Lapangan
Pertarungan
R William Liddle ;
Profesor Emeritus Ilmu Politik,
Ohio State University, Columbus,
Ohio, AS
|
KOMPAS, 16 Februari 2017
Kalau begitu berhentilah: urusan kita di Lapangan Pertarungan
bukan untuk bertanya, melainkan untuk membuktikan kekuatan kita. Kepada semua
penghinaan yang kau lemparkan, terima jawaban ini: tombak melayangku.
Iliad, Jilid 20
Pada awal masa
jabatannya, Presiden Donald Trump mengeluarkan sejumlah perintah eksekutif
yang mengejutkan banyak orang. Perintah yang paling kontroversial: melarang
selama tiga bulan imigrasi dari tujuh negara mayoritas Muslim, yaitu Iran,
Irak, Suriah, Yaman, Lebanon, Sudan, dan Somalia; melarang selama 120 hari
semua pengungsi dari negara apa pun; serta melarang sampai waktu yang akan
ditentukan semua pengungsi dari Suriah. Sementara ini, pelaksanaan perintah
itu ditunda oleh keputusan hakim federal, tetapi Trump berjanji naik banding.
Dari mana
asalnya kebijakan ini? Tentu Presiden Trump sendiri yang bertanggung jawab,
tetapi kita bisa melihat pengaruh kuat tiga anggota teras timnya: Letnan
Jenderal (Purn) Michael Flynn, Stephen Bannon, dan Jeffrey Sessions.
"Lapangan Pertarungan"
Field of Fight
(Lapangan Pertarungan) diterbitkan tahun lalu oleh Flynn dan sejarawan
Michael Ledeen. Selama kampanye presidensial, Flynn termasuk anggota tim
sukses Trump yang paling gigih membela calonnya. Ketika Trump dilantik bulan
lalu, ia langsung diangkat sebagai Asisten Presiden Urusan Keamanan Nasional,
dan ditugasi menciptakan strategi baru untuk menghadapi tantangan-tantangan
masa kini di bidangnya.
Apa inti
tantangan-tantangan itu? Judul Lapangan Pertarungan diambil dari Iliad, syair
kepahlawanan Yunani kuno ciptaan Homerus. Epik itu menggambarkan Perang Troya
yang melibatkan dewa dan manusia, panjang, dahsyat, dan menentukan masa depan
bangsa Yunani.
Dalam Lapangan
Pertarungan, musuh utama Amerika adalah "Islam radikal dan
sekutunya". Islam radikal sudah menggantikan fungsi kaum fasis dan Nazi
pada paruh pertama dan kaum komunis pada paruh kedua abad ke-20. Tutur Flynn:
"Musuh ini merupakan lawan hebat yang tak mungkin ditaklukkan dalam
waktu singkat. Namun, kita tahu bagaimana melakukannya sebab kita pernah
mengalahkan gerakan-gerakan massa mesianis." Lagi pula, "Syarat
pokok untuk memenangi perang apa pun adalah kesediaan dan kebulatan tekad
untuk membuat semua hal yang diperlukan untuk menang."
Flynn
merincikan empat "sasaran strategis" untuk mengalahkan kelompok
Islam radikal. Pertama, pilihan pemimpin yang tepat. Segala unsur kekuatan
nasional harus dimobilisasi di bawah kepemimpinan seorang jenderal yang
bertanggung jawab langsung kepada presiden. Kalau ia tidak berhasil, harus
dipecat dan digantikan jenderal lain.
Kedua, no safe havens, tak ada daerah
terlindung. Kita harus memaksakan para Islamis radikal untuk keluar dari
tempat persembunyiannya agar mereka bisa ditangkap atau dibunuh.
Ketiga,
pemisahan tegas antara kawan dan lawan. Bantuan semua negara dan aktor lain
yang bersikap pro-Islamis radikal harus segera berakhir, atau akan dipaksakan
berhenti oleh AS. Dalam hal ini, bukan hanya negara seperti Iran dan aktor
seperti Hezbollah yang dituding. Rusia juga disalahkan sebagai negara
"yang tidak berhasil memerangi kaum jihadi di negeri sendiri, dan juga
bersekongkol dengan Iran".
Sasaran
terakhir: perang terhadap Islamisme selaku ideologi. Mungkin perbedaan yang
paling mencolok antara sikap Trump dan pendahulunya terletak di sini. Baik
George W Bush maupun Barack Obama selalu memuji Islam sebagai agama besar dan
terhormat. Mereka berusaha keras untuk merangkul warga AS yang beragama Islam
dan menemani orang Islam di negara lain. Masalah yang kita hadapi, tegas
mereka, bukan konflik antar-peradaban, melainkan terorisme yang dilakukan
oleh kelompok-kelompok terpinggir seperti Al Qaeda dan Negara Islam di Irak
dan Suriah (NIIS).
Sebaliknya,
Flynn sedari dulu mencanangkan kebenciannya, setidaknya terhadap Islamisme
selaku ideologi. Namun, ideologi itu selalu dikaitkan erat dengan agama.
Misalnya, pada bulan Agustus 2016 ia jelaskan di CNN: "Kita sedang
menghadapi suatu 'isme' baru, Islamisme, yang merupakan kanker ganas dalam
tubuh 1,7 miliar orang di bumi ini yang harus dilenyapkan dari tubuh
itu."
Nasionalis kanan
Kalau Flynn
menitikberatkan ancaman Islamisme radikal, Stephen Bannon berobsesi dengan
sovereignty, kedaulatan nasional AS. Bannon menjabat di Gedung Putih sebagai
Asisten Presiden untuk Strategi. Ia mulai diketahui umum pada 2012 tatkala ia
memimpin laman kanan nasionalis Breitbart. Laman itu suka menyebarkan
macam-macam kebohongan yang juga diyakini Trump, misalnya bahwa dalam
Pemilihan Presiden 2016 jutaan pemilih ilegal memilih lawannya, Hillary
Clinton.
"Kelas
menengah, pekerja laki-laki dan perempuan di dunia. sudah lelah dikuasai oleh
partai Davos," keluh Bannon ketika ia berpidato di Vatikan pada 2014. Di
Davos, Swiss, ada pertemuan tahunan pejabat dan pebisnis pro-globalisasi.
Lagi pula, warga AS asli tidak bisa dapat pekerjaan di industri teknologi
tinggi sebab "jurusan teknik di universitas- universitas kita penuh
orang dari Asia Selatan dan Asia Timur".
Menurut
Bannon, keran imigrasi perlu ditutup sama sekali, baik buat pekerja terampil
maupun rendahan. Warga negara-negara Muslim memikul beban tambahan sebab AS
sedang berperang untuk menyelamatkan "Barat Yudeo-Kristen". Di
Vatikan, Bannon bersitegas bahwa "setiap hari kita menghindar dari
pengertian realitas perang ini, skala dan kejamnya, adalah hari yang nanti
kita pasti sesalkan."
Jeffrey
Sessions adalah senator pertama dari Partai Republik yang mendukung Trump.
Selama kampanye, ia tak pernah goyang, meski terungkap dalam sebuah video
bahwa Trump suka meraba alat kelamin perempuan tanpa izin. Sessions berasal
dari Alabama, daerah dengan ekonomi terbelakang dan masyarakat putih yang
punya reputasi rasis. Banyak konstituennya menganut agama Kristen
konservatif, tempat perempuan diajak untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik
ketimbang bekerja di luar.
Kini Sessions
dianggap intellectual godfather, autor intelektual, tindakan-tindakan keras
Trump. Menurut sebuah analisis berbobot di The Washington Post, ideologi
Sessions dilandasi visceral aversion, penolakan bawaan, kepada globalisme
tanpa jiwa. Persisnya: Sessions melawan keras perdagangan bebas, persekutuan
internasional, dan imigrasi orang non-putih.
Perlu
diketahui, ide-ide ini tak pernah dianut oleh mayoritas besar pemimpin Partai
Republik, termasuk Presiden Ronald Reagan, George HW Bush, dan George W Bush.
Hampir semua pemimpin Republik di Kongres kini mendukung kebebasan ekonomi
global, jaringan aliansi militer dan politik internasional yang diciptakan
secara non-partisan pasca-Perang Dunia II, serta imigrasi tanpa pembatasan
berdasarkan ras. Akan tetapi, partai mereka dicaplok tahun lalu oleh Trump,
yang mengaku banyak dibantu oleh kecakapan politik Sessions "yang
legendaris".
Apakah
kebijakan keras Trump akan dilanjutkan meski pelaksanaannya ditunda oleh
hakim federal dan dikecam keras dari berbagai jurus dalam dan luar negeri?
Jawaban Trump sendiri: "Percayalah kepada saya. Saya telah belajar
banyak selama dua minggu terakhir, dan terorisme merupakan ancaman yang jauh
lebih besar daripada pengertian umum masyarakat. Tetapi kita akan
menanganinya. Kita akan menang."
Sayangnya,
ketegasan itu dilandasi oleh ideologi nasionalis kanan yang dianut Flynn,
Bannon, dan Sessions. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar