Memaknai
Ulang Unsur Kerugian Negara
Aradila Caesar Ifmaini Idris ;
Peneliti Hukum Indonesia Corruption
Watch
|
JAWA
POS, 01
Februari 2017
’’Menyatakan kata ’dapat’
dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Tindak Pidana Korupsi ……. bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.’’
KUTIPAN
tersebut merupakan penggalan amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
25/PUUXIV/2016 tanggal 25 Januari 2017. Putusan ini merupakan penafsiran
terhadap pengujian kata ’’dapat’’ dalam frasa merugikan keuangan negara yang
diatur dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Tipikor.
Pemohon
beranggapan frasa ’’dapat’’ menimbulkan ketidakpastian dalam penegakan hukum
dan sering kali memunculkan penegakan hukum yang tidak adil. Dalam
praktiknya, penegak hukum dapat menjerat siapa saja dengan UU Tipikor tanpa
adanya perhitungan kerugian negara yang nyata. Hal inilah yang didalilkan
pemohon sebagai ketidakpastian, ketidakadilan, dan pelanggaran atas pasal 28G
Undang-Undang Dasar.
Secara
yuridis, implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut adalah
setiap upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi, khususnya yang
menggunakan pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 (Korupsi Kerugian Negara), sudah
harus memiliki perhitungan kerugian negara oleh BPK sebelum dilakukan
penetapan tersangka. Karena tanpa perhitungan yang riil dari auditor negara,
perbuatan yang disangkakan belum dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
korupsi.
Putusan
ini menunjukkan inkonsistensi Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan
putusan terdahulu Nomor 03/PUUIV/2006 tanggal 25 Juli 2006. Saat itu Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa frasa ’’dapat merugikan keuangan negara’’
menunjukkan bahwa tindak pidana tersebut merupakan delik formil. Adanya
tindak pidana korupsi dipandang cukup terbukti dengan terpenuhinya unsur
perbuatan yang dirumuskan dan tidak bergantung pada timbulnya akibat.
Putusan
tersebut meletakkan penafsiran yang jelas bagi penegak hukum dalam
implementasi penggunaan pasal 2 ayat (1) dan pasal 3. Di mana penegak hukum
cukup membuktikan bestanddeel delict atau inti delik dari pasal tersebut.
Penegak hukum cukup membuktikan terpenuhinya unsur melawan hukum dan unsur
menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Sedangkan unsur dapat
merugikan keuangan negara sebagai akibat hanya merupakan elemen delik.
Konstruksi
yang demikian menempatkan pembuktian kerugian keuangan negara dalam proses
ajudikasi di pengadilan. Penegak hukum tidak perlu harus menunggu keluarnya
hasil perhitungan kerugian negara yang riil oleh auditor negara sebelum
penetapan tersangka dan cukup mendalilkan keyakinan yang kuat adanya potensi
kerugian negara. Pada akhirnya dapat mendorong penegak hukum untuk menyelesaikan
perkara korupsi dengan lebih cepat dan efektif.
Interpretasi
demikian sejalan dengan konstruksi perbuatan korupsi yang dipahami sebagai
definisi umum korupsi, abuse of entrusted power for private gain atau
penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi. Pada intinya, perbuatan
pidana dalam perkara korupsi berfokus pada dua hal, yaitu sifat melawan hukum
atau penyalahgunaan jabatan dan dilakukan untuk kepentingan pribadi atau
golongan tertentu.
Meskipun
harus diakui bahwa interpretasi dan praktik penegakan hukum selama ini telah
mengaburkan arti dan pemahaman yang sebenarnya dari pembentuk undang-undang
terdahulu terhadap pasal 2 ayat (1) dan pasal 3. Dan justru menempatkan unsur
kerugian negara sebagai suatu keharusan agar terpenuhinya delik sehingga
sering kali bergantung pada hasil audit kerugian negara.
Putusan
MK yang menyatakan frasa ’’dapat’’ inkonstitusional menempatkan timbulnya
akibat sebagai inti delik. Penyidik, dalam hal ini, harus membuktikan
terlebih dahulu adanya kerugian negara dalam audit BPK dibanding membuktikan
perbuatan pidananya. Hal ini mengakibatkan proses penegakan hukum menjadi
lamban karena penyidik harus menunggu keluarnya hasil audit kerugian negara.
Putusan MK tersebut justru menghambat asas speed trial atau peradilan cepat.
Apalagi
adanya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 akan membuat
penegak hukum semakin bergantung pada BPK sebagai satu-satunya lembaga yang
berwenang menghitung kerugian negara. Tentu akan membawa dampak perlambatan
dalam upaya penegakan hukum perkara korupsi.
Tercatat
ada beberapa kasus yang ditangani KPK yang masih menunggu hasil perhitungan
kerugian negara. Salah satunya perkara korupsi pengadaan quay container crane
(QCC) yang hingga hari ini masih menunggu hasil perhitungan kerugian negara
oleh BPK. Padahal, KPK melakukan penetapan tersangka sejak 18 Desember 2015.
Ke depan, banyak perkara yang lama penanganannya seperti perkara korupsi
pengadaan QCC sebagai akibat dari putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016. Namun,
perbedaannya, penetapan tersangka dilakukan di akhir setelah ada perhitungan
kerugian negara.
Hal
semacam ini tentu mengganggu efektivitas penanganan perkara karena penegak
hukum harus menunggu waktu yang cukup lama sebelum dapat melakukan penetapan
tersangka. Ini juga menimbulkan celah lain, di mana pelaku justru dapat
terlebih dahulu menghilangkan barang bukti perkara korupsi yang sedang
disidik sebelum ditetapkan sebagai tersangka.
Selain
berdampak pada penanganan perkara korupsi ke depan, putusan ini akan sangat
berdampak pada perkara korupsi yang sedang ditangani penegak hukum. Dengan
lahirnya putusan ini, akan muncul gelombang praperadilan atas penetapan yang
dianggap tidak sah dengan dalil belum ada kepastian hasil perhitungan
kerugian negara. Hal ini akan semakin membebani kerja penegak hukum dan
kontraproduktif dengan upaya pemberantasan korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar