Kontestasi
Kepemimpinan Umat
Ahmad Fuad Fanani ;
Mahasiswa S-3 di the University of
Toronto, Canada; Pengajar di FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta dan UIN
Jakarta
|
KORAN
SINDO, 01
Februari 2017
Pasca-Aksi
Bela Islam (ABI) pada 2 Desember 2016 terjadi kontestasi tentang siapa yang
memegang tampuk kepemimpinan umat Islam.
ABI
III yang berhasil menghadirkan jutaan orang, mengantarkan klaim baru bahwa
tampuk pemimpin umat sekarang berada di tangan Habib Rizieq Shihab. Setelah
aksi itu, banyak kalangan yang mengecam keberadaan Muhammadiyah dan NU yang
dianggap tidak tegas membela kepentingan umat Islam. Menurut sebagian
kalangan, dua organisasi Islam terbesar di Indonesia itu sibuk dengan dirinya
sendiri dan tidak peka terhadap aspirasi umat.
ABI
juga mendatangkan pujian dan sanjungan pada tokoh-tokoh yang dianggap
menggerakkan aksi tersebut. Sanjungan dan pujian pada Habib Rizieq Shihab dan
Bachtiar Nasir datang dari banyak kalangan, termasuk kalangan berpendidikan
dan kelas menengah. Menurut mereka, dua orang itu mencerminkan teladan
pejuang Islam sejati yang layak ditiru.
Bahkan,
jika selama ini inisial penyebutan orang lebih ke nama misalnya Ahmad Syafii
Maarif (ASM), Said Aqil Siradj (SAS), atau Muhammad Din Syamsuddin (MDS),
untuk dua orang itu digunakan inisial lengkap dengan gelarnya, yaitu Habib
Rizieq Shihab (HRS) dan Ustaz Bachtiar Nasir (UBN). Hingga hari ini juga
banyak tablig akbar di berbagai tempat yang mengangkat tema tentang ABI.
Meskipun
banyak yang menyatakan Aksi Bela Islam I, II, dan III merupakan bukti
keberhasilan tokoh-tokoh Islam di luar mainstream dan mereka sekarang ini
dianggap lebih merepresentasikan kepemimpinan Islam sejati, saya meragukan
argumen itu. Menurut saya, keberhasilan Aksi Bela Islam tidaklah serta-merta
menjadikan kepemimpinan umat Islam bergeser pada Rizieq Shihab, Bachtiar
Nasir, Arifin Ilham, Abdullah Gymnastiar, Zaitun Rasmin, dan sebagainya.
Mereka
memang berusaha mengklaim dan merebut tampuk kepemimpinan itu, namun
tampaknya upaya itu tidak mudah. Yang juga patut dicatat, keberhasilan Aksi
Bela Islam bukan hanya karena faktor tokoh itu, namun banyak faktor yang
melatarbelakanginya.
Faktor yang Kompleks
Keberhasilan
Aksi Bela Islam III yang didahului oleh Aksi Bela I pada Oktober 2016 dan
Aksi Bela Islam II pada November 2016 pada dasarnya terletak pada isu yang
dimunculkan dan beberapa faktor lain. Jadi, aksi itu tidak hanya ditentukan
oleh isu dan faktor yang tunggal. Dari segi pengangkatan isu, isu tentang
Ahok yang melakukan penistaan agama menjadi api pemantik yang sangat efektif
untuk menggerakkan aksi.
Isu
tentang penghinaan Alquran dan penghinaan agama Islam memang menjadi isu yang
sangat sensitif tidak hanya di negara mayoritas Islam, bahkan di
negara-negara Barat pun isu itu sangat sensitif. Ketika ada seseorang
dianggap menghina Islam atau melakukan pelecehan terhadap Islam, biasanya
muncul solidaritas yang tinggi untuk bergerak dan melakukan aksi demonstrasi.
Kejadian
baru-baru ini di Amerika Serikat menunjukkan ketika Donald Trump mencurigai
keberadaan umat Islam, terjadi aksi masif yang didukung oleh berbagai
kalangan dan antaragama. Nah, isu Ahok tampaknya menjadi momentum untuk
melakukan aksi itu. Ketika terjadi isu penistaan agama oleh Ahok, meskipun
hal itu masih debatable dan kontroversial, banyak orang yang langsung
tersulut emosinya dan mengecam habis.
Pada
saat yang sama, ketika ada tokoh senior seperti Buya Syafii Maarif dan Gus Mus
yang menyatakan pendapat yang berbeda dari mainstream tentang Ahok, mereka
langsung mengecam tokoh itu dan bahkan membully- nya di banyak media sosial.
Dalam kondisi itu, tampaknya sikap yang berbeda dengan mayoritas dianggap
kontroversial. Mereka yang berbeda pendapat dianggap tidak peka dengan
kepentingan umat Islam dan justru membela penghina Islam.
Dengan
arus informasi yang bergerak cepat melalui media sosial dan berbagai
pengajian itu, isu penistaan agama oleh Ahok menjadi isu strategis yang mendorong
banyak orang untuk mengikuti Aksi Bela Islam. Selain isu yang diangkat, saya
juga melihat bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi faktor penting
keberhasilan ABI I, II, dan III.
Seandainya
mereka tidak membentuk Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (GNPFMUI) dan melakukan aksi mandiri dengan koalisi antara misalnya
Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Intelektual
dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), dan Wahdah Islamiyah, mungkin
keberhasilannya tidak sebesar atas nama GNPF-MUI.
Faktor
MUI di sini sangat strategis karena organisasi ini dianggap representasi umat
Islam Indonesia. Dengan dukungan MUI, gerakan ini dianggap sebagai penyuara
dan pendukung suara ulamaulama di Indonesia. Keberadaan MUI sebagai nama di
belakang ABI I, II, dan III ini menjadi penting karena banyak pengurus MUI
yang juga merupakan pimpinan dan anggota Muhammadiyah dan NU. Hal ini tidak
hanya di MUI pusat, namun juga MUI di propinsi dan berbagai daerah.
Dengan
mengatasnamakan GNPF-MUI, ABI diklaim sudah mewakili Muhammadiyah, NU, dan
organisasi Islam lain. Memang tidak semua fatwa yang dikeluarkan MUI efektif
misalnya fatwa tentang bunga bank yang tidak banyak diikuti orang. Namun,
fatwa tentang Ahok ini tampaknya sangat efektif sebagaimana fatwa MUI tentang
sekulerisme, pluralisme, liberalisme, dan tentang Ahmadiyah. Jadi, faktor MUI
ini penting untuk dipertimbangkan.
Faktor
yang juga menentukan pada keberhasilan ABI kemarin adalah keberadaan politisi
yang menumpang aksi untuk kepentingan kemenangan politiknya. ABI I, II, dan
III yang berbarengan dengan jelang Pilkada DKI pada Februari 2017 tampak
secara cerdik dimanfaatkan oleh politisi dan kontestan.
Kasus
penistaan agama dijadikan bahan kampanye yang strategis oleh lawan- lawan
Ahok. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun memanfaatkan isu itu untuk kembali
tampil ke publik dan tampaknya ia meraup banyak keuntungan politik dari kasus
ini. Terbukti, pasangan AHY dan Silvy mendapat banyak dukungan dari ormas
Islam dan dianggap sebagai representasi umat Islam.
Posisi di Kalangan Umat
Kenapa
faktor-faktor di atas itu lebih berpengaruh dibandingkan faktor tokoh-tokoh
Islam seperti Rizieq Shihab dan Bachtiar Nasir? Hal ini karena sebetulnya
organisasi-organisasi dan tokoh-tokoh ABI belum banyak mendapatkan tempat di
mata umat. Sebagaimana ditulis oleh Greg Fealy (2016), banyak dari kalangan
yang mengikuti ABI III bukan karena faktor organisasi dan tokoh itu. Mereka
banyak yang datang karena ingin membela Islam dan kecewa terhadap penghinaan
terhadap Alquran.
Menurut
Greg Fealy (2016), beberapa peserta yang diwawancarai juga banyak yang kecewa
terhadap FPI yang suka menggunakan pernyataan yang kasar dan main hakim
sendiri. Banyak peserta yang mengikuti ABI I, II, dan III tidak bisa digeneralisasi
bahwa mereka mendukung FPI dan organisasi- organisasi pembentuk GNPFMUI.
Tentang keberadaan Rizieq Shihab dan FPI yang mengklaim sebagai pemegang
kunci keberhasilan ABI dan pemegang tampuk kepemimpinan umat ini juga semakin
meragukan jika kita perhatikan pada peristiwa baru-baru ini.
Ketika
ada imbauan untuk Aksi Bela Ulama pada 23 Januari 2017 kemarin dan hanya
diikuti peserta yang jauh jumlahnya dibandingkan aksi-aksi sebelumnya,
menunjukkan bahwa faktor isu dan MUI masih memegang posisi penting. Karena
isunya tidak menarik perhatian banyak orang dan tidak memperjuangkan
kepentingan MUI, banyak orang yang enggan ikut aksi tersebut.
Sepinya
peserta Aksi Bela Ulama juga menunjukkan bahwa FPI dan Rizieq Shihab belum
berhasil menjadi representasi kepentingan umat Islam. Peristiwa lain yang
juga patut dicatat adalah pengangkatan Habib Rizieq Shihab sebagai Imam Besar
Umat Islam yang tidak banyak menarik perhatian. Pengangkatan itu dianggap
sesuatu yang biasa dan bukan luar biasa.
Hal
itu membuktikan bahwa FPI dan Rizieq Shihab belum berhasil mendapat posisi di
kalangan umat. Dengan demikian, saya masih percaya bahwa kepemimpinan umat
Islam Indonesia sebetulnya masih berada di tangan para pemimpin-pemimpin
organisasi Islam yang sudah lama berkiprah pada bangsa ini seperti
Muhammadiyah dan NU. Kepemimpinan umat Islam juga terletak pada tokoh-tokoh
Islam di tingkat lokal yang berkhidmat untuk pelayanan umat dan pencerdasan
umat secara ikhlas.
Memang
tampaknya pemimpin ormas Islam mainstream dan pemimpin lokal itu tidak
seagresif para pemimpin organisasi Islam yang baru. Namun, kepentingan Islam
tidaklah hanya terletak pada kepentingan yang jangka pendek. Kepentingan umat
Islam harus strategis dan jangka panjang. Umat Islam Indonesia hendaknya juga
bisa arif dan bijaksana menyikapi fenomena ini.
Kaidah
usul fikih yang menyatakan bahwa “Ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluh
(jika tidak bisa mengambil semuanya hendaknya tidak meninggalkan semuanya”)
sangat sesuai dengan kondisi sekarang ini. Jangan sampai kesilauan akan
agenda jangka pendek yang dikampanyekan oleh organisasi baru menjadikan kita
melupakan atau meninggalkan organisasi dan para pemimpin yang sebetulnya
sudah banyak berkiprah nyata untuk umat Islam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar