Negara
“versus” MUI?
Andi Irmanputra Sidin ; Advokat;
Ahli Hukum Tata Negara
|
KORAN SINDO, 30 Desember
2016
Beberapa
waktu lalu Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang
penggunaan atribut Natal bagi umat Islam. Fatwa MUI ini tertuang dalam Fatwa
Majelis Ulama Indonesia Nomor 56/ 2016 tentang Hukum Menggunakan Atribut
Keagamaan Nonmuslim.
Fatwa
ini mengingat fenomena di mana saat peringatan hari besar agama non-Islam,
sebagian umat Islam atas nama toleransi dan persahabatan menggunakan atribut
dan/ atau simbol keagamaan nonmuslim yang berdampak pada siar keagamaan
tersebut;
bahkan
untuk memeriahkan kegiatan keagamaan non-Islam, ada sebagian pemilik usaha
seperti hotel, supermarket, department store, restoran, dan sebagainya,
bahkan kantor pemerintahan mengharuskan karyawannya, termasuk yang muslim,
untuk menggunakan atribut keagamaan dari nonmuslim.
Terhadap
masalah tersebut, MUI merasa perlu menjawab pertanyaan mengenai hukum
menggunakan atribut keagamaan nonmuslim. MUI kemudian berfatwa bahwa
menggunakan atribut keagamaan nonmuslim adalah haram, mengajak dan/atau
memerintahkan penggunaan atribut keagamaan nonmuslim adalah haram.
Tidak
hanya sampai di situ, MUI juga mengeluarkan rekomendasi yang toleran sesuai
dengan nilai-nilai konstitusional UUD 1945 bahwa umat Islam agar tetap
menjaga kerukunan hidup antara umat beragama dan memelihara harmonisasi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tanpa menodai ajaran agama,
serta tidak mencampuradukkan antara akidah dan ibadah Islam dengan keyakinan
agama lain; agar saling menghormati keyakinan dan kepercayaan setiap agama.
Salah
satu wujud toleransi adalah menghargai kebebasan nonmuslim dalam menjalankan
ibadahnya, bukan dengan saling mengakui kebenaran teologis. Umat Islam agar
memilih jenis usaha yang baik dan halal, serta tidak memproduksi, memberikan,
dan/atau memperjualbelikan atribut keagamaan nonmuslim.
Pimpinan
perusahaan agar menjamin hak umat Islam dalam menjalankan agama sesuai
keyakinannya, menghormati keyakinan keagamaannya, dan tidak memaksakan
kehendak untuk menggunakan atribut keagamaan nonmuslim kepada karyawan muslim
(Fatwa MUI Nomor 56/2016).
Sampai
di sini, fatwa MUI tersebut tidak ada yang bertentangan dengan UUD 1945 atau
akan merusak sistem ketatanegaraan. Kebebasan dan keyakinan beragama umat
beragama harus dihormati oleh umat beragama lain termasuk untuk tidak mengharuskan
menggunakan atribut agama tertentu dalam hari besar agama lain.
Namun,
fatwa ini kemudian menimbulkan problematik hukum tata negara ketika dalam
berbagai berita media bahwa fatwa MUI ini dijadikan dasar secara mentahmentah
oleh institusi Polres Metro Bekasi Kota dan Kulonprogo tentang pengamanan
Natal 2016 dan Tahun Baru 2017. Pada prinsipnya institusi kepolisian adalah
institusi negara yang mendapatkan kewenangan secara langsung oleh UUD 1945
untuk menjaga keamanan, ketertiban, serta penegakan hukum (Pasal 30 ayat [4]
dan [5] UUD 1945).
Hukum
yang determinan menjadi acuan institusi kepolisian adalah hukum-hukum yang
telah menjadi bagian dari hierarki konstitusional peraturan
perundang-undangan dan dibuat oleh institusi-institusi negara atau institusi
lain yang menjalankan fungsi negara dan mendapatkan kewenangan sah dari UUD
1945 atau undang-undang.
Adapun
hierarki perundang- undangan dimaksud adalah UU Nomor 12/ 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Pasal 7 dan 8 UU 12/2011 )
menyatakan: a.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-undang/peraturan
pemerintah pengganti undang-undang; d. Peraturan pemerintah; e. Peraturan
presiden; f. Peraturan daerah provinsi; dan g. Peraturan daerah
kabupaten/kota.
Di
samping itu, ada peraturan perundang-undangan lain diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Walaupun
ada suatu produk aturan hukum positif dan dibuat oleh institusi-institusi
yang termasuk kategori di atas, itu pun tidak bisa ditelan mentah- mentah
secara mengikat bagi institusi kepolisian jikalau ternyata peraturan tersebut
tidak mengikat keluar dan tidak mengikat secara menyeluruh (erga omnes) atau
dibentuk oleh lembaga negara yang tidak berdasarkan kewenangannya.
Fatwa MUI?
Pertanyaannya,
di manakah letak fatwa MUI dalam hierarki hukum konstitusional kita? Tentu
ini pertanyaan retoris karena sebenarnya tidak perlu kemudian kita
memperhadap- hadapkan antara MUI dan negara, yang pasti bahwa tindakan
Kapolri Tito Karnavian meminta dua kapolres tersebut mencabut suratnya sudah
tepat.
MUI
dan negara sudah memiliki ruang konstitusional masingmasing sesuai perannya.
MUI adalah organisasi kemasyarakatan khususnya keagamaan sebagai wadah
musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim (UU Nomor 33/ 2014
tentang Jaminan Produk Halal-UU JPH).
MUI
merupakan mitra pemerintah dalam penyelenggaraan program pembangunan
pengembangan kehidupan yang islami mempunyai peran, tugas, dan tanggung jawab
yang besar untuk membantu pemerintah dalam mewujudkan peningkatan kualitas
akidah dan akhlak penduduk yang beragama Islam di Indonesia ( Peraturan
Presiden Nomor 151/2014 tentang Bantuan Pendanaan Kegiatan Majelis Ulama
Indonesia).
Pada
prinsipnya Indonesia bukanlah negara agama, namun juga bukanlah negara
sekuler. Indonesia adalah negara hukum yang mengakui nilai-nilai agama
sebagai sumber hukum. Selama nilai agama itu tidak bertentangan dengan
konstitusi karena negara hadir bukan hanya untuk penganut agama tertentu,
namun juga melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia yang
terdiri atas berbagai pemeluk agama dan keyakinan (Pembukaan UUD 1945).
Maka
itu, nilai agama itu bisa menjadi sumber hukum. Karena itu, Pasal 28J UUD
1945 dimungkinkan pembatasan hak-hak dan kebebasan konstitusional warga
berdasarkan pertimbangan nilai-nilai agama, namun itu pun harus dengan
undang-undang sebagai produk daulat rakyat semata untuk menjamin pengakuan
hak dan kebebasan yang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil.
Artinya,
karena instrumennya adalah undang-undang, haruslah dibahas dan disetujui oleh
perwakilan seluruh rakyat di DPR dan presiden sebagai pemegang kekuasaan
legislasi dan pemerintahan. Konstruksi ini terbangun sebagai konsekuensi
Indonesia adalah negara hukum ketika pemegang kekuasaan hadir untuk
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, dan jaminan
legalitas/kepastian hukum adalah keniscayaan.
Karena
itu, jikalau kemudian sudah terbungkus menjadi undang-undang, hukum/nilai
agama itu barulah kemudian menjadi hukum positif yang wajib ditegakkan oleh
negara sebagai dasar tindakan dan keputusannya. Pertanyaannya, apakah fatwa
MUI tentang larangan pemakaian atribut keagamaan karena dianggap bukan hukum
positif sehingga pemerintah tidak perlu memperhatikannya?
Jawabannya,
MUI adalah mitra pemerintah, fatwa MUI tersebut dalam rangka pemajuan
perlindungan, penegakan hakhak konstitusional umat Islam ketika bersinggungan
dengan hari besar agama lain. Tentu ini bukan tanggung jawab MUI semata,
melainkan tanggung jawab konstitusional negara, terutama pemerintah (Pasal 28
I ayat [4] UUD 1945).
Karena
itu, pemerintah dan MUI sebaiknya membangun kembali pola komunikasi,
substansi diktum rekomendasi fatwa di atas sebenarnya bisa dilembagakan dalam
bentuk surat edaran menteri agama dan menteri terkait lain atas perintah
presiden tentu dengan bahasa umum perundang-undangan.
Menteri
agama harus proaktif membangun komunikasi dengan MUI. Begitu pula sebaliknya.
Tujuannya, agar tidak kemudian menimbulkan persepsi bahwa MUI dan negara
saling berseteru, tentu bukan ini yang dikehendaki negara konstitusional
kita. Bagaimanapun MUI butuh negara dan negara butuh MUI, bahkan seluruh
organisasi keagamaan lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar