Pelangi
Indonesia
Yudi Latif ;
Anggota
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 21 Februari 2017
Di dalam agama cinta (rahman-rahim), kebenaran dan
keadilan tak mengenal penganut dan bukan penganut. Cinta memeluk semuanya.
Warga bangsa boleh berbeda keyakinan, tetapi cinta menyatukannya. Kekuatan
mencintai dengan melampaui perbedaan inilah yang melahirkan pelangi Indonesia
yang indah. Dengan ini, pemilihan kepala daerah secara serentak berlalu
dengan relatif damai, menyisakan Pilkada DKI Jakarta di pusat pertaruhan.
Di 101 daerah yang menyelenggarakan pilkada, orang dengan
berbagai latar agama bisa dipilih serta memilih tanpa diskriminasi dan
intimidasi. Di sejumlah tempat, bahkan partai Islam, seperti Partai Keadilan
Sejahtera, bisa mengusung calon kepala daerah yang agamanya bukan Islam.
Situasi ini menggambarkan determinasi peradaban cinta yang terpatri pada jati
diri bangsa. Di sekujur tubuh kebangsaan, titik rawan daya cinta ini justru
terletak di ibu kota negara. Di Jakarta, daya pompa jantung politik dalam
mengalirkan darah cinta mengalami pelemahan, terdesak penguatan aliran daya
benci.
Kehilangan daya cinta di ibu kota negara bisa menjadi
pangkal kehilangan Indonesia. Harmoni dalam kemajemukan adalah kode genetik
bangsa ini. Dengan kemerosotan daya cinta, Indonesia akan mengalami kerusakan
gen. Berbilang bangsa dalam zona keseragaman terguncang menghadapi
globalisasi keragaman. Bahkan, bangsa maju kembali mengeja multikulturalisme
secara tergagap. Tak sedikit gagal, berujung populisme dengan supremasi
tribalisme anti asing, anti perbedaan. Beruntung, Indonesia banyak makan asam
garam. Sebelum merdeka, para pemuda lintas etnis dan agama menemukan penyebut
bersama dalam keragaman.
Modal sosial terpenting bangsa ini terlalu berharga untuk
dikorbankan demi ambisi politik jangka pendek. Dalam pedih pertikaian, warga
disadarkan arti penting merawat persatuan dalam perbedaan dengan berbagi
kesejahteraan. Kegelapan menyediakan kunang-kunang penuntun perjalanan
bangsa, memberi mata hati kesempatan berpendar di tengah kekelaman.
Dalam napak tilas refleksi diri bisa dikenali hidup
religius dengan kerelaan menerima keragaman telah diterima sebagai kewajaran
oleh penduduk kepulauan ini. Sejak zaman Majapahit, doktrin agama sipil untuk
mensenyawakan keragaman ekspresi keagamaan telah diformulasikan oleh Mpu
Tantular dalam Sutasoma, Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa
berbeda-beda tetapi satu, tiada kebenaran yang mendua.
Islam Indonesia sendiri, yang sejauh ini dianut oleh
sebagian besar penduduk kendatipun-seperti agama-agama lainnya-tak luput dari
sejarah kekerasan dalam sapuan besarnya didominasi warna kedamaian dan
toleransi yang kuat. Meski doktrin dan mazhab radikal memang selalu ada,
pengaruhnya relatif terbatas dan dilunakkan oleh ragam ekspresi komunitas
Islam.
Secara historis, penyebaran Islam di Tanah Air umumnya
secara damai dan berjejak pada fondasi kehidupan masyarakat multikultur yang
toleran. Menurut antropolog ternama Clifford Geertz, etos klasik Islam
Nusantara bersifat menyerap, adaptif, gradualistik, este- tik, dan toleran.
Selain keragaman agama secara eksternal, keragaman internal dalam Islam
Nusantara menyulitkan penjelmaan Islam secara tunggal. Dengan kondisi seperti
itu, terbuka lebar kemungkinan melampaui perbedaan religio-kultural,
memperlunak perbedaan, dan menjadikannya pada batas toleransi yang memberi
prakondisi bagi kesiapan bekerja sama lintas kultural.
Tanah Air Indonesia merupakan ladang persemaian yang cocok
bagi rekonstruksi serta reaktualisasi nilai-nilai demokrasi dan toleransi
Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW di negara-kota Madinah. Madinah
adalah sebuah entitas politik berdasarkan konsepsi negara-bangsa
(nation-state), yaitu negara untuk seluruh umat atau warga negara demi
maslahat bersama. Sebagaimana termuat dalam Piagam Madinah, negara- bangsa
didirikan atas dasar penyatuan seluruh kekuatan masyarakat menjadi bangsa
yang satu (ummatan wahidah) tanpa membedakan kelompok keagamaan dan kesukuan.
Moral publik Madinah yang dibina Nabi Muhammad SAW itu
sesungguhnya bersumber dari akar teologisnya. Inti dari keyakinan Islam
adalah pengakuan pada Ketuhanan Yang Maha Esa (tauhid, monoteisme). Dalam
keyakinan ini, hanya Tuhan satu-satunya wujud yang pasti. Konsekuensi
logisnya adalah paham persamaan (kesederajatan) manusia di hadapan Tuhan,
yang melarang perendahan martabat dan pemaksaan kehendak/pandangan
antarsesama manusia. Dengan prinsip demikian, setiap manusia dimuliakan
kehidupan, kehormatan, hak-hak, dan kebebasannya yang dengan kebebasan itu
manusia menjadi makhluk moral yang harus bertanggung jawab atas
pilihan-pilihannya. Dengan prinsip persamaan, manusia didorong menjadi
makhluk sosial yang menjalin kerja sama dan persaudaraan untuk mengatasi
kesenjangan dan meningkatkan mutu kehidupan bersama (Madjid, 1992: 4).
Pancasila dapat dikatakan merupakan penjelmaan kontemporer
dari Piagam Madinah. Sebuah titik temu moral publik yang bersifat inklusif
yang mempertautkan segala perbedaan dengan semangat gotong-royong
berlandaskan cinta (rahmatan lilalamin). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar