Membaca
Arah Persaingan Bank 2017
Haryo Kuncoro ; Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic
& Educational Business Institute) Jakarta, dosen FE Universitas Negeri
Jakarta;
Doktor Ilmu Ekonomi Lulusan
PPs-UGM Yogyakarta
|
MEDIA INDONESIA,
11 Januari 2017
TAHUN
2016 telah berlalu. Ada sejumlah kegagalan yang patut dijadikan pelajaran
berharga. Ada pula torehan prestasi yang menumbuhkan kepercayaan diri untuk
menatap 2017. Alhasil, tahun ini bisa dipandang sebagai periode pemulihan,
tetapi bisa pula menjadi periode yang sarat tantangan. Bagi perbankan,
tantangan belum surut. Dari sisi hulu, melambatnya dana pihak ketiga (DPK).
Hingga Desember 2016, DPK tumbuh hanya 8% secara tahunan. Dari sisi hilir,
kredit perbankan tumbuh 9%. Keduanya jauh lebih rendah bila dibandingkan
dengan tiga tahun sebelumnya yang mampu tumbuh dua digit.
Konsekuensinya,
loan to deposit ratio (LDR) naik menjadi 94%. Artinya, hampir seluruh DPK
telah tersalur menjadi kredit. Dengan keterbatasan ruang gerak, perbankan pun
masih terbelit kredit macet yang melebihi rasio 3%. Imbasnya, fungsi
intermediasi perbankan dihadapkan pada kendala klasik, yakni persoalan
likuiditas.
Di
bawah bayang-bayang ancaman kelangkaan likuiditas, perbankan agaknya tidak
kehilangan optimisme dalam mengarungi bahtera bisnisnya. Mengikuti proyeksi
OJK, kredit dalam nominasi rupiah bisa tumbuh 9%-11%. Bahkan, perkiraan BI
sedikit lebih optimistis, 10%-12%. Alhasil, perbankan sejatinya agak gamang
menapaki 2017. Pertanyaan besarnya ialah apakah perbankan masih cukup mampu
menyelaraskan fakta dengan optimisme. Fakta ialah kenyataan yang telah
terjadi, sedangkan optimisme ialah harapan yang belum pasti kesampaian.
Rezim
suku bunga single digit dengan pembatasan (capping) mempersulit ruang gerak
perbankan dalam menghimpun DPK. Di saat bersamaan, instrumen lain menawarkan
imbal hasil yang lebih atraktif. Akibatnya, sumber DPK perbankan bergeser ke
lantai bursa untuk memenuhi kebutuhan dana jangka panjang. Pemerintah pun
gesit mencari pendanaan lewat Surat Berharga Negara (SBN). Utang dini dan
penerbitan SBN reguler untuk menutup defisit APBN kian memperuncing perebutan
dana masyarakat antara perbankan, korporasi, pemerintah, dan perusahaan
rintisan pengusung financial technology.
Di
dalam lingkup sektoral perbankan sendiri, persaingan antarbank juga tidak
kalah sengit. Bank bermodal kecil harus bersaing terbuka dengan bank besar di
segmen yang sama. Pemicunya satu, yakni hampir semua bank menerapkan strategi
sama terutama di segmen pasar ritel dan konsumsi. Sementara itu, pangsa pasar
empat bank di kelompok bank umum kelompok usaha (BUKU) IV mencapai 45%.
Adapun 24 bank BUKU III menguasai pangsa pasar total aset sebesar 37%.
Artinya, 82% pangsa pasar bank dikuasai bank dengan modal inti di atas Rp5
triliun. Sisanya ialah pangsa pasar BUKU II dan I masing-masing 16% dan 2%.
Persaingan
yang tidak simetris semacam ini menjadi konsekuensi logis dari struktur pasar
keuangan RI yang bersifat oligopolistis. Di sisi lain, tesis yang berlawanan
mengajukan proposisi bahwa persaingan terbuka menjadi prasyarat agar tercapai
efisiensi yang tinggi. Nyatanya, efisiensi bank pada 2016 tidak lebih baik
daripada tahun sebelumnya. Bahkan, efisiensi yang diukur dari rasio beban
operasional dengan pendapatan operasional (BOPO) semakin tidak efisien. Per
Oktober 2016, rasio BOPO sebesar 81,02% ketimbang 81,82% akhir 2015 yang
lebih tinggi daripada rasio ideal 70%-75%.
Jika
diperinci menurut kelompoknya, bank kelas menengah pada BUKU III yang paling
tidak efisien. Rasio BOPO pada BUKU III mencapai 87,41%, disusul BUKU I
86,96%. Semua ini mengindikasikan efisiensi tidak bisa berjalan seiring
dengan kompetisi. Kesimpulan di atas juga terkonfirmasi dari kualitas kredit
yang disalurkan. Rasio kredit macet (non-performing loan/NPL) mengalami
kenaikan. BI mencatat NPL bruto (kredit bermasalah sebelum pencadangan) pada
Oktober 2016 sebesar 3,22% naik dari bulan sebelumnya 3,1%. Secara sektoral,
bidang usaha perdagangan menjadi penyebab naiknya NPL. Angka NPL sektor
perdagangan pada BUKU III tercatat 4,76%, sedangkan BUKU IV sebesar 3,67%.
Rasio NPL pada bank menengah-atas yang lebih tinggi dari rata-rata NPL
industri sudah dengan sendirinya menjelaskan profil perbankan secara umum.
Karakteristik
perbankan di atas sadar atau tidak akan ‘mengundang’ kiprah pemain baru
terutama perbankan luar negeri. Konsekuensinya, peta persaingan akan semakin
sengit. Alhasil, sikap antisipasi dini perbankan lokal niscaya akan mengubah
peta persaingan. Boleh jadi, 2017 menjadi puncak tren konsolidasi perbankan seiring
dengan cita-cita regulator untuk mengurangi jumlah bank. Sebagai catatan,
populasi bank di Tanah Air mencapai 118 buah, jauh lebih banyak daripada
Thailand 37, Malaysia 8, dan Singapura 3.
Karena
itu, bank domestik yang kuat secara finansial cenderung akan mengakuisisi
bank kecil yang kesulitan modal. Beberapa bank pada kelompok BUKU I, seperti
BPD, berupaya ‘naik kelas’ dengan menyuntikkan modal tambahan. Modus ini akan
meluas di tahun ini. Selain itu, merger akan dilirik menjadi alternatif solusi
bank kecil yang tidak mampu memenuhi persyaratan kecukupan modal. Harapannya,
postur bank jadi ramping dan lebih intensif memanfaatkan teknologi digital.
Intinya, regulator hendak mengondisikan perbankan agar senantiasa
meningkatkan efisiensi.
Efisiensi
menentukan perolehan laba sebagai ukuran daya saing. Harus diakui, pendapatan
bank di Tanah Air masih sekitar 70%-80% berasal dari transaksi kredit. Dengan
demikian, apabila pertumbuhan kredit tidak seperti yang diharapkan akibat
ketidakpastian ekonomi global dan domestik, pendapatan yang diraih niscaya
akan menurun. Demikian pula di tengah desakan penurunan suku bunga kredit,
laba yang diraih niscaya akan menyusut. Implikasinya, pendapatan fee based
menjadi bantalan agar bank tetap mampu bertahan di tengah persaingan.
Ironisnya, jika fee based ini dominan, bank kembali akan semakin menjauh dari
fungsi intermediasi yang diembannya.
Alhasil,
pasar finansial sedang berproses menuju titik ekuilibrium yang baru.
Konsekuensinya, pergeseran peta persaingan bank 2017 terpulang pada
responsperbankan dalam menyikapi perubahan. Tanpa perubahan sikap, persaingan
di sektor perbankan yang lebih sehat bisa jadi hanya sesaat. Agar
berkelanjutan, perombakan dari internal perbankan adalah kunci pembukanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar