Nasionalisme
ala Donald Trump
Ali Maksum ;
Dosen Jurusan Hubungan Internasional
Universitas Muhammadiyah,
Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 18
Februari 2017
Sebagaimana
janji kampanye, setelah terpilih sebagai presiden Amerika Serikat (AS) ke-45,
Donald Trump langsung melakukan berbagai ”gebrakan” sebagai wujud realisasi
janjinya. Ada dua kebijakan yang sangat menjadi sorotan, yaitu keimigrasian
terhadap sejumlah negara ”Islam” dan langkah mengejutkan AS dengan keluar
dari pakta perdagangan yang digagasnya sendiri yaitu Trans-Pacific
Partnership (TPP).
Jika
ditelusuri ke belakang khususnya ketika masa-masa kampanye Pilpres AS, Donald
Trump terus-menerus mendapat serangan dari lawan politiknya yaitu kubu
Hillary Clinton. Tidak tanggung-tanggung, hampir semua media utama
(mainstream) AS cenderung mendukung istri Bill Clinton tersebut dan
memojokkan Trump.
Tentu saja
serangan-serangan tersebut terkait dengan gagasan-gagasan ”kontroversial”
Trump yang dinilai bisa memicu ”ketegangan” khususnya dengan dunia Islam.
Antara lain ide Trump dalam kampanyenya adalah isu pelarangan orang Islam
masuk ke AS. Akibatnya, Trump mendapat kecaman habis-habisan terutama dari kalangan
Islam, baik di AS maupun di level internasional.
Tentu saja,
Hillary Clinton mengaminkan kecaman sangat menguntungkannya, khususnya dari
kalangan Islam di AS tersebut. Bahkan dalam cuitan di akun Twitter-nya,
Hillary sampai memosting status ”Can a Muslim be President of the United
States of America? In a word: Yes. Now let”Can a Muslim be President of the
United States of America? In a word: Yes. Now lets move on.” Cuitan Hillary
tentu bermaksud untuk menunjukkan bahwa kubunya tidak ”anti-Islam” sebagaimana
Trump.
Secara nalar,
jelas cuitan Hillary juga sangat sulit terealisasi ide tersebut dan bertolak
belakang dari mitos yang selama ini diyakini dalam budaya politik AS. Mitos
tersebut adalah bahwa presiden AS tidak akan keluar dari WASP (White-Anglo
Saxon-Protestant). Bahkan dalam pilpres tersebut, sebenarnya Hillary juga
sedang berjuang keras memecahkan mitos tersebut di mana belum pernah ada
presiden AS yang berjenis kelamin perempuan.
Takdir
sejarah, di tengah berbagai sorotan dan kontroversi Trump, akhirnya unggul
atas Hillary. Artinya, kontroversi yang selama ini berkembang tampaknya harus
diteliti kembali apakah memang kontroversial atau hanya ”perang media”
semata-mata.
Sangat tidak
masuk akal jika masyarakat AS yang rasional, mampu membuat keputusan sulit
dengan memilih seorang kandidat yang mengusung ideide kontroversial di bawah
slogan ”Make America Great Again.” Artinya, pasti ada gagasan-gagasan menarik
hingga ide tersebut diterima meskipun berlawanan dengan arus dan media yang
berkembang.
Lalu, apakah
yang menyebabkan berubahnya kebijakan pemerintah AS setelah terpilihnya
Trump, termasuk dampaknya terhadap stabilitas sosial dan ekonomi dalam Negeri
Paman Sam tersebut?
Pertama, secara
ekonomi, AS mengalami sebuah era yang sangat menantang di tengah munculnya
China sebagai kekuatan ekonomi baru. Artinya, elemen masyarakat bawah yang
terdampak langsung tentu sangat menginginkan adanya terobosan-terobosan agar
beban semakin berkurang. Misalnya tingginya angka pengangguran dan biaya kesehatan
adalah di antara isu yang menjadi perhatian Trump.
Kedua, secara
keamanan, AS juga sedang menghadapi berbagai masalah seiring dengan
meningkatnya tindak kejahatan dan aksi teror yang dilakukan warganya sendiri.
Tidak dimungkiri sebagian terdakwa pelaku teror merupakan warga keturunan dan
beragama Islam. Terlebih lagi, dunia juga sedang menghadapi ancaman kelompok
negara Islam (ISIS) yang sangat merepotkan termasuk sektor dalam negeri AS,
meskipun berbagai analisis juga menunjukkan bahwa AS diduga ikut bermain
dalam isu tersebut.
Ketiga, AS
ternyata kembali sadar bahwa kedua masalah di atas tidak lain adalah dampak
dari paraglobalisasi yang merupakan kebijakan luar negerinya sendiri.
Globalisasi misalnya secara langsung berdampak pada derasnya arus masuknya
imigran dan tenaga kerja asing ke AS.
Dampaknya
tentu saja semakin banyak warga AS menganggur dan terpinggirkan oleh pekerja
asing akibat liberalisasi pasar yang sangat tidak terkontrol, karena pihak
korporasi tentu dengan segala kalkulasi ekonominya akan memilih ”menggaji”
buruh migran yang murah meskipun berakibat semakin tingginya angka
pengangguran warga lokal.
Begitu juga
dengan tingginya angka pendatang asing dari berbagai negara untuk ”mengadu
nasib” di AS adalah akibat dari globalisasi yang mengakibatkan bebasnya
pergerakan barang-jasa lintas batas tanpa sekat-sekat negara
(trans-national). Arus barang dan jasa menjadi liar tidak terkontrol.
Akibatnya ada
implikasi negatif, termasuk meningkatnya aksi teror. Meskipun tidak dapat
dimungkiri bahwa kepemilikan senjata api di AS menjadi salah satu faktor
penting di balik beberapa peristiwa penembakan. Kedua masalah dalam negeri AS
tersebut tentunya menjadi perhatian serius bagi Trump, sehingga keluarlah
keputusan mengejutkan itu, AS keluar dari pakta perdagangan TPP.
Dengan sendirinya,
sebagaimana pernyataan pemerintah Kanada, tanpa kehadiran AS, TPP gagal
dilaksanakan. Dengan demikian jelas, AS telah ”keluar jalur” globalisasi
dengan mengusung ekonomi liberal yang selama ini diagung-agungkan. AS melalui
Trump ingin memproteksi warganya, ingin rakyatnya semakin sejahtera, serta
mengikis habis angka pengangguran, termasuk melindungi produk dan produsen
dalam negerinya yang sedang meredup akibat serbuan ”produk-produk murah” dan
”konglomerat” asal China.
Meminjam
istilah mantan Menteri Keuangan Indonesia Fuad Bawazier, dunia sedang menuju
”deglobalisasi.” Artinya, ada semacam kebangkitan ”nasionalisme” AS pasca
Trump terpilih. Slogan ”Make America Great Again” tampaknya diterjemahkan
dalam kebijakan tersebut.
Adanya reaksi
dari berbagai kalangan termasuk dunia internasional yang menyatakan bahwa
kebijakan Trump cenderung ”rasialis” harus ditinjau kembali. Pasalnya, ide
tersebut seiring dengan ”De- Globalisasi” justru bermanfaat bagi
negara-negara yang menginginkan ”kemandirian bangsa”, termasuk Indonesia.
Menjadi
paradoks apabila kita mengatakan swasembada pangan, tetapi justru petani
lokal menjerit akibat berbagai masalah klasik. Berteriak mengurangi
pengangguran, tetapi pekerja asing masuk begitu masif. Mungkin, bisa meniru
Jepang yang berpikir jangka panjang (long term). Mereka mau membeli beras
lokal walaupun jelas lebih mahal dari beras impor.
Logikanya
sederhana, dengan mengandalkan produk lokal mereka akan tetap ”hidup” tanpa
harus takut diembargo dan bergantung pada negara mana pun. Hal ini mungkin
menyadarkan Trump bahwa liberalisasi pasar justru merusak tatanan kehidupan
sosial-ekonominya dan akhirnya memutuskan keluar dari TTP, keluar dari
”ikatan-ikatan global” yang cenderung merugikan.
Pepatah Jawa
mengatakan ”Penakerasepiro, loronengaruoro” (enaknya sebentar, sengsaranya
berpanjangan). Mungkin masyarakat sudah menikmati harga beberapa komoditi
yang sangat murah, namun perlu diingat bahwa suatu saat akan tergantung dan
mungkin ”diatur” oleh negara tertentu.
Begitu juga
serbuan pekerja asing dan arus imigrasi, lambat laun akan mengganggu
stabilitas politik dan keamanan Indonesia. Semoga bangsa Indonesia mau
berpikir jauh ke depan (longterm), bukan hanya sesaat (short-term). Amin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar