The
Art of Ora Mbahas
Iqbal Aji Daryono ;
Praktisi Media Sosial; Penulis; Kini
ia tinggal sementara di Perth, Australia, dan bekerja sebagai buruh
transportasi
|
DETIKNEWS, 17 Januari
2017
Almarhum
bapak saya seorang guru SMP. Meski resminya ia guru pelajaran Biologi,
sekolah tempat Bapak mengajar sempat memberinya tugas sebagai guru BP.
Sebagai
guru BP di sebuah sekolah yang biasa-biasa saja, dengan mayoritas murid dari
kalangan bawah, Bapak tentu sangat sering menghadapi anak-anak bermasalah.
Mulai anak yang penuh problem dengan pelajarannya, anak yang berkelahi dengan
temannya, hingga anak yang patah hati karena ditolak cintanya.
Khazanah
pengalaman dalam mengelola problem kehidupan khas remaja begitu semakin
membuat Bapak kaya referensi persoalan. Sebab di kampung kami, Bapak pun
lumayan sering jadi tempat mengadu. Anda tahu, pada zamannya, guru adalah
profesi yang sangat kajen, kalau istilah Jawa-nya. Sangat dihargai oleh
lingkungan. Belum lagi kadang Bapak jadi guru ngaji pula di masjid kampung.
Lengkaplah sudah kepercayaan para tetangga kepada beliau.
Pada
masa-masa itu, kadang saya menguping saat ada orang datang mengadukan aneka
persoalan mereka. Ada yang minta tolong dicarikan sekolah untuk anaknya,
padahal NEM-nya kecil banget. Ada yang minta tolong dicarikan orang yang bisa
memberi utangan. Ada juga yang menangis karena anaknya bunting padahal belum
juga menikah. (Untunglah tak ada yang datang buat minta pesugihan atau
penangkal santet.)
Segenap
pengalaman Bapak sebagai "guru BP" di mana-mana tersebut pada
akhirnya bermuara di keluarga kami sendiri. Bapak selalu menjadikan meja
makan di rumah kami sebagai semacam ruang BP. Kerapkali sidang keluarga
digelar, dan kami semua dipertemukan. Entah saat ada konflik antara
anak-anaknya, antara anak dan ibu, atau antara anak dan Bapak sendiri. Semua
"stakeholder masalah" diminta menyampaikan versi masing-masing.
Segenap sudut pandang dicari titik temunya, untuk kemudian dicari solusi
bersama.
Indah
sekali, bukan? Ya, sekilas tampaknya sempurna. Namun segala yang indah-indah
itu ternyata membawa pula sejenis efek sampingnya. Entah bagaimana dengan
kakak dan adik saya, namun saya pribadi merasa tumbuh dengan karakter khas:
terlalu detail dalam melihat masalah, tidak gampang melupakan konflik, dan
suka berdebat.
Dengan
karakter demikian, pada usia 26 tahun saya menikah.
Istri
saya dibesarkan dalam keluarga yang berbeda dengan saya. Bapak mertua saya
seorang dosen filsafat. Barang tentu, kurang kerjaan juga bila lantas Anda
mengira ada adegan mertua dan menantu yang tiap sore ngobrol filsafat di
Socrates Cafe. Namun saya membayangkan, dengan latar demikian, mestinya Pak
Mertua juga sedetail bapak saya. Lha filsafat tuh tugasnya membongkar segala
hal-ikhwal sampai ke level lower ground, je. Wajarnya kan tiap kali ketemu
konflik, Pak Mertua akan menjelaskan hakikat persoalan yang kami temui, mulai
dari perspektif Plato sampai Suhrawardi, lantas masalah dianggap selesai
hanya setelah setiap anggota keluarga berteriak "Eureka!"
Nyatanya,
bukan itu yang tampak di mata saya. Saya memang orang luar di keluarga itu,
tidak pernah tinggal bersama mertua, sehingga pasti ada banyak sisi dan
cerita yang belum sepenuhnya saya kenali hingga hari ini. Namun setidaknya
bisa saya lihat, keluarga istri saya sungguh berbeda dengan keluarga saya
sendiri.
Pak
Mertua punya cara unik dalam mengelola konflik di dalam keluarganya. Tiap
kali muncul letupan di antara anak-anaknya, misalnya, ini yang ia lakukan:
mengajak seluruh anggota keluarga buat jalan-jalan, makan-makan.
Apakah
di tempat makan lantas digelar pembahasan menyeluruh sebagaimana yang
dilakukan mendiang bapak saya? O, tidak. Di situ mereka ngobrol hal-hal lain,
membincangkan topik-topik menyenangkan, yang blas nggak ada hubungannya
dengan konflik sebelumnya.
Hasil
dari kebiasaan itu ternyata ajaib, terutama di mata saya yang dibesarkan
dalam varian peradaban lain. Konflik di rumah mertua cenderung cepat berlalu.
Memang tidak tuntas dikupas, namun juga tidak lama membekas. Itu berbeda
dengan di keluarga saya, yang meski pembahasannya selesai, memarnya sering
bertahan lebih panjang.
Istri
saya pun tumbuh dengan karakter tersendiri. Walau bukan jenis orang yang
senang tertawa seperti saya, ia jauh lebih pintar dalam melupakan hal-hal
buruk di antara kami. Sial buat dia sih, sebab jika persoalan kami saya seret
masuk ke pola resolusi konflik dengan tipe ajaran bapak saya, ia kewalahan.
Data-data saya lebih lengkap, sementara ia yang cenderung melupakan persoalan
kerap kehabisan referensi hahaha.
Maaf,
saya membicarakan keluarga saya sendiri. Saya tahu, keluarga saya nggak ada
penting-pentingnya buat Anda semua. Namun pola seperti ini saya yakin ada di
mana-mana. Konflik juga ada di mana-mana. Apalagi sejak internet dan medsos
menjajah alam kesadaran kita, kita jadi sangat suka berdebat, sangat suka
membahas banyak hal sampai terperinci setengah mati, dan selalu merasa
pembahasan kita sangat berguna dan begitu menentukan masa depan dunia.
Dari
situ tak jarang yang terjadi justru konflik-konflik turunan antarteman,
antartetangga, bahkan antarsaudara. Sebab kebiasaan membahas
persoalan-persoalan besar akhirnya terbawa saat kita menghadapi dinamika
sehari-hari. Sendi-sendi yang lebih riil pun jadi rapuh, padahal semua itu
lebih nyata daripada isu-isu besar (atau isu yang dibesar-besarkan) yang tak
henti menjejali mata dan telinga kita.
Saya
jadi ingat sebagian ulasan Jared Diamond dalam salah satu bukunya, The World
Until Yesterday. Ia memaparkan, lebih kurangnya begini. Dalam masyarakat
modern, sebuah konflik diselesaikan dengan orientasi pemenuhan rasa keadilan.
Maka ada pengadilan, ada hakim, dan ada hukuman bagi yang bersalah. Di situ
tidak terlalu dipusingkan apakah di kemudian hari para pelaku konflik
berhasil memperbaiki hubungan mereka atau tidak. Asal dirasa adil, selesai
sudah.
Berbeda
dengan itu, dalam masyarakat tradisional, yang dikejar bukanlah pemenuhan
rasa keadilan, melainkan rekonsiliasi. Kadang hasil keputusan dari dialog
yang digelar tidak cukup fair bagi korban. Namun ada satu tujuan lebih
mendasar, yakni pulihnya harmoni antaranggota kelompok.
Harmoni
memang merupakan hal vital dalam masyarakat tradisional. Anggota
masyarakatnya relatif sedikit, satu sama lain saling mengenal, saling
bersinggungan hingga seterusnya. Jika harmoni gagal dibangun kembali, potensi
konflik akan terus tertinggal, menetap, dan sewaktu-waktu bisa meledak. Nah,
konsep peradilan dalam masyarakat modern tidak cukup peduli itu, sebab
cakupan populasinya jauh lebih luas. Antara pelaku konflik bisa tidak saling
kenal, dan sangat mungkin tidak akan perlu saling berinteraksi hingga
seterusnya.
Berkaca
dari gambaran Jared Diamond tadi, saya menduga, boleh jadi selama ini kita
terlalu menempatkan diri sebagai sepenuhnya makhluk modern. Kita merasa
sebagai anggota masyarakat yang sangat luas, yang menyediakan solusi-solusi
rasional untuk menyelesaikan segenap persoalan. Sementara itu, kita lupa
bahwa kita punya keluarga, saudara, tetangga, teman-teman baik, yang setiap
saat ada di dekat kita, dan tidak bisa selalu kita sikapi sebagai bidak-bidak
mati bagian dari sebuah konfigurasi besar bernama negara.
Memang,
dalam konteks kehidupan bernegara, atau di bangku-bangku akademis, segenap
hal ikhwal harus dikuliti dan dibongkar. Namun dalam lingkup-lingkup kecil
yang dekat dan lekat dengan realitas kehidupan keseharian kita, apa iya sih
kita mesti setiap saat menjadi semacam peneliti sosial, atau filsuf pemburu
kebenaran, yang tak lelah-lelahnya menggali setiap jengkal persoalan?
"Kamu
harus belajar 'the art of ora mbahas'. Seni untuk diam, menahan diri untuk
tidak membahas masalah. Sebab tidak semua hal harus dibahas dan didiskusikan.
Kadang lebih enak kalau diabaikan, dilupakan. Cobalah." Begitu istri
saya mengutip nasihat Ning Fina, guru ngajinya.
Saya
manggut-manggut mendengarnya, bersepakat dengannya, dan langsung teringat
wajah ganteng bapak mertua saya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar