Mengasah
Nalar di Era Digital
Fadly Rahman ;
Sejarawan;
Alumnus Pascasarjana Sejarah UGM
|
KOMPAS, 21 Februari 2017
Pada sebuah kesempatan, sejarawan kondang Italia, Carlo
Ginzburg, diwawancara oleh wartawan Ana Prieto dari harian Clarin, Argentina,
perihal persoalan sumber-sumber pemberitaan (mana fakta mana hoaks) yang kini
tengah jadi permasalahan global.
Dari wawancara yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
oleh David Broder dan diterbitkan oleh versobooks.com itu, pernyataan Ginzburg
dapat pula disiratkan bahwa tingginya hasrat dan kebutuhan manusia saat ini
terhadap internet telah menggiring banyak dari mereka menuju ke arah
kebodohan kolektif.
Melek aksara tumpul nalar
Ginzburg berujar bahwa pada satu sisi, mesin pencari di internet
ibarat "sarjana idiot" (idiot savant). Dikatakan begitu karena
materi apa pun-sekalipun hoaks, teror, dan kebencian-dapat masuk di dalamnya.
Apalagi, kini, pada era manusia bernafsu untuk menjaring klik, like, comment,
dan share sebanyak-banyaknya demi dan atas nama popularitas dan uang, maka
bagi mereka yang sudi melacurkan kehormatan dan akal sehatnya, praktik hoaks,
teror, dan ujaran kebencian pun menjadi dapat "dihalalkan".
Jika pelaku hoaks dan ujaran kebencian adalah public
figure yang memiliki banyak massa atau follower setia, maka ini akan menjadi
lebih mengkhawatirkan. Mengapa? Sebab, kebanyakan massa dan pengikut ini
tidak menyadari atau taklid terhadap segala kebohongan dan fitnah yang
dicetuskan oleh figur yang mereka hormati, panuti, dan kagumi. Pokoknya,
segala ucapan dan laku sang figur adalah mutlak benar tanpa perlu disanggah,
dibantah, dan dikritik.
Apa yang sebenarnya menyebabkan masyarakat mudah dibuai
bual dan fitnah serta terhasut kebencian tanpa menyadari konsekuensi dari itu
semua bagi dirinya dan orang lain? Tak bisa dimungkiri, kian pesatnya
kebergantungan terhadap internet membuat manusia lalai lalu amin begitu saja
terhadap seliweran informasi tanpa mempertanyakan kesahihannya adalah faktor
yang menjadi sebab tumbuh suburnya fanatisme buta.
Bahkan, adagium kemelekanaksara atau perintah iqra,
membaca, sebagai pembebas manusia dari kebodohan pun kini seakan hanya
pepesan kosong. Dengan semakin banyaknya jumlah angka melek aksara, justru
membuat manusia berpeluang terperangkap kebodohan. Apalagi, dengan semakin
banyak membaca bahan-bahan bacaan yang tidak jelas sumber dan landasan
penulisannya, bisa membuat nalar pembaca jadi menumpul.
Pada era serba digital, manusia memang kian instan dalam
aktivitas berpikir. Mengetik kata-kata di layar gawai-yang disemat
"pintar" itu-kini terus menggusur tradisi menulis di kertas. Siapa
pun merasa bisa eksis berkata-kata di media sosial, bahkan sekalipun
kata-kata penuh celaan dan fitnah bisa digandrungi oleh ratusan, ribuan, hingga
jutaan pembacanya.
Menulis dan membaca akhirnya kini tak seluruhnya merupakan
aktivitas kontemplatif. Sebagaimana dipikirkan Dennis Baron dalam tulisannya
From Pencils to Pixels: the Stages of Literacy Technology (2000),
digitalisasi literasi sesungguhnya telah memutus kesabaran manusia dalam
berpikir melalui aktivitas menulis dan membaca.
Jutaan kata memang menghambur setiap detiknya di media
sosial. Namun, banyak kata yang terhambur sia-sia begitu saja. Baron lantas
membandingkan literasi era piksel sebagai teknologi literasi mutakhir dengan
era pensil sebagai teknologi literasi klasik. Pada masa kini, pensil sepintas
peranti sederhana untuk menulis. Akan tetapi, kisah filsuf Henri David
Thoreau (1817-1862) yang dihadirkan Baron dapat menjadi inspirasi pada era
internet ini.
Dalam karya terkemukanya Walden; or, Life in the Woods (1854), Thoreau mengemukakan kegelisahannya
ketika telegraf elektrik pertama ditemukan Baron Schilling, 1832. Saat itu
tradisi masyarakat berkorespondensi dengan jalan menulis sedikit tergeserkan
oleh praktik mengirim pesan dengan menggunakan morse sebagai kode komunikasi.
Melihat fenomena ini, Thoreau menyikapi inovasi telegraf ini sebagai
"kemayaan tak berguna" (worthless
illusions) seraya berkata, "They
are but improved means to an unimproved end" (peranti ini ada,
tetapi kegunaannya pada akhirnya tak berguna)."
Thoreau bukan berarti sinis atau menolak pada modernitas.
Akan tetapi, ia merasa cemas modernisasi informasi dan komunikasi akan
membuat masyarakat ingin menjadi serba instan dan gegas dalam berkabar dan
mengomunikasikan kata-kata. Padahal, diseminasi kata-kata dalam tradisi
penulis seperti Thoreau butuh kesabaran dan refleksi sunyi. Ketelatenan
memilih diksi, mengatur tanda baca, panjang pendek kalimat hingga menyunting
tulisan adalah serangkaian proses yang dicemaskan Thoreau akan terputus
akibat tak tahan mengelola godaan inovasi teknologi komunikasi dan informasi.
Asah nalar
Kekhawatiran Thoreau kini menjadi kenyataan. Banyak orang
bernafsu eksis berkata-kata di media sosial untuk sekadar berceloteh,
berkabar bohong, mencaci maki, memfitnah, dan menghasut kebencian. Mulai dari
yang awam, pelajar, guru, dosen, politisi, pejabat pemerintahan, hingga istri
dan anak petinggi negara bisa mengumbar itu semua. Namun, sungguh, banyak
dari mereka yang sebenarnya tak menyadari bahwa mereka sedang tidak menulis;
apalagi jika yang bersangkutan tak paham bagaimana memilih diksi, menggunakan
tanda baca, menyunting, dan kaidah-kaidah menulis yang harus dipatuhinya.
Maka, tentu, jika mendapati ciri-ciri seperti di atas,
langkah paling sederhana yang mesti dilakukan untuk menihilkan eksistensi
para peceloteh dan pengabar bohong adalah dengan mengabaikan untuk tak
membaca serius apalagi membagikan kata-katanya. Dan untuk terhindar dari ancaman
penumpulan nalar sendiri di era digital, asahlah terus diri untuk terus
tertib menaati kaidah menulis yang baik dan benar sebagai sarana penajaman
nalar.
●
|
Dearest Esteems,
BalasHapusWe are Offering best Global Financial Service rendered to the general public with maximum satisfaction,maximum risk free. Do not miss this opportunity. Join the most trusted financial institution and secure a legitimate financial empowerment to add meaning to your life/business.
Contact Dr. James Eric Firm via
Email: fastloanoffer34@gmail.com
Best Regards,
Dr. James Eric.
Executive Investment
Consultant./Mediator/Facilitator