Menatap
Arah Kebijakan Trump
M Sya’roni Rofii ; Kandidat Doktor Ilmu Politik dan Hubungan
Internasional Marmara University Istanbul, Turki
|
JAWA POS, 20 Januari
2017
DONALD
Trump akan resmi menjadi presiden ke-45 Amerika Serikat (AS) pada 20 Januari
2017, menggantikan Barack Obama. Pergantian kepemimpinan di AS sangat dinanti
banyak pihak. Sebab, perubahan rezim di Negeri Paman Sam akan berdampak luas,
tidak hanya bagi rakyat AS, tapi juga masyarakat internasional.
Sebagian
pihak mengapresiasi kemenangan Trump. Sebagian lainnya mengutuk. Dukungan
bagi Trump datang dari mereka yang selama ini frustrasi dengan kepemimpinan
Obama yang dianggap gagal menciptakan tertib internasional karena kegagalan
menciptakan stabilitas di Timur Tengah yang memiliki dampak serius bagi AS.
Kemunculan ISIS bahkan oleh Trump disebut sebagai ciptaan rezim Obama.
Sementara itu, mereka yang anti terhadap Trump umumnya merupakan pembela
nilai-nilai liberalisme yang selama ini menjadi bagian tak terpisahkan dalam
desain besar kebijakan AS.
Trump
telah mendeklarasikan diri sebagai pemimpin yang akan menempatkan kepentingan
nasional di atas segala-galanya: “American First”. Karena itu, ada beberapa
kemungkinan yang bisa terjadi setelah Trump mengambil alih kemudi kepemimpinan
di Gedung Putih.
Pertama,
di bidang ekonomi, AS akan lebih pragmatis sekaligus protektif dalam bidang
kerja sama perdagangan internasional. Sinyalemen untuk keluar dari
Trans-Pacific Partnership (TPA) menjadi salah satu indikator bagaimana
presiden dari kubu Republik itu mengarahkan kebijakan ekonomi AS. Keluar dari
TPP tentu saja menjadi kabar buruk bagi mitra dagang AS di Asia-Pasifik,
terutama Jepang dan Korea. TPP awalnya merupakan cara AS untuk mengimbangi
agresivitas Tiongkok dalam bidang ekonomi yang hendak menghidupkan imajinasi
Jalur Sutra yang mampu menjangkau hampir seluruh penjuru benua lewat
kebijakan OBOR (One Belt, One Road).
Kedua,
di bidang politik internasional, Trump sepertinya akan menjadikan Rusia
sebagai mitra utama dalam menghadapi setiap isu internasional. Hal tersebut
bisa dilihat dari gestur yang ditunjukkan Trump sejak masa kampanye yang
melihat Vladimir Putin sebagai sosok yang bisa menyelesaikan persoalan
terorisme global yang memiliki akar di Timur Tengah. Jika hubungan kedekatan
antara Trump dan Putin benar-benar menjadi kenyataan ketika dia telah resmi
menjabat presiden, tentu saja hal itu akan menjadi tamparan keras bagi para
pemimpin Uni Eropa dan aliansi NATO yang selama ini terlibat konflik dengan
Rusia. Baik pada isu Ukraina maupun manuver Rusia di Eropa Timur dan Eropa
Tengah.
Ketiga,
soal isu imigran, itu merupakan salah satu isu sentral masa kampanye
pemilihan presiden AS. Hal tersebut disebabkan adanya gelombang pengungsi
dari Timur Tengah yang mencari suaka akibat konflik berkepanjangan di negara
mereka. Trump berkali-kali menyatakan bahwa pintu Amerika tertutup bagi para
pengungsi. Isu imigran bahkan dihubungkan dengan sikap Trump yang dianggap
antimuslim.
Hal-hal
di atas merupakan beberapa contoh isu yang memiliki dampak langsung bagi
negara lain di dunia. Karena itu, tidak ada cara lain selain menyesuaikan
diri dengan kebijakan Washington setelah Obama.
Mengimbangi Trump
Fareed
Zakaria sempat menulis sebuah artikel yang sangat kritis tentang Trump. Dia
menganggap Trump sebagai kanker bagi demokrasi AS karena sikapnya yang
cenderung rasis, seksis, xenophobic, dan otoriter, tetapi akhirnya dipilih
para pemilih AS (Washington Post, 3 November 2016).
Pada
hari-hari ke depan, AS akan dipimpin pribadi Trump yang memiliki latar
belakang pengusaha dan nihil pengalaman di bidang pemerintahan. Karena itu,
hampir semua orang masih menebak seperti apa persisnya gaya kepemimpinan dan
kebijakan yang akan dikeluarkan taipan bisnis properti tersebut.
Sikap
personal Trump selama masa kampanye boleh jadi merupakan refleksi pribadi
Trump. Meski demikian, posisi kepala negara yang telah diisi berbagai macam
figur, mulai veteran perang hingga artis, dalam sejarah presiden AS tidak
serta-merta mereduksi eksistensi nilai-nilai yang dianut masyarakat yang
tertuang dalam konstitusi dan didukung sistem pemerintahan mereka. AS
memiliki senat dan kongres yang bisa mengontrol pribadi Trump yang kerap
emosional dalam merespons setiap isu. Begitu juga eksistensi lembaga non
pemerintah di AS yang memiliki tradisi panjang dalam memantau kinerja setiap
rezim.
Trump
adalah kenyataan yang tak bisa dihindari. Setiap pemimpin negara, termasuk
pemimpin Indonesia, perlu menyesuaikan diri dengan gaya kepemimpinan
pasca-Obama. Sebelumnya Indonesia mungkin sangat terbantu oleh Obama yang
memiliki ikatan emosional dengan Jakarta karena pernah tinggal dan mengenyam
pendidikan di Indonesia. Namun, emosi bukan faktor dominan yang menjadi
pertimbangan para pemimpin AS melihat Indonesia.
Dalam
sejarah hubungan Indonesia-AS, siapa pun presiden AS selalu melihat Indonesia
sebagai negara yang disegani di kawasan Asia-Pasifik karena kekuatan militer
dan peran multilateral di ASEAN. Selain itu, modal yang tidak kalah berharga
adalah eksistensi Indonesia sebagai negara dengan jumlah muslim terbesar di
dunia yang menjunjung tinggi demokrasi sebagai nilai keseharian. Modal
tersebut perlu dimaksimalkan Indonesia untuk mencapai target kepentingan
nasional sekaligus menjadi pembangun jembatan di tengah ketegangan global
yang bernuansa benturan antar peradaban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar