Jurus
Menjinakkan Fenomena Tenaga Kerja Ilegal
Enny Sri Hartati ; Direktur
Institute for Development of Economics and Finance
|
KOMPAS, 02 Januari
2017
Pencapaian
pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebenarnya baru merupakan instrumen. Esensi tujuan
pembangunan adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu,
ketersediaan lapangan kerja bagi seluruh masyarakat menjadi prioritas yang
jauh lebih penting. Logikanya, dengan pertumbuhan yang tinggi, peluang
menciptakan lapangan kerja akan lebih besar. Namun, hal ini akan menjadi
masalah ketika pertumbuhan ekonomi lebih didominasi sektor padat modal
daripada padat karya.
Hingga
triwulan III-2016, pertumbuhan sektor yang menjadi tumpuan sumber pendapatan
masyarakat justru menurun. Sektor pertanian dan sektor industri hanya tumbuh
2,67 persen dan 4,61 persen dalam setahun. Padahal, sektor pertanian masih
menjadi penyumbang lapangan kerja terbesar. Berdasarkan rilis Badan Pusat
Statistik (BPS) pada Agustus 2016, penduduk yang menggantungkan sumber nafkah
dari sektor pertanian 37,77 juta orang atau sekitar 32 persen. Sementara
seiring dengan deindustrialisasi, sektor industri hanya mampu menyerap 15,54
juta orang. Kontribusi sektor manufaktur digeser sektor perdagangan yang
mencapai 26,69 juta orang.
Secara
statistik, peningkatan peran sektor perdagangan dalam menyediakan lapangan
kerja tentu berdampak positif terhadap penurunan angka pengangguran terbuka.
Sayangnya, jumlah tersebut lebih banyak di sektor informal, seperti menjadi
pedagang asongan dan jasa ojek. Di Indonesia, pekerja sektor informal masih
57,6 persen dari keseluruhan pekerja. Wajar jika pekerja yang bekerja tidak
penuh atau bekerja kurang dari 35 jam per minggu masih mencapai 23,26 juta
orang atau 19,64 persen. Jika mengikuti standar Organisasi Buruh
Internasional (ILO), jumlah tersebut akan tercatat sebagai angka
pengangguran.
Kondisi
ketenagakerjaan tersebut tentu tidak terlepas dari kualitas tenaga kerja yang
60 persen tamatan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) ke bawah. Jumlah
tersebut termasuk yang tidak tamat sekolah dasar (SD) dan tidak pernah
sekolah sama sekali. Konsekuensinya, kendati investasi masuk ke Indonesia,
terutama investasi sektor jasa, itu tidak akan mampu diakses pekerja. Sektor
jasa dan industri manufaktur yang berteknologi tinggi memerlukan tenaga kerja
terampil dan memiliki keahlian tertentu.
Jika
tidak ada gunting pemutus dalam kondisi tersebut, lingkaran setan dalam
ketenagakerjaan di Indonesia tidak akan berakhir. Bonus demografi yang
dijejali kualitas tenaga kerja rendah justru berpotensi menjadi sumber
permasalahan daripada modal pembangunan.
Tenaga kerja asing
Merebaknya
pemberitaan mengenai tenaga kerja asing ilegal tidak dapat dijawab bahwa
jumlahnya hanya sedikit, apalagi jika pemerintah menganggap persoalan
tersebut hanya merupakan isu atau memiliki agenda politik. Di tengah
kesulitan masyarakat mendapatkan lapangan pekerjaan, tenaga asing akan
menjadi persoalan yang seksi dan sangat sensitif.
Menteri
Ketenagakerjaan menyatakan, tenaga kerja asing Tiongkok sampai November 2016
hanya 21.271 orang. Jika dibandingkan dengan tenaga kerja Indonesia (TKI) di
Hongkong yang 153.000-an, di Taiwan 200.000-an, atau Korea Selatan 58.000-an,
jumlah tersebut dapat dibilang tidak banyak. Perbedaannya, Hongkong, Taiwan,
dan Korea Selatan memang kekurangan tenaga kerja dan tidak bermasalah dengan
pengangguran yang tinggi.
Pendek
kata, tenaga kerja asing bukan suatu masalah jika memang dilakukan secara
legal dan sesuai dengan regulasi yang ada. Baik Undang-Undang Ketenagakerjaan
maupun Peraturan Menteri Ketenagakerjaan mensyaratkan, tenaga kerja asing
hanya boleh untuk yang berketerampilan atau profesional. Tenaga kerja asing
harus memenuhi syarat kompetensi, pendidikan sesuai dengan jabatan,
pengalaman kerja, wajib alih teknologi atau keahlian, pendampingan oleh TKI,
ditambah sejumlah syarat administratif lain. Jabatan yang diperbolehkan untuk
tenaga kerja asing antara lain sebagai tenaga kerja profesional, teknisi,
konsultan, manajer, pengawas, direksi, dan komisaris.
Untuk
meredam persoalan tersebut, solusi yang paling fundamental tentu upaya yang
konkret, yakni perluasan kesempatan kerja. Prioritas investasi melalui
kemudahan dan fasilitas pemerintah difokuskan pada sektor manufaktur yang
menyerap tenaga kerja lokal. Tentu program ini harus sinergis dengan pemangku
kepentingan terkait. Kerja sama melalui program pelatihan keterampilan dan
keahlian dapat diintensifkan dengan pelaku usaha, dunia pendidikan, dan
pemerintah daerah. Kebijakan afirmatif berupa politik anggaran dari dana
pendidikan 20 persen dapat dialokasikan untuk mempercepat program ini,
termasuk penggunaan dana kompensasi dari tenaga kerja asing sebesar 100
dollar AS per bulan. Tak kalah penting, program dan percepatan sertifikasi
TKI akan menjadi jurus yang efektif untuk mengendalikan tenaga kerja asing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar