Paradoks
Lonjakan Harga Pangan
Toto Subandriyo ; Pengajar Program Magister Manajemen STIE
Bank BPD Jateng
|
SUARA MERDEKA, 17
Januari 2017
“Ketika terjadi kenaikan
harga di tingkat konsumen selalu ditransmisikan secara lambat dan tidak sempurna
kepada petani/peternak.”
JIKA
kepada sidang pembaca diajukan pertanyaan: Siapakah yang paling diuntungkan
atas lonjakan harga komoditas pangan seperti telur ayam, daging ayam, daging
sapi, cabai rawit, cabai merah, dan bawang merah beberapa hari terakhir?
Kemungkinan banyak yang menjawab peternak/ petani yang paling diuntungkan
dengan melambungnya harga komoditas kelompok bahan pangan bergejolak
(volatile food) tersebut.
Secara
logika memang bisa dipahami bahwa semakin tinggi lonjakan harga suatu
komoditas akan menjadi kawan seiring bagi peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan produsen. Jadi dalam kaitan melonjaknya harga beberapa
komoditas pangan akhir-akhir ini seharusnya petani/peternaklah yang paling
diuntungkan. Namun yang terjadi pada usaha pertanian/peternakan rakyat, tidak
selamanya mengikuti logika tersebut.
Hal
itu bisa terjadi karena para petani/peternak rakyat mengalami apa yang
disebut paradoks produktivitas (productivity paradox). Kondisi paradoks
secara jelas tergambarkan dalam industri peternakan ayam rakyat. Masalah
sistemik yang melingkupi usaha peternakan ayam rakyat ini berpangkal pada
tingginya angka produksi.
Kondisi
itu berimbas pada rendahnya harga di tingkat peternak hingga di bawah harga
pokok produksi (HPP). Namun ironisnya, para konsumen harus membeli dengan
harga yang sangat mahal. Seperti yang terjadi menjelang Hari Natal/ Tahun
Baru 2017 lalu.
Harga
daging ayam ras melonjak hingga mencapai di atas Rp 35.000/ kilogram, tetapi
harga ayam hidup di tingkat peternak hanya di kisaran Rp 16.000-Rp 17.000 per
ekor. Padahal harga anak ayam umur sehari (day old chick/DOC) dan harga pakan
sudah melambung tinggi yang mendongkrak HPP menjadi sekitar Rp 18.000/ekor.
Pemicu Inflasi
Kondisi
yang hampir sama juga terjadi pada komoditas sayuran. Data Kementerian
Perdagangan pada akhir November 2016 menyebutkan bahwa harga rata-rata cabai
keriting di Jakarta Rp 65.447 per kilogram, sedangkan harga bawang merah pada
kisaran Rp 30.000 – Rp 40.000 per kilogram.
Padahal
saat itu harga beli cabai keriting di petani produsen sekitar Rp
35.000/kilogram dan bawang merah Rp 20.000/kilogram. Lonjakan harga dua
komoditas sayuran tersebut menjadi pemicu utama inflasi bulan November 2016.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada November 2016 lalu terjadi
inflasi sebesar 0,47 persen.
Penyebab
utamanya adalah kenaikan harga cabai merah yang berkontribusi pada angka
inflasi sebesar 0,16 persen, bawang merah sebesar 0,10 persen, dan cabai
rawit sebesar 0,05 persen. Lonjakan harga sayuran di pasaran umum, utamanya
cabai rawit, juga menjadi penyumbang utama angka inflasi bulan Desember 2016
yang mencapai 0,42 persen.
Lonjakan
harga cabai rawit bahkan berlanjut hingga pekan pertama Januari 2017, di
sejumlah daerah harganya bahkan mencapai Rp 150.000/kilogram. Ironisnya, para
petani cabai rawit tidak menikmati madu dari lonjakan harga tersebut. Selain
karena gagal panen di sejumlah daerah sehingga produksi anjlok, harga tinggi
itu lebih banyak dinikamati oleh para pedagang dan pengepul.
Secara
kasat mata nilai tambah peningkatan produktivitas usaha tani justru lebih
banyak dinikmati oleh para pelaku nonusaha tani. Akibatnya, manfaat dari
berbagai upaya peningkatan produksi yang selama ini dilakukan hanya dinikmati
oleh para pelaku nonusaha tani.
Lebih
jauh lagi kondisi ini berimplikasi makin tertinggalnya tingkat pendapatan
riil petani/peternak dari para pelaku nonusaha tani. Kondisi memprihatinkan
ini terjadi salah satunya karena kebijakan pemerintah yang kurang berpihak
kepada para pelaku utama usaha peternakan/ pertanian. Petani dan peternak
selalu dihadapkan pada dua kekuatan eskploitasi ekonomi.
Pada
pasar faktor produksi, mereka dibiarkan berhadapan dengan kekuatan
monopolistis, sedangkan saat menjual hasil produksi dihadapkan pada kokohnya
tembok monopsonistis. Apa yang kemudian terjadi? Nilai tambah usaha tani
mereka diperkecil oleh struktur nonusaha tani yang bersifat dispersal,
asimetris, dan cenderung terdistorsi.
Lihat
saja, ketika terjadi penurunan harga di tingkat konsumen, maka penurunan
harga secepat kilat ditransmisikan kepada petani/peternak secara sempurna.
Sebaliknya, ketika terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen selalu
ditransmisikan secara lambat dan tidak sempurna kepada petani/peternak.
Informasi pasar, seperti preferensi konsumen, juga dimanfaatkan untuk
mengeksploitasi petani/peternak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar