Media
Asosial
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 19 Januari
2017
Peristiwa
Presiden Joko Widodo mendadak mencukur rambut di barbershop Hunky Dory, tak
jauh dari Istana Bogor, Sabtu (14/1), seyogianya merupakan berita informatif saja.
Kalaupun mau dibaca lebih lanjut, memang punya tone "positif".
Kesan merakyatnya cukup kuat. Memang, sejak zaman Jokowi, sosok presiden
boleh dibilang mengalami "desakralisasi": protokoler tidak kaku,
tidak birokratis, tidak terkesan "angker" lagi. Maka, postingan
Jokowi nyukur rambut itu banyak yang apresiasi dan memberi tanda jempol
(like).
Namun,
sekarang ini rezim demokrasi digital. Ada saja yang bereaksi negatif,
misalnya ada yang komentar begini, "Karena enggak kompeten jadi
Presiden, sukanya caper (cari perhatian)." Akhirnya pemilik komentar
sinis itu pun di-bully balik ramai-ramai oleh netizen. Jokowi, sih,
santai-santai saja. Untuk persoalan berat saja, apalagi soal remeh-temeh
kayak gitu, Jokowi bisa bilang ora mikir alias tidak mau ambil pusing.
Namun,
suasana hati publik sekarang ini banyak yang suka baper (bawa perasaan)
sendiri, yang alasannya juga tak jelas. Banyak orang belum siuman bahwa
Jokowi sudah menjadi orang nomor satu di negeri ini hampir tiga tahun
terakhir. Sisa-sisa rivalitas Pilpres 2014 silam belum terkikis juga. Masih
banyak yang gagal move on. Secara
politik, Jokowi malah sering menjadi korban (viktimisasi).
Mengapa
masih banyak orang marah dan sakit hati? Jawabannya bisa isi sendiri: (1)
mungkin kesal karena jagonya kalah dalam pilpres; (2) tidak suka dengan
"orang daerah" yang kini menguasai panggung nasional; (3) dianggap
kurang pantas untuk posisi presiden; atau (4) lain-lain terserah saja mau isi
apa. Namanya juga kalau orang sudah tidak suka, tidak mudah disadarkan.
Padahal,
Jokowi bukanlah tipikal pemimpin agresif, kasar, atau urakan. Barangkali
kalau presiden semirip Donald Trump yang bakal dilantik sebagai Presiden
Amerika Serikat besok, wajarlah akan mendapat reaksi keras pula. Sebab, Trump
berwatak temperamental, agresif, dan kasar. Sebaliknya, Jokowi tidak
memperlihatkan watak seperti itu. Meskipun presiden, Jokowi biasa mengantar
anaknya, Kaesang Pengarep, membeli alat elektronik di Glodok atau Mangga Dua.
Namun,
rezim digital itu memang ambigu. Satu sisi pertanda revolusi teknologi
informasi yang menghubungkan umat manusia di Bumi, tanpa batas waktu dan
teritori. Di sisi lain, senyampang revolusi teknologi itu, publik bukan
semakin tercerahkan di titik puncak peradaban, melainkan justru melahirkan
generasi yang semakin tak memiliki karakter berkeadaban.
Demokrasi
digital dengan media sosialnya justru melahirkan anomali. Agresivitas dan
kekasaran di dunia maya, ujar psikolog internet Graham Jones, antara lain
karena anonimitas, yang bersuara keras tanpa ada risiko langsung. Kalau dunia
nyata, ketika Anda ngomong seenaknya dan membuat jengkel lawan bicara,
mungkin langsung disambut bogem mentah oleh lawan bicara Anda. Di dunia maya
tidak ada mekanisme umpan balik adaptasi aksi-reaksi perilaku seperti itu.
Lebih
lanjut, psikolog John Suller (Martin, 2013) menyebut enam hal yang mengubah
perilaku pengguna internet, yaitu dissociative anonymity (Anda tidak tahu
saya), invisibility (Anda tak bisa lihat saya), asynchronicity (urusan nanti
saja), solipsistic introjection (semua ada di kepala, tak ada orang lain),
dissociative imagination (bukan dunia nyata, cuma permainan), minimizing
authority (tak ada otoritas lebih, semua setara).
Media
sosial pun semakin disesaki dengan komunikasi negatif, meniadakan kepedulian
sesama. Interaksi sosial tidak terbangun positif. Ah, media sosial pun
menjelma menjadi media asosial.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar