Internasionalisasi
Industri Pertahanan
Connie Rahakundini Bakrie ; Dewan Pembina National Air Power And
Space Centre Of Indonesia
(NAPSCI);
President Indonesia Institute For
Maritime Studies (IIMS)
|
KORAN SINDO, 20 Januari
2017
Presiden
Joko Widodo dalam pengarahannya pada pembukaan Rapat Pimpinan (Rapim) TNI 16
Januari 2017 menyoroti industri pertahanan dalam negeri dan berpesan agar
industri pertahanan (indhan) Indonesia tidak saja harus mampu untuk memenuhi
kebutuhan pembangunan kapabilitas TNI, tetapi juga dapat go international.
Presiden
menekankan akan pentingnya kekompetitifan karena menurutnya semua produk
termasuk alat peralatan pertahanan (alpalhan) dan alat peralatan khusus
(alpalsus)—keduanya lebih dikenal sebagai alutsista— akan berkompetisi dengan
negara lain.
Apa
yang disampaikan Presiden menjadi momentum penting karena sesungguhnya
pasang- surut industri pertahanan sangat dipengaruhi oleh kebijakan pimpinan
negara. Industri pertahanan akan bangkit jika ada kemauan, komitmen, dan
keberpihakan pemerintah untuk mendorong kebangkitan industri pertahanan dalam
negeri.
Untuk
mengimplementasikan arahan Presiden ini, perlu dilakukan beberapa penekanan:
Pertama, penting ada koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan supervisi pada
pelaksanaan pencapaian stabilisasi dan optimalisasi industri pertahanan
melalui apa yang disebut sebagai poros Quadraple Helix Academicians,
Businessman, Government, and Military (ABGM).
Kedua,
dibutuhkan kesamaan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak dari semua
pemangku kepentingan dalam rangka memberdayakan industri pertahanan dalam
negeri dan interagency approach untuk mengelola peran, waktu, dan penahapan
yang jelas dan rinci akan pelibatan dan komitmen para stakeholders terkait
keperluan end users (TNI).
Patut
disadari bahwa pengadaan alat senjata menuju industrialisasi untuk mengurangi
ketergantungan militer dan sistem pertahanan negara terhadap impor senjata
dan alat khusus pertahanan memerlukan counter dependent strategy yang
sebenarnya sudah terbagi secara jelas. Dalam konsep ini jika negara
dikategorikan masih dalam tahap weak technological base, yang dapat semata
dilakukan negara adalah diversifikasi teknologi.
Tetapi,
jika negara dinilai sudah dalam tahapan strong technological base,
industrialisasi indhanlah yang harus dibangun dan karenanya transparansi
serta audit teknologi harus dapat dilakukan negara pada BUMN serta BUMS
penunjang indhan.
Industri
pertahanan sendiri dikelompokkan berdasarkan industri akhir alat utama hingga
ke industri hulunya dengan pembagian tier sebagai berikut:
1)
Industri/produsen alat utama yang berperan sebagai lead integrator untuk
memproduksi alutsista (sebagai pabrikan/ produsen/manufaktur alutsista,
tier-1/BUMN/BUMS). 2) Industri/ produsen komponen utama (main component) yang
memproduksi bagian-bagian besar dan penting atau sub system dari alat utama
(tier-2/ industri pendukung).
3)
Industri/produsen komponen/suku cadang dan/atau nonalutsista yang berfungsi
sebagai industri penunjang (tier-3). 4) Industri/ produsen bahan baku yang
memproduksi bahan baku untuk digunakan di industri/ produsen alat utama,
industri/produsen komponen utama, dan industri/produsen komponen/ suku cadang
(tier-4).
Dari
pengelompokkan tier industri pertahanan maka ditetapkan kriteria industri
yang memiliki beberapa kemampuan dan penguasaan baik secara sendiri ataupun
bersama-sama dalam hal: 1) Teknologi rancang bangun (design engineering). 2)
Mewujudkan desain menjadi suatu prototipe atau produk (product development).
3)
produksi/ manufaktur/merakit (production/manufacturing/ass embling). 4)
pemasaran (marketing ). 5) Pelayanan purnajual ( after sales service). 6)
Pelayanan pemeliharaan dan perbaikan (maintenance services and repair) dan
modifikasi (upgrading/retrofit). Terakhir, 7) Pelayanan dukungan/bantuan
logistik terpadu kepada pengguna produk (integrated logistic support).
Membangun
negara yang berkeinginan untuk memiliki kemandirian dalam pembangunan industri
pertahanannya membawa konsekuensi terutama pada pentingnya perlindungan
negara terhadap proses pembangunan kekuatan kemandirian industri ini sendiri.
Prinsip
ekonomi murni atas dasar untung-rugi tidak dapat diterapkan. Aspek
keuntungrugian harus juga terukur dari faktor nonekonomi seperti kontribusi
pembangunan kemandirian industri pertahanan terhadap sektor-sektor lain
sesuai tahapan tier, dampak pengembangan terhadap produk bagi keperluan
sipil.
Termasuk
juga di dalamnya kompetisi industri ini sendiri dalam tingkat permainan serta
perang ekonomi dan teknologi yang akan sangat terkait erat serta memerlukan
pertimbangan dan keputusan politis dan strategis. Di Inggris misalnya sangat
disadari bahwa diperlukan upaya keras agar negara mampu mempertahankan
tingkat kedaulatan pada aspek industrial skills, capacities, capabilities,
and technology untuk menjamin keberlangsungan operational independence
(Defence Industrial Strategy, UK, 2005).
Karena
itu, tersusun jelas ranah otoritas kementerian atau departemen dan lembaga di
Inggris yang membidangi pertahanan negara sehingga tidak lahir kemudian
persaingan ranah kewenangan dalam pembuatan kebijakan dan pengelolaan
pembangunan industri pertahanan tersebut.
Patut
disadari oleh Presiden bahwa pasar utama industri pertahanan adalah negara,
bukan aktor nonnegara, sehingga diperlukan regulasi yang sangat ketat dan
terukur. Harus pula disadari dalam menapaki “tangga pembangunan industri
pertahanan” internasional kelak sangatlah sarat akan politicalstrategic contents
sehingga kemungkinan hal ini menjadi isu sensitif baik di dalam negeri maupun
dalam hubungan dengan negara lain.
Situasi
seperti itu harus diantisipasi utamanya terkait teknologi, perjanjian
penggunaan alpahan dan alpalsus, termasuk sistem kelaikan serta sertifikasi
di mana kesemuanya dikendalikan oleh rezim internasional. Itu mengapa dalam
membangun kemandirian industri pertahanan seringkali negara mengalami
beberapa perdebatan terkait: Pertama, state-control atau market system.
Kedua,
pilihan antara memproduksi sendiri ataukah membeli dari negara lain ditinjau
baik dari sisi pertahanan negara maupun pertimbangan ekonomi. Ketiga,
pengaruh serta konsentrasi pada key
aspects of defence capability dan pilihan prioritas teknologi untuk
memperoleh keunggulan inovatif dalam pembangunan arah kekuatan serta
penangkalan.
Pembangunan
industri pertahanan juga sangat terkait pada kebijakan atau Strategi Raya
Presiden dengan visi awal menjadikan Indonesia sebagai negara Poros Maritim
Dunia, yang jelas berdampak sekaligus menjadikan juga Indonesia sebagai Poros
Dirgantara Dunia.
Visi
ini harusnya dapat menjawab akan transformasi militer seperti apa yang kita
butuhkan bagi TNI untuk menghadapi ancaman baik dalam level nasional,
regional, maupun internasional serta mengukur dengan jujur kemampuan kita
sendiri terkait sampai di mana tahap industri militer kita saat ini dan dari
mana teknologi tersebut akan didapat?
Apakah
dengan alih teknologi yaitu melalui lisensi atau pelatihan yang dilakukan
berkaitan dengan pengadaan alutsista dari luar negeri? Apakah melalui forward engineering dengan
meningkatkan kemampuan dan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) dalam
berbagai bidang ilmu dasar dan ilmu terapan melalui tahapan “idea-design-manufacturing-testing”
ataukah melalui reverse engineering yaitu membongkar sistem senjata yang
dimiliki untuk dipelajari dan dikembangkan menjadi produk baru sesuai
kebutuhan?
Bagaimana
mekanisme “off-set” and transfer of technology yang diharapkan dan dapat
dicapai? Terpenting di atas semua itu, untuk mencapai impian Presiden di
atas, BUMN dan produsen alpalhan/alpalsus Indonesia dituntut untuk bersiap
diri dalam memasuki ranah pembentukan “simpul pasar produsen senjata” yang
selain memerlukan keterlibatan sangat luas dalam kemitraan strategis
(menuntut tidak ada monopoli oleh produsen senjata dunia tertentu pada
industri pertahanan BUMN/ BUMS).
Dalam
konteks ini diperlukan kekuatan inter-agency kementerian atau lembaga terkait
dalam membangun “regional daninternational hub“ terkait simpul pasar produsen
senjata tersebut. Mengapa diperlukan arah kebijakan sipil dan rasionalisasi
terhadap pembangunan profesionalisme TNI serta kemandirian industri
pertahanan yang akurat dan jelas?
Karena,
dengan inilah baru dapat di-tetapkan arah penelitian dan pengembangan
teknologi pertahanan kita yang akhirnya harus terkait dengan beberapa
teknologi yang wajib dikuasai seperti teknologi material, aerodinamika,
hidrodinamika, instrumentalia, kontrol, informatika, dan propulsi di mana
semua harus dapat tersertifikasi secara internasional dan dapat terintegrasi
pada kerangka acuan pembangunan teknologi dan kebijakan pertahanan kita.
Perubahan
arah kebijakan sipil akan fungsi militer inilah yang kemudian mampu
menghubungkan konsep “transforming- transformation“. Konsep ini merupakan
konsekuensi nyata dari dunia yang semakin terintegrasi di mana kemudian
disadari bahwa penekanan dalam penataan persepsi ancaman yang baru ternyata
menghasilkan pemahaman lebih luas pada militer dalam aspek “homeland
security“, termasuk arah pembangunan kekuatan industri pertahanan dan
pengembangan teknologi yang diperlukannya.
US
Quadrennial Defense Review mengidentifikasikan “transformasi militer”
mencakup proses di antara lain perpindahan darithreat-based planning ke
capabilities based planning, dari DoD solutions ke interagency approaches,
dari static defense garrison forces ke mobile expeditionary operations, dan
dari perpindahan fragmented homeland assistance ke integrated homeland
security.
Jika
negara tidak mampu memberikan guideline jelas akan military deployment capabilities yang ditargetkannya, negara akan
terus memerangkap militernya (TNI) dalam perdebatan antara efisiensi belanja
pertahanan dan rasionalisasi postur pertahanan, dihadapkan pada optimalisasi
militer dan efektivitas industri pertahanannya.
Guidline
inilah juga yang akan menjawab apa, di mana, dan kapan tahapan tangga
produksi senjata harus terkejar untuk memenuhi tuntutan serta kompetensi
mencakup project agreement, pengembangan teknologi, manufacturing, serta
production contract dari pasar dunia yang ingin kita masuki.
Sebagai
catatan penutup, perkembangan teknologi perang yang sedang digunakan saat ini
dan terlebih pada masa mendatang telah mencakup teknologi yang terkait serta
terintegrasi di antara peran dan militer kompetisi terkait precision war, stealth unmanned system,
tactical operational use of space, network based warfare and joint integration
menuju ke antiaccess, un-manned war,
extended range operation, space war, dan nano war.
Semua
ini sangat akan bermuara pada peningkatan anggaran
research and development (R&D) pertahanan secara signifikan.
Jelaslah, perjalanan negara beserta aktor industri pertahanan
alpalhan/alpalsus kita masih sangat panjang dalam mewujudkan harapan Presiden
akan “go international”-nya industri pertahanan Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar