaan
pekerjaan. Profesionalisme tak bisa diharapkan dari anggota KPU tak hanya
karena mereka tak terdidik dan terlatih dalam tata kelola pemilu, tetapi juga
karena mereka hanya sementara di KPU.
Pembagian
kerja kian tak jelas pada KPU provinsi, terutama KPU kabupaten/kota.
Pembagian kerja antara para anggota dengan sekretariat bukan berdasarkan
kedudukan yang berbeda di antara keduanya seperti rapat pleno anggota
menetapkan daftar pemilih tetap, sedangkan sekretariat melakukan pemutakhiran
daftar pemilih di kalangan pemilih. Yang terjadi dalam praktik hanya beda
pekerjaan. Anggota menangani pendaftaran, penelitian dan penetapan parpol
peserta pemilu. Pegawai sekretariat menangani pendaftaran, penelitian, dan
penetapan peserta pemilu perseorangan.
Bentuk pengorganisasian
Pembagian
kerja seperti yang terakhir ini tak hanya lemah dari segi kedudukan, tetapi
juga lemah dalam kualitas hasil pekerjaan karena tak ada kontrol. Apabila
pelaksanaan operasional menjadi tugas pegawai sekretariat dan pengambilan
keputusan tanggung jawab rapat pleno anggota, rapat pleno anggota memiliki
kesempatan membaca dan menilai rancangan yang diajukan sekretariat sehingga
kekeliruan (jika ada) dapat dicegah.
Pengorganisasian
seperti apa yang paling sesuai dengan tugas dan kewenangan KPU? Tugas utama
KPU menyelenggarakan pemilu lima tahun sekali berdasarkan asas-asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Kesetaraan setiap warga negara,
khususnya yang telah berhak memilih, harus dijamin dalam pemilu. Demi
stabilitas dan legitimasi pemerintahan, dimensi waktu sangat penting dalam
proses penyelenggaraan pemilu tak hanya karena tahapan pemilu bersifat
sikuen, tetapi terutama karena penyelenggara negara hasil pemilu harus sudah
ditetapkan KPU sebelum masa jabatan petahana berakhir.
Model
pengorganisasian pemilu tak boleh disamakan dengan model pengorganisasian kementerian
atau lembaga pemerintah non-kementerian karena karakter tugasnya berbeda.
Apabila anggaran suatu program kementerian ternyata tak cukup membiayai
seluruh daerah, pelaksanaan program di daerah yang lain dapat ditunda untuk
tahun anggaran berikutnya. Akan tetapi, jika anggaran untuk pemutakhiran
daftar pemilih ternyata tidak cukup untuk semua daerah, KPU tidak bisa
menunda hak pilih para pemilih di daerah yang belum selesai dimutakhirkan
untuk tahun anggaran berikutnya.
Model yang
tepat untuk pengorganisasian pemilu adalah model sebagaimana diterapkan KPK.
Sebagaimana diketahui struktur organisasi KPK adalah lima unsur pimpinan
(ketua dan empat wakil ketua) dan empat deputi (pencegahan, penindakan,
informasi dan data, dan pengawasan internal dan pengaduan masyarakat) dan
seorang sekjen (administrasi dan keuangan). Baik sekjen maupun para deputi
langsung di bawah pengarahan dan pengendalian pimpinan KPK. Sekjen bukan
atasan para deputi. Apabila mengikuti model ini struktur organisasi KPU
terdiri atas tujuh anggota (termasuk ketua) dan setjen yang terdiri dari
seorang sekjen, dua deputi, dan seorang inspektur jenderal.
Model ini
menempatkan ketua dan anggota KPU tak hanya sebagai pembuat peraturan dan
keputusan tentang pelaksanaan tahapan pemilu dan pembuat kebijakan tentang
non-tahapan pemilu, tetapi juga sebagai pengarah dan pengendali sekjen
(administrasi dan keuangan), dua deputi (operasional pemilu, dan pendidikan
dan pelatihan, dan penelitian dan pengembangan), dan inspektur jenderal dalam
melaksanakan tugasnya. Sekjen KPU bukan atasan para deputi dan inspektur
jenderal karena semua penjabat ini berada di bawah pengarahan dan
pengendalian ketua dan anggota KPU.
Model
pengorganisasian yang hierarkis seperti ini sangat tepat karena KPU harus mengarahkan
dan mengendalikan 34 KPU provinsi, 514 kabupaten/kota, lebih dari 7.000 PPK,
lebih dari 81.000 PPS, dan lebih dari 545.000 TPS menjelang, selama dan
setelah pemilu. Model ini lebih efisien jika jumlah anggota KPU dikurangi
jadi lima orang (termasuk ketua). Model pengorganisasian pemilu seperti ini
jauh lebih efektif dan efisien jika penyelenggaraan pemilu nasional (DPR,
DPD, dan presiden/wakil presiden) dipisah selang waktu 30 bulan dari pemilu
lokal (DPRD dan kepala/wakil kepala daerah). Untuk mempercepat proses
pembentukannya, struktur organisasi dan model pengorganisasian pemilu seperti
ini hendaknya diatur dalam UU tentang Penyelenggaraan Pemilu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar