Menanti
Komnas HAM Reborn
Kemala Atmojo ; Peminat
Masalah HAM
|
TEMPO.CO, 02 Januari
2017
Pendaftaran
calon komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia periode 2017-2022 telah
dibuka pada Desember 2016. Penjaringan ini diharapkan bisa mendapatkan calon
yang berintegritas, berani, dan memiliki pengetahuan akademis yang cukup di
bidang hak asasi manusia (HAM). Mengapa demikian?
Di
lingkup internal, Komnas HAM periode 2012-2017 diguncang dua isu penting.
Pertama, keributan mengenai masa kerja ketua. Pada Februari 2013, rapat
paripurna mengubah masa jabatan ketua yang semula digilir setiap 2,5 tahun
menjadi 1 tahun sekali. Kedua, pada Juni lalu, Badan Pemeriksa Keuangan
menyatakan disclaimer atas laporan keuangan Komisi. Hal itu antara lain
karena adanya dugaan penyelewengan dana realisasi belanja barang dan jasa
serta biaya sewa rumah dinas salah seorang komisioner pada 2015 yang tidak
sesuai dengan ketentuan. Kedua peristiwa itu sesungguhnya cukup memalukan.
Kritik
lain yang muncul adalah Komnas HAM dianggap tidak mampu menyediakan data
akurat mengenai diskriminasi terhadap beberapa kelompok, seperti kelompok
agama tertentu, penyandang cacat, anak-anak dan perempuan, serta komunitas
LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Minimnya data berkualitas
atas pelayanan hak asasi manusia menyebabkan laporan Komisi dan pemerintah
dipertanyakan dalam forum internasional.
Presiden
Joko Widodo sebenarnya telah berulang kali menyatakan dukungannya terhadap
penegakan HAM di Indonesia. Dalam pidato kenegaraan di depan Sidang Bersama
Dewan Perwakilan Rakyat RI dan Dewan Perwakilan Daerah RI, 16 Agustus 2016,
Presiden mengatakan: "Bangsa ini tidak akan produktif, tidak akan maju,
tidak akan menjadi bangsa pemenang apabila tidak menghargai hak asasi manusia
dan terus didera gonjang-ganjing politik. Energi kita sebagai bangsa akan
habis untuk meredakan keriuhan politik daripada melakukan lompatan-lompatan
kemajuan."
Terakhir,
dalam acara makan malam di Istana Negara bersama komisioner dan penasehat Komisi,
9 Desember 2016, Presiden mengatakan bahwa pemerintah akan melakukan upaya
sistematis melalui pembentukan tim khusus untuk membendung ideologi
kekerasan, radikalisme, fundamentalisme, dan virus-virus kekerasan yang mulai
menyebar ke sejumlah lini kehidupan bangsa.
Namun,
seperti yang pernah saya tulis di Koran Tempo sebelumnya, secara substansial
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tidak cukup
menjamin efisiensi dan efektivitas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang
Komnas HAM. Masih banyak kelemahan dalam undang-undang ini sehingga peran
penting Komisi tidak cukup mendapat tempat. Karena itu, komisioner mendatang
harus mendorong agar pembahasan rancangan undang-undang khusus mengenai
Komnas HAM dapat dilanjutkan.
Kemajuan
teknologi, khususnya Internet dengan media sosialnya, tak hanya
mendemokratisasi kesempatan dan gagasan, tapi juga rawan dimanfaatkan
kepentingan-kepentingan tertentu yang dapat merugikan kemanusiaan.
Rumpi-rumpi digital dapat mempertajam sentimen primordial sehingga merusak
fondasi kebinekaan yang menjadi ciri bangsa Indonesia. Akibatnya, politik
identitas menguat dan intoleransi meningkat.
Dalam
situasi semacam ini, Komnas HAM, sesuai dengan tugas dan wewenangnya, secara
sistematis dan berkelanjutan harus meningkatkan kesadaran masyarakat tentang
hak asasi manusia. Hal itu dapat dilakukan, antara lain, dengan menerbitkan
buku-buku yang mudah dipahami mengenai HAM dan dibagikan ke sekolah-sekolah.
Dengan demikian, sejak dini generasi muda kita sudah mengenal pentingnya HAM
bagi kemanusiaan dan bangsa Indonesia yang majemuk. Upaya ini pada akhirnya
akan membentuk budaya masyarakat yang menghargai hukum dan HAM. Komisi juga
secara intensif perlu melakukan sosialisasi mengenai aneka dimensi HAM kepada
pihak-pihak yang berpotensi melanggarnya.
Adapun
untuk penanganan kasus-kasus yang sedang terjadi, peranan Komisi dalam
melakukan mediasi sangat penting ditingkatkan. Cara ini lebih efektif dan
efisien ketimbang cara-cara lain yang menimbulkan kegaduhan dan pada akhirnya
merugikan proses pembangunan nasional, termasuk pembangunan hak asasi
manusia.
Tentu
saja perhatian lebih terhadap dua hal di atas tidak berarti Komisi melupakan
tugas-tugas lainnya seperti yang telah diamanatkan oleh undang-undang.
Misalnya, bersama lembaga-lembaga terkait, Komisi dapat berperan aktif dalam
upaya menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang hingga
saat ini belum diselesaikan. Komisi juga terus melakukan kajian dan
penelitian tentang aneka peraturan perundang-undangan yang berpotensi memicu
terjadinya pelanggaran HAM. Kita nantikan komisioner yang mampu
merevitalisasi Komnas HAM. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar