Menanti
Efek Stabilisasi BI Repo Rate
Haryo Kuncoro ;
Direktur Riset SEEBI (the
Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta; Doktor Ilmu
Ekonomi Lulusan PPs-UGM Yogyakarta
|
MEDIA INDONESIA,
19 Januari 2017
PELAKU
pasar global masih menebak-nebak arah kebijakan Presiden terpilih Amerika
Serikat Donald Trump. Mazhab ekonomi yang dianut Partai Republik pengusung
Trump tipikal menggunakan ekspansi fiskal melalui pemotongan pajak untuk
menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Pemerintahan Trump diproyeksikan akan
menyerap pasar keuangan dunia untuk menutup defisit. Untuk mewujudkan
janjinya dalam kampanye, karakter Trump yang probisnis niscaya lebih
proteksionis yang mengutamakan kepentingan ekonomi dalam negeri AS.
Kebijakan
itu diprediksi akan menyumbat arus transaksi perdagangan dunia dari dan ke
AS. Belum tuntas efek Trump, Gubernur Bank Sentral (The Fed) AS Janet Yellen
telah memberi aba-aba akan menaikkan Fed rate tiga kali pada tahun ini.
Sinyal kenaikan Fed rate lagi-lagi menyedot likuiditas pasar keuangan dunia
menuju ke AS yang dipandang sebagai tempat paling aman dari ketidakpastian.
Efek Trump dan potensi kenaikan Fed rate direspons beragam.
Bank
sentral di sejumlah negara masih aktif memberikan stimulus moneter sekaligus
sebagai antisipasi imbas dari kasus Deutsche Bank, Brexit, perlambatan
ekonomi Tiongkok, dan prospek suram pemulihan ekonomi global. Di sisi lain,
para investor cenderung wait and see dalam menyikapi kenaikan harga saham di
bursa AS dan penguatan nilai tukar dolar AS terhadap semua mata uang kuat
dunia. Dalam pandangan investor, ekspektasi ke depan yang belum clear membuat
keputusan finansial tidak ubahnya sebuah spekulasi atau bahkan 'berjudi' yang
bisa menjadi bumerang.
Logika
investor di atas tampaknya diadopsi Bank Indonesia (BI). Sinyal untuk meredam
sentimen negatif di pasar keuangan domestik sudah dinyalakan BI. Pada
Desember lalu, BI menahan suku bunga acuan 7-day reverse repo rate pada level
4,75% setelah beberapa bulan sebelumnya BI menggebu memangkasnya. Memasuki
2017, ruang pemangkasan repo rate semakin sempit. Pelonggaran kebijakan
moneter dihadapkan pada inflasi yang bakal melejit tahun ini. Gejolak inflasi
yang dipicu kenaikan harga barang yang diatur pemerintah dan harga beberapa
komoditas pangan menyebabkan inflasi bisa keluar dari rentang target 3%-5%.
Jaga stabilitas
Kondisi
global, risiko eksternal, dan risiko dalam negeri tersebut memaksa BI lebih
memprioritaskan stabilitas. Strategi stability over growth agaknya menjadi
karakter utama kebijakan moneter BI. Lebih operasionalnya, instrumen
likuiditas, makroprudensial, dan sistem pembayaran digunakan untuk mendorong
pertumbuhan. Sementara itu, repo rate, nilai tukar, dan pengawasan
(surveillance) diarahkan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Pergeseran
ini sejalan dengan UU No 23/1999 sebagaimana diubah UU No 6/2009 bahwa tugas
utama BI ialah memelihara stabilitas nilai rupiah yang diukur dari inflasi
dan nilai relatif terhadap mata uang asing.
Secara
konseptual, pergerakan inflasi dapat dikendalikan melalui kebijakan suku
bunga acuan. Apabila tekanan inflasi, misalnya mengalami kenaikan, bank
sentral meresponsnya dengan menaikkan suku bunga acuan guna mengerem
penyaluran kredit. Akibatnya, laju aktivitas perekonomian tertahan sehingga
mengurangi tekanan inflasi. Kebijakan suku bunga acuan juga dapat memengaruhi
nilai tukar. Kenaikan suku bunga acuan mendorong kenaikan suku bunga
diferensial lintas negara yang selanjutnya menarik arus modal masuk. Aliran
modal asing ini pada gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar rupiah.
Dengan
skema kerja di atas, eksekusi stabilisasi sistem keuangan agaknya menjadi
pelik. Persoalannya berawal dari penggunaan nilai tukar sebagai bagian dari
instrumen kebijakan stabilisasi sistem keuangan. Implisit, BI menganggap
nilai tukar sebagai variabel endogen yang berada di dalam kendalinya.
Seandainya asumsi tersebut berlaku, BI lebih mudah mengimplementasikan
program stabilisasi pasar finansial. Sederhananya, BI bisa mengendalikan
pergerakan nilai tukar melalui intervensi di pasar valuta asing. Artinya,
asumsi endogenitas nilai tukar menuntut BI memiliki cadangan devisa yang
cukup substansial. Pastinya, asumsi tersebut sulit untuk dipenuhi.
Posisi
cadangan devisa per akhir Desember 2016 yang tercatat US$116,4 miliar relatif
kecil untuk ukuran (size) pasar valuta asing Indonesia. Bandingkan dengan
Tiongkok yang memiliki cadangan devisa terbesar di dunia dengan nilai US$3,89
triliun.
Kompleksitas masalah
Dalam
sistem devisa bebas, fluktuasi nilai tukar adalah risiko yang harus dibayar.
Sementara itu, hanya sebagian kecil cadangan devisa ada di brankas BI.
Ketidakmampuan intervensi BI mengendalikan pasar valuta asing membawa
konsekuensi nilai tukar sejatinya merupakan variabel eksogen sehingga
mestinya diposisikan menjadi tujuan alih-alih instrumen. Kekeliruan
memosisikan nilai tukar sebagai bagian dari 'solusi' alih-alih bagian dari
'masalah' niscaya berimbas pada efektivitasnya, bahkan tidak mustahil
memunculkan kompleksitas masalah. Komplikasi akan muncul saat tujuan
stabilisasi inflasi dan kurs akan dicapai bareng.
Inflasi
dan kurs saling terkait dalam kerangka exchange rate pass-through. Studi
empiris Taguchi dan Sohn (2014) menunjukkan derajat pass-through nilai tukar
untuk kasus Indonesia sangat lemah bila dibandingkan dengan negara-negara
tetangga. Artinya, pergerakan nilai tukar tidak terwakili sepenuhnya oleh
fluktuasi inflasi. Konsekuensinya, tugas suku bunga acuan dalam mengawal
rupiah bakal semakin berat. Alhasil, dilema yang dihadapi ialah mengejar stabilitas
pasar keuangan internal (inflasi, suku bunga perbankan, dan likuiditas sektor
keuangan) niscaya akan mengesampingkan stabilitas pasar keuangan eksternal
(pelarian modal, cadangan devisa, dan nilai tukar); demikian pula sebaliknya.
Pada
akhirnya, melalui mekanisme pengawasan, otoritas moneter mengondisikan
perbankan dan lembaga keuangan lain untuk mendukung program stabilisasi.
Konsekuensinya, terjadi mobilitas energi besar-besaran kepada upaya
memelihara stabilitas sistem keuangan. Konkretnya, pasar keuangan dikontrol
alih-alih diliberalisasi. Rapat Dewan Gubernur untuk menentukan repo rate
sebagai pembukaan posisi (stance) kebijakan moneter 2017 pada 18-19 Januari
akan menjadi titik tolak pelaku pasar keuangan menuju pada titik ekuilibrium
yang baru.
Besaran
target moneter menjadi aktor utama pengubah arah kebijakan ekonomi makro,
termasuk sektor riil. Alhasil, perekonomian belum bisa terbebas dari mitos trade-off antara stabilitas dan
pertumbuhan serta antara stabilitas internal dan eksternal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar