Lingkaran
Setan Pendidikan Karakter
Hasanudin Abdurakhman ;
Cendekiawan; Penulis;
Kini menjadi seorang profesional
di perusahaan Jepang di Indonesia
|
DETIKNEWS, 13 Februari 2017
Minggu lalu
saya didatangi satu tim kecil dari Jepang yang dipimpin oleh seorang profesor
emeritus, mewakili Kementerian Pendidikan Jepang. Mereka datang untuk
melakukan survei pendahuluan, dalam rangka program bantuan pendidikan,
khususnya terkait sekolah vokasi, dari pemerintah Jepang, untuk Indonesia.
Saya dimintai pendapat dari sudut pandang pelaku industri, yang banyak
menggunakan tenaga lulusan sekolah vokasi, baik SMK maupun poiteknik.
Di sejumlah
pabrik dalam grup perusahaan kami, untuk pekerja dengan pendidikan setingkat
sekolah menengah atas, kami mempekerjakan 60-70% lulusan SMK. Secara umum
dapatlah dikatakan bahwa mereka lebih siap kerja. Keterampilan teknik yang
mereka dapat di sekolah cukup untuk menjadi modal awal mulai bekerja, atau
menerima pelatihan dari perusahaan. Tentu saja pernyataan itu disertai
catatan bahwa yang kami terima itu sudah melalui beberapa lapis proses
seleksi. Artinya, itu tidak menggambarkan situasi lulusan SMK secara
keseluruhan.
Tim kecil tadi
bertanya, kalau kita hendak meningkatkan mutu SMK dan politeknik, bagian mana
yang sebaiknya menjadi perhatian? Kemampuan teknik tentu saja masih perlu
ditingkatkan. Artinya, level keterampilannya masih harus ditingkatkan. Juga
pemerataan sebarannya. Diharapkan sebagian besar lulusan punya kualitas
sebagaimana disebutkan di atas. Di luar itu, kekurangan yang masih terasa
sangat menonjol adalah soal karakter, meliputi etos sosial dan dan etos
kerja.
Soal karakter
sebenarnya bukan hanya masalah sekolah vokasi. Ini masalah mendasar
pendidikan kita. Sekolah berfokus pada pengajaran, pada penekanan aspek
kognitif, sedangkan aspek karakternya terbengkalai. Di mana salahnya? Ini
karena masyarakat kita memang masih minim dalam hal karakter. Itu bisa kita
lihat dari semrawutnya lalu lintas, kotornya tempat-tempat umum, buruknya
kualitas pelayanan, baik di kantor pemerintah maupun swasta, serta banyak
lagi indikasi lain.
Yang sedang
terjadi adalah guru-guru dari masyarakat yang minim karakter, melakukan
proses pendidikan di sekolah. Muatan pendidikan karakter yang seharusnya
mereka sampaikan di sekolah, tidak ada dalam diri mereka. Mereka tidak punya
materinya. Ibarat orang yang tak paham perkalian, mustahil bisa mengajarka
materi itu. Guru-guru tanpa disiplin, mustahil bisa mengajarkan disiplin.
Guru yang masih suka melanggar aturan lalu lintas, mustahil mengajarkan
tertib lalu lintas.
Guru-guru itu
adalah produk pendidikan minus karakter, dari sekolah yang tidak memberi
pendidikan karakter, hidup di tengah masyarakat yang minim karakter. Kelak
murid-muridnya juga akan tumbuh menjadi anggota masyarakat minim karakter.
Begitu seterusnya, menjadi lingkaran setan.
Kita
membutuhkan sebuah gunting besar dan kokoh untuk memutus lingkaran setan ini.
Ia bisa berupa langkah besar dari pemerintah, untuk mendidik masyarakat.
Atau, sebuah perombakan mendasar dalam bidang pendidikan. Tapi itu tidak
terjadi. Usaha untuk merombak sistem pendidikan melalui perubahan kurikulum
sering kali hanya terhenti pada perubahan buku teks, beserta pelatihan untuk
guru-guru. Substansi pendidikan sendiri tidak pernah berubah. Revolusi mental
yang pernah dicanangkan Jokowi, berhenti. Sekedar menjadi jargon kampanye.
Kabar baiknya
adalah, ada sekelompok orang di tengah masyarakat kita yang peduli soal ini.
Ada sekelompok orang yang dengan suka rela, bahkan menempuh risiko, untuk
mengingatkan masyarakat soal fungsi trotoar. Ada yang menjadi relawan untuk
mengingatkan orang soal kebersihan. Masih ada banyak lagi contohnya.
Ini bukan
gunting besar yang bisa memutus lingkaran setan tadi dengan cepat. Tapi
setidaknya ini adalah bara api kecil yang memberi setitik harapan,
mengingatkan kita untuk tidak putus asa. Orang-orang yang peduli tidak boleh
berhenti menyampaikan peringatan. Yang sudah peduli tidak boleh kembali larut
dalam arus besar minim karakter tadi.
Profesor tadi
menggagas program untuk mengundang sejumlah guru SMK untuk melihat langsung
bagaimana pendidikan di sekolah-sekolah di Jepang. Saya ingatkan bahwa acara
seperti itu sudah cukup sering dilakukan, dan sering pula berujung hanya
menjadi kegiatan kunjungan wisata, dengan sejumlah foto kenangan.
Kalau masih mau dilaksanakan juga, saya anjurkan agar peserta
tidak diinapkan di hotel atau asrama, melainkan tinggal di rumah warga. Ia
dilibatkan dalam berbagai aktivitas harian, seperti membuang sampah, naik
kendaraan umum, belanja di pasar, dan sebagainya, agar bisa menghayati
pengalaman menjadi bagian masyarakat berkarakter. Tentu saja ini harus
diiringi dengan paket-paket program pembinaan karakter di sekokah-sekolah di
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar