Makna
’’Kemenangan’’ Ahok
M. Zainuddin ;
Dosen
Sosiologi Agama UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
|
JAWA
POS, 17
Februari 2017
HASIL quick
count sejumlah lembaga survei terhadap hasil pilkada DKI Jakarta menempatkan
Ahok-Djarot dalam posisi tertinggi (Jawa Pos, 16/2). Kemenangan Ahok menjadi
pertanyaan besar, khususnya dari umat Islam. Mengapa dia unggul melebihi
pasangan calon lainnya? Maklum, selain berstatus tersangka penistaan agama,
Ahok memiliki banyak lawan politik. Bagaimana membaca realitas hasil
pemilihan seperti ini? Di mana peran dan sentimen agama?
Relasi Agama dan Politik
Perdebatan
soal ’’agama dan politik’’ sudah lama terjadi. Bahkan, sejak era para sahabat
(khulafaurasyidin) dihadapkan pada
soal calon pemimpin (baca: khalifah) sepeninggal Nabi Muhammad SAW. Agama dan
politik menjadi wacana yang dipertentangkan. Munculnya Syiah dan Khawarij
tidak lepas dari persoalan tersebut.
Dalam konteks
Indonesia, tema politik Islam bergulir mencapai klimaks pada perdebatan dalam
konstituante di paro kedua dasawarsa 1950-an. Sekarang masalah ini muncul
kembali karena bangsa Indonesia sedang dihadapkan pada agenda ’’membangun
Indonesia baru’’ yang demokratis, terbuka, dan tidak otoriter sebagaimana era
Orde Baru.
Merespons
agama dan politik, ada dua arus pemikiran di kalangan umat Islam. Pertama,
menyebut ajaran Islam bersifat holistik. Islam dianggap sesuatu yang lebih
dari sekadar sebuah agama. Menurut kelompok ini, selain sebagai agama, Islam
adalah sebuah politik dan negara. Ungkapan al-Islam dinun wa daulah sangat populer di kalangan mereka.
H.A.R. Gibb sendiri, seorang orientalis kenamaan yang memiliki sejumlah karya
monumental keislaman, mengakui bahwa Islam bukan sekadar sistem teologi,
melainkan juga peradaban yang komplet (Islam
is indeed much more than a system of theology it is complete civilization).
Di sisi lain,
sebagian umat berpendapat, tak ada bukti yang jelas bahwa ajaran Islam (yang
tertuang dalam Alquran dan Assunah) mengharuskan muslim mendirikan negara
Islam. Soal pengalaman politik nabi di Madinah tidak dianggap sebagai
proklamasi negara Islam. Sebab itu, kelompok kedua ini menolak agenda politik
yang berusaha menegakkan Islam sebagai dasar negara. Kelompok ini diwakili
oleh Ali Abdurraziq, Thoha Husein, dan kawan-kawan.
Generasi baru
pemikir dan aktivis muslim juga percaya pada karakteristik Islam yang
holistik itu. Hanya, mereka menolak pendapat bahwa Islam memberikan sistem
kehidupan yang detail dan baku. Watak holistik Islam hanya meliputi
nilai-nilai moral yang berperan sebagai petunjuk umum bagi kehidupan.
Demikian pula, relasi Islam dengan negara atau sistem pemerintahan hanya
berdasar pada prinsip-prinsip etis, bukan konsep baku. Bagi mereka, persoalan
’’negara Islam’’ merupakan produk pemikiran politik sebagai counter terhadap
kolonialisme Barat (Prisma, 1995:20). Slogan ’’politik no, ekonomi yes’’
pernah mencuat di pentas kehidupan politik Indonesia pada awal Orde Baru. Di
kalangan umat Islam, slogan itu dipertajam lagi oleh Nurcholish Madjid
menjadi ’’Islam yes, partai Islam no’’.
Sekitar 25
tahun kemudian, secara formal PPP tetap memiliki basis dukungan dari umat
Islam sampai sekarang. Selain itu, Islam makin menampakkan wajah formalnya
dengan munculnya ICMI pada 1990-an dan beberapa partai yang menyatakan diri
sebagai partai Islam pada era Reformasi. Formalisasi agama ini tampak sekali
dengan fatwa sejumlah ormas Islam untuk tidak memilih parpol yang mayoritas
calegnya bukan Islam dan kekhawatiran mereka terhadap kemenangan PDIP pada
Pemilu 1999.
Secara
politik, Islam terus bergerak. Namun, warna Islam yang makin politis ternyata
juga tak luput dari tantangan internal umat yang ingin tetap menampilkan diri
di luar pentas politik nasional. Kelompok ini terlihat pada sosok Gus Dur
yang lebih senang memerankan Islam secara moral dan sosiokultural. Mereka
tidak ingin mereduksi Islam ke dalam institusi formal. Menurut Gus Dur, tidak
ada negara ideal dalam Islam. Allah merelakan Islam sebagai agama, bukan
sebagai sistem pemerintahan. Islam menjadi besar lantaran tidak menampakkan
wajah politik, melainkan mengutamakan wajah moralnya. Atau, dengan kata lain,
Islam mengutamakan politik sebagai moralitas, bukan politik sebagai institusi
(lihat Prisma, 1995:69).
Dalam setting
sosial Indonesia yang begitu cepat berubah seperti sekarang ini, kesadaran
masyarakat sudah sedemikian varian seiring dengan terbukanya kesempatan untuk
mengenyam pendidikan tinggi dan proses globalisasi. Dari aspek ini sering
kali lahir kesadaran baru terhadap persepsi kepemimpinan, yaitu dari
kepemimpinan individual menuju kepemimpinan kolektif.
Gambaran sikap
masyarakat terhadap kepatuhan kiai dan penguasa juga tidak mudah untuk
diukur. Dalam hal-hal tertentu, sebagian masyarakat memang masih memiliki
kepatuhan terhadap kiai, bahkan tanpa reserve, misalnya fatwa agama soal
memilih jodoh. Tetapi, tidak demikian dengan politik, di mana otoritas kiai
sudah mulai bergeser. Pergeseran otoritas kiai ini juga disebabkan oleh
pemahaman masyarakat yang semakin kritis dalam merespons doktrin agama.
Pudarnya
otoritas kiai ini juga disebabkan oleh keterlibatan mereka yang terlalu jauh
memasuki wilayah politik secara tidak profesional. Sampai yang disebut dengan
kiai khas pun menjadi tidak istimewa karena keterlibatan mereka ke dunia
politik yang tidak menguntungkan. Tidak sedikit pesantren yang tidak memiliki
wibawa hanya karena kiainya terlalu jauh memasuki dunia politik dan dekat
dengan penguasa.
Pengalaman di
berbagai pemilu ikut menjadi rujukan masyarakat dalam menentukan pilihan
politik. Awam memahami jika di antara mereka ada bakal calon yang sudah tidak
lagi cocok untuk dipilih, lebih baik golput.
Dalam konteks
’’kemenangan’’ Ahok di pilkada, dapat dikatakan bahwa kekuatan politik umat
Islam tidak cukup mampu membangkitkan sentimen pemilih umat Islam di DKI yang
mayoritas itu. People power aksi
bela Islam 411, 212, dan 112 yang masif dan sangat heroik itu ternyata juga
gagal memurukkan elektabiltas Ahok.
Bahkan dua
rival Ahok, AHY-Sylvi dan Anis-Sandi, sebetulnya juga pasangan populer dan di-back
up parpol. Boleh saja pamor AHY-Sylvi naik menjelang pencoblosan, namun
manuver Antasari Azhar terhadap SBY terkait dugaan rekayasa kasusnya pada H-1
pemilihan benar-benar memperpuruk AHY. Namun, alasan ini sebetulnya tidak
signifikan. Sebab, bila dibanding masalah yang dihadapi Ahok tentunya jauh complicated. Alasan yang kuat jika
menggunakan teori relasi agama dan politik sesungguhnya ada pada persoalan
performa, kinerja, dan realitas program. Ahok dianggap oleh masyarakat
pemilih DKI memiliki kinerja yang baik dan konkret.
Bagaimana
dengan sentimen agama? Ternyata faktor ini tidak memiliki signifikansi.
Sebab, masalah kepemimpinan lebih menyangkut kesejahteraan secara
keseluruhan. Bukan siapa memimpin siapa, tetapi siapa bisa menyejahterakan
siapa. Dengan demikian, jargonnya kira-kira ’’kesejahteraan yes, pemimpin
Islam no’’ atau ’’politik no, ekonomi yes’’ sebagaimana Orde Baru. Dan, warga
DKI tampaknya butuh ini, siapa pun dan dari mana pun asal-usul pemimpinnya
itu. Apakah Ahok simbol kesejahteraan? Wallahu
a’lam bis-sawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar