Konservatisme
dan Pilkada
Donny Gahral Adian ;
Dosen
Filsafat Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 20 Februari 2017
Propaganda adalah senjata ampuh dalam setiap pemilihan
politik. Lebih ampuh lagi jika propaganda tersebut berpijak pada diktum-diktum
konservatisme. Memang pada awalnya propaganda konservatif sering dipandang
sebelah mata. Berpolitik dengan menjual identitas seperti barang antik di
kurun kemajemukan dewasa ini. Saat kita sudah berbicara warga negara dunia,
rasisme bukan sesuatu yang menjanjikan lagi secara politik. Namun, apa daya,
perebutan kekuasaan tetap bersandar pada politik identitas yang pekat.
Kemenangan Trump seperti lonceng yang menyadarkan kelompok konservatif di
seantero planet, khususnya kelompok agama.
Politisasi ketakutan
Konservatisme pada awalnya adalah secarik proposal
filsafat politik. Di tengah deru perubahan sosial yang bergegas, tradisi
perlu mendapat pembelaan filosofis. Perubahan yang serta-merta cenderung tak
terkendali dan mematahkan sendi-sendi tradisi. Di sini filsuf konservatif
awal bernama Edmund Burke menyatakan betapa tradisi, keluarga, dan institusi
agama tak boleh dirobohkan atas nama revolusi sosial. Perubahan, pun jika
ada, harus dibiarkan berjalan secara organik, bukan lewat rekayasa sosial.
Proposal filsafat itu lambat laun jadi politik praktis.
Dia bukan lagi abstraksi filosofis, melainkan ideologi yang operasional.
Berbagai kelompok politik pun bermunculan dengan merek dagang
"konservatisme". Mereka menjual romantisisme tentang tradisi,
keluarga, dan agama. Saat kelompok liberal mempropagandakan kebebasan,
konservatif menekankan kekerabatan. Kekerabatan yang, sayangnya, sering kali
ditafsirkan secara ketat dan sektarian. Ujung-ujungnya adalah supremasi ras
dan bahkan agama.
Konservatisme pun bertemu dengan agama. Pikiran bertemu
keyakinan. Kombinasi keduanya menghasilkan kekuatan politik lumayan dahsyat.
Sebab, pada dasarnya irisan keduanya cukup tebal. Keduanya bersandar pada
politik identitas. Sama-sama memuliakan tradisi. Keduanya menolak berbagai
kebaruan sosial yang dianggap kebablasan dan mengancam kemapanan. Sama-sama
meromantisasi masa lalu. Sejarah bergerak menurun. Keduanya beranggapan bahwa
kita perlu mengembalikan kejayaan masa lalu untuk menyembuhkan masa kini yang
sesat.
Konservatisme agama pun menjadi komoditas baru dalam
politik praktis. Namun, jangan kira ini hanya berlaku di negara berkembang
dengan populasi kaum tak terdidik cukup besar. Negara maju pun tak lepas dari
jerat konservatisme agama dalam politik hariannya. Bush Junior saat
mencalonkan diri sebagai presiden di Amerika Serikat kerap mengutip ayat
untuk menjaring dukungan dari kelompok agama. Ia juga mengusung prinsip
kesucian hidup yang bertolak dari teologi guna menentang aborsi. Subkultur
gay dan lesbian dianggap sebagai anomali sosial yang membahayakan pakem
teologis heteroseksualitas.
Politik yang bersandar pada konservatisme agama terbukti
masih cukup menjanjikan. Sebab, dia niscaya berbuah dukungan publik. Mengapa
demikian? Sebab, politik jenis ini sejatinya melakukan politisasi ketakutan.
Orangtua yang takut anaknya menjalani seks bebas mendukung program razia
kondom dan kos-kosan.
Umat yang khawatir terjadi pemurtadan mendukung pembatasan
pembangunan tempat ibadah agama lain. Komunisme menghantui iman generasi muda
harapan bangsa. Oleh karena itu, program politik anti komunisme harus
didukung habis-habisan.
Politisasi ketakutan adalah kernel dari konservatisme
agama. Berbicara agama selalu berujung pada kosakata kemurnian. Kemurnian
harus diproteksi dengan segala cara. Ancaman terhadap kemurnian tersebut
perlu terus diwaspadai agar tidak terjaga dari tidur latennya. Politik
konservatif pun niscaya berbicara mengenai aturan, batasan, prosedur yang
melindungi kemurnian dari kontaminasi liyan.
Politik konservatif bergaung di setiap momen elektoral.
Psikologi publik yang senantiasa tercekam oleh agresi liyan dimanfaatkan
secara optimal. Singkatnya, pilih pemimpin yang tidak akan membiarkan
ideologi sesat berserakan di ruang publik. Pilih pemimpin yang seiman
sehingga tidak akan mengambil kebijakan yang bertentangan dengan keyakinan.
Pilih pemimpin yang akan melindungi iman dari setiap godaan yang mungkin.
Akhirnya, pilih pemimpin yang akan menghapus semua godaan lewat aturan dan
kebijakan.
Pilkada
Konservatisme agama mendapatkan momen elektoralnya dalam
Pilkada Ibu Kota saat ini. Saat politik meritokrasi tidak ampuh mendulang
suara, sentimen agama pun dimainkan habis-habisan. Sejak dentang pertama
pilkada, isu agama sudah dimainkan sedemikian rupa. Propaganda terus
diderukan untuk menggalang suara pemilih. Demo, selebaran, ceramah. Semua
metode yang mungkin dipakai untuk memainkan sentimen keagamaan di kalangan
kelas menengah.
Pertanyaannya, apakah konservatisme agama memiliki
kekuatan politik untuk menggalang kelas menengah terdidik di Ibu Kota? Kelas
menengah terdidik adalah kelas yang mengutamakan akal sehat ketimbang
afiliasi-afiliasi emosional. Namun, banyak yang lupa bahwa karakter kelas
menengah adalah senantiasa mencari distingsi alias perbedaan.
Saat distingsi sosial-ekonomi semakin memudar, agama
menjadi distingsi baru yang menarik bagi kelas menengah. Maka,
pengajian-pengajian di hotel berbintang pun menjamur. Sosialita menjadikan
agama sebagai identitas dalam pergaulan elite sehari-hari.
Di sini konservatisme agama menjadi sangat efektif saat
diturunkan menjadi strategi politik. Kelas menengah yang haus identitas
dengan mudah dimainkan sentimen keagamaannya. Apalagi globalisasi
menghasilkan efek balik, yakni menguatnya suaka-suaka identitas. Saat
semuanya menjadi cair dan mungkin, batasan, larangan, isolasi justru semakin
menguat.
Saya teringat bagaimana salah satu calon gubernur dalam
Pilkada DKI menggugat lemahnya calon gubernur petahana dalam menertibkan
salah satu tempat hiburan malam di Ibu Kota.
Putaran pertama pilkada membuktikan konservatisme agama
cukup efektif mendulang suara. Survei-survei awal menunjukkan betapa
elektabilitas pasangan petahana jauh di atas elektabilitas dua pasangan calon
gubernur dan calon wakil gubernur lain. Namun, begitu sentimen agama
dimainkan, peta kekuatan pun berubah.
Suara kelas menengah pun sebagian beralih ke kedua
pasangan calon lainnya. Namun, "kecelakaan politik" yang dialami
pasangan calon nomor satu membuatnya gagal memanfaatkan konservatisme agama
secara maksimal. Kelas menengah sepertinya tidak sekadar menimbang agama
sebagai simbol, tetapi juga perilaku sebagai manifestasi keyakinan. Tuduhan
korupsi terhadap calon wakil gubernur dari pasangan nomor satu terbukti mampu
menurunkan elektabilitas secara signifikan.
Putaran kedua sudah di depan mata. Sentimen agama saya
kira masih akan dimainkan untuk melawan politik meritokrasi pasangan
petahana. Sebab, dari segi program dan kompetensi manajerial publik, pasangan
petahana sulit dilumpuhkan. Pasangan nomor tiga akan terus menjual kebijakan
yang "agamis" guna membedakan diri dengan pasangan petahana. Kelas
menengah terdidik masih akan menjadi "rebutan elektoral" bagi kedua
pasangan calon. Di sini pertaruhannya. Apakah kelas menengah mampu direbut suaranya
lewat politik konservatisme agama? Apakah politisasi ketakutan mampu
mendulang suara di kalangan kelas menengah?
Kita belum bisa meramalkan. Yang pasti putaran kedua akan
berjalan ketat. Suara pasangan calon nomor satu belum tentu beralih total ke pasangan
calon nomor tiga. Politik konservatisme agama bisa jadi kontraproduktif juga.
Kelas menengah Ibu Kota cenderung menghindari konflik yang berdampak pada
kemapanan ekonomi.
Politik konservatisme agama cenderung agresif dan
berpeluang melahirkan konflik horizontal yang berbahaya. Ideologi
sektarianisme yang tertutup bisa jadi pemicu gesekan sosial yang panas dan
berlarut-larut. Apa pun, kelas menengah menjadi kunci kemenangan bagi kedua
pasangan calon. Pertarungan merebut kelas menengah akan membuktikan: apakah
politik meritokrasi atau konservatisme agama yang menjadi pemenangnya. Kita
lihat saja nanti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar