Lipstik
Bre Redana ;
Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS, 19 Februari 2017
Dalam diskusi buku Memo tentang Politik Tubuh di
Jakarta, Kamis (16/2) malam, seseorang bertanya bagaimana saya bisa produktif
menulis. Saya tidak tahu harus menjawab apa karena saya bukanlah orang
produktif. Sebaliknya, saya adalah orang yang lamban. Alon-alon, kata
saya. Waton kelakon, ia melanjutkan sendiri sembari tertawa.
Ya, saat kebanyakan orang menjadi serba cepat dengan
peranti digital, beberapa tahun belakangan saya malah kembali mencatat segala
hal dengan tulisan tangan. Memo tentang Politik Tubuh itu
pun sekadar sistemisasi dari catatan-catatan yang saya buat di sembarang
tempat, notes, sobekan kertas, bekas bungkus entah apa, dan lain-lain.
Catatan proses latihan olah tubuh bersama Guru Besar Persatuan Gerak Badan
Bangau Putih Gunawan Rahardja itu kemudian saya rangkai, dan jadilah Memo tadi.
Menulis tangan-sebagaimana banyak orang lain-bukanlah hal
asing bagi saya sebelum kemudian beralih ke mesin tik. Karena gerakan jari
lebih cepat di mesin tik, waktu itu perlahan-lahan saya meninggalkan
kebiasaan menulis tangan. Masuk era komputer dan kemudian dunia digital
hampir terlupakan dunia tulisan tangan.
Kecepatan dan ilusi sensorik dunia digital belakangan menyadarkan
saya, kepekaan saya terhadap sesuatu yang riil, nyata, tampaknya menjadi
berkurang. Informasi terlalu cepat, membanjiri otak, termasuk dengan hal-hal
yang tak kita butuhkan.
Realitas semu dunia digital tanpa kita sadari mengubah
kerja saraf sampai ke neuron, sampai pada taraf kita tak bisa lagi membedakan
mana real mana semu, mana benar mana bohong, mana nyata mana tidak. Moral dan
etika bergeser. Orang tak lagi bisa membedakan mana benar mana salah, mana
baik mana buruk. Yang dominan kemudian melankolisme: benci berlebihan,
simpati berlebihan, mengiba-iba tak keruan.
Oh, mengapa jadi begini wahai teman-teman..
Otak, dengan keunggulan sekaligus keterbatasannya
kehilangan keseimbangan. Ketika otak kehilangan keseimbangan hilang pula
keselarasannya dengan tubuh. Giliran berikut, hilang harmoni.
Dalam dunia bahasa, bahkan mereka yang bekerja di industri
di mana bahasa menjadi tumpuan utama banyak yang berbahasa dengan ceroboh.
Bahasa terancam kehilangan kecerdasan dikarenakan payahnya logika dan rasionalitas.
Sebabnya: otak kurang terlatih, diganti memori tiruan.
Melalui olah tubuh bersama saudara-saudara seperguruan,
kami berusaha menangkap kembali sesuatu yang nyaris hilang dilibas percepatan
dan ilusi dunia digital. Dengan kepercayaan bahwa tubuh inilah bukti paling
empiris dari keberadaan, lewat latihan terus-menerus, kami dibawa pada
paradoks gerak: yang lambat kadang bisa lebih cepat daripada yang cepat.
Kecepatan bersifat relatif. Yang penting tepat.
Dengan kelambatan, kami berupaya menyelaraskan otak dengan
tubuh, kalau mungkin dengan spirit, dengan jiwa. Pikiran dan tubuh saling
kontrol agar tidak berpikir sembarangan, bicara sembarangan, bertindak
sembarangan.
Dari tulisan tangan pula, saya menyelesaikan naskah novel
percintaan, yang saat ini desain sampul dan isinya tengah digarap desainer
buku yang biasa bekerja sama dengan saya, anak muda bernama Gamaliel
Budiharga.
Khusus untuk sampul, karena pertimbangan artistik, ia
meminta saya menulis judul dengan tulisan tangan, menampilkan sifat spontan.
Memenuhi permintaannya, saya coba mencoret secara spontan. Berkali-kali saya
lakukan, tidak pernah hasilnya memuaskan. Di mana spontanitas itu.. Saya
menyerah.
Dia terus memaksa. Coba nulis-nya dengan
lipstik, usulnya. Lipstik? Karena sifat lipstik yang lembek dan gampang
patah, saya harus hati-hati. Tekanan harus ringan dan pelan-pelan. Bagaimana
bisa spontan..
Yang mengagetkan, justru dengan kehati-hatian, muncul
spontanitas seperti diharapkannya. Saya tahu, kalau dengan lipstik, Om menjadi
sangat spontan, ucapnya tertawa. Brengsek, pikir saya.
Buru-buru saya katakan, itu lipstik istri saya. Dia tambah
tertawa terbahak-bahak. Saya katakan kepadanya, sebenarnya bukan soal
lipstik, melainkan ini paradoks gerak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar